BAHAGIAN
5
SYEIKH MUGHYDEEN ABDUL
QHADIR JAILANI
DIALOG SYEKH ABDUL QADIR JAILANI RA DAN MALAIKAT MAUT
Dalam ceramah di akhir bulan Rajab 546 H di Madrasah,
Syekh Abdul Qadir Jailani berkata: Imam Junaid Al-Baghdadi rahimahullah sering
kali mengatakan: “Apa yang dapat kuperbuat terhadap diriku? Aku ini hanya
seorang hamba dan milik Majikanku.”
Dia telah menyerahkan dirinya kepada Allah, tidak
memiliki pilihan lain selain terhadap-Nya dan tidak mengusik-Nya. Junaid telah
rela dengan apa pun yang ditakdirkan kepadanya. Hatinya telah menjadi baik dan
nafsunya telah tenang.
Dia telah mengamalkan firman Allah Azza wa Jalla,
“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab
(Al-Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (QS Al-‘Araf:196)
Pada suatu malam, aku mengingat kematian, dan aku
menangis dari awal malam hingga waktu sahur tiba. Aku berdoa, “Ya Tuhanku, aku
mohon kepadamu agar malaikat maut tidak mencabut nyawaku, tapi Engkau sendiri
yang mencabutnya”.
” Kemudian, aku tertidur, lalu aku bermimpi melihat
seorang tua yang mengagumkan dan menawan. Dia kemudian masuk dari arah pintu,
dan aku bertanya kepadanya: “Siapakah engkau?” Lalu, dia menjawab, “Aku
malaikat maut.” Aku katakan kepadanya, “Aku telah meminta kepada Allah agar Dia
sendiri yang mencabut nyawaku, bukan engkau yang akan mencabutnya.”
Malaikat itu balik bertanya, “Lalu mengapa engkau
meminta hal itu? Apa dosaku? Aku hanyalah hamba yang mengikuti perintah. Aku
diperintahkan bersikap lemah lembut terhadap suatu kaum dan bersikap kasar
kepada kaum yang lainnya.” Kemudian, dia memelukku dan menangis, maka aku pun
menangis bersamanya.
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Betapa banyak
hati yang terbakar oleh kecintaan kepada dunia, padahal di dadanya ada Al-Quran.
Sementara, banyak orang soleh yang selalu bangun malam mendirikan shalat malam,
beramal makruf nahi munkar. Tangan mereka itu terbelenggu oleh sikap wara’
sehingga meninggalkan dunia, dan keinginan mereka mencari Tuhan mereka begitu
kuat. Maka, infakkan harta kalian kepada mereka itu. Sebab, di kemudian hari
mereka itu akan mendapatkan kekuasaan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.”
Dikutip dari kitab Fath Rabbani.
PENTINGNYA SEBUAH WASILAH (Perantara)
Al Allamah Al Musnid Habib
Umar Bin Hafidz ketika lawatannya ke Inggris menuturkan, ada seorang yang hidup
di masa Qutb Rabbani Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani. Ketika orang itu meninggal
dunia dan di kuburkan, orang-orang yang berada di sekitar pekuburan mendengar
jeritan, lolongan orang itu dari dalam kubur.
Para sahabat (murid-murid) Syeikh
Abdul Qadir Al Jailani bercerita kepadanya, dan segera Syeikh Abdul Qadir
Al-Jaelani menghampiri kubur tersebut. Masyarakat menyaksikan dan memohon
kepada beliau agar memohon kepada Allah subhanallahu wata`ala agar hukumannya
di angkat. Kemudian Syeich Abdul Qadir Al Jaelani bertanya kepada para
sahabat-sahabatnya: “Apakah ia salah satu dari sahabatku (muridku)?” Mereka
menjawab: “Bukan wahai syeikh”…… Lalu beliau bertanya kembali: “Pernahkah
kalian melihatnya hadir pada salah satu majlisku?” Mereka menjawab : “Orang itu
tidak pernah menghadiri majlismu.” Asy-Syeikh Abdul Qadir bertanya lagi:“Pernahkah
ia masuk ke salah satu masjid dengan tujuan untuk mendengarkan ceramahku, atau
solat di belakangku?” Mereka menjawab: “Tidak pernah , ya Syeikh..!!!!!” Lalu
Asy-Syeikh Abdul Qadir bertanya lagi: “Pernahkah aku melihatnya?” Mereka
menjawab: “Tidak pernah, ya Syeikh…!!!” Lalu Asy Syeikh Abdul Qadir bertanya
lagi:“Apakah ia pernah melihatku?” Mereka menjawab: “Tidak ya Syeikh….!!”
Lalu salah seorang dari
mereka berkata: “namun, wahai Syeikh, aku pernah melihatnya melintas di suatu
jalan setelah engkau dan para sahabatmu baru saja selesai dari majlis, dan ia
melihat jejak jalanmu” (di masa itu Asy Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani bila
berjalan dengan rombongannya ,dengan mengendarai kuda, hingga menimbulkan
debu-debu yang mengepul di udara, orang akan segera tahu..wah.. Rambongan Asy
Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani barusan lalu nih)
Lalu Asy-Syeikh Abdul Qadir
Al Jaelani menengadahkan tangannya kepada Allah subhanallahu wata`ala seraya
berdo`a: “Ya Allah, orang ini adalah orang yang pernah melihat debu jejak jalan
kami selesai majlis, jika Engkau mencintai kami Ya Allah…., kami memohon
kepada-Mu berkat kecintaan-Mu kepada kami untuk mengangkat hukuman serta
siksaan pada hamba ini.” Seketika itu juga, jeritan dari dalam kubur terhenti.
Subhanallah
Baru melihat bekas debunya saja
, seorang Wali Allah Qutb Rabbani As Syeikh Abdul Qadir al Jailani memberikan
syafat di alam kubur, bagaimana dengan para sahabatnya (muridnya) yang siang
dan malam menghadiri majlis-majlis beliau, mengenal dan mencintainya.
Dari debu inilah Al Qutb
Rabbani Asy-Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani memohonkan, ampun, memberikan syafaat
kepada orang tersebut. Bagaimana jika seandainya orang tersebut sulit di cari,
apa alasan Asy syeikh Abdul Qadir Al Jaelani untuk memberikan syafaat
kepadanya?
Oleh karena itu semasa
hidupnya seorang muslim selayaknya mencintai para shalihin, para wali Allah.
Sebab merekalah perantara antara kita dengan Allah, Para Wali Allah di cintai
di langit dan di bumi sebagaimana Allah berfirman, yang dijelaskan didalam
hadis qudsi riwayat Imam Bukhari: Jika Allah Ta`ala cinta kepada hamba-Nya,
maka Allah akan berkata kepada malaikat Jibril yang merupakan pemimpin dari
para malaikat di tempat tertinggi: “Wahai
Jibril, Aku mencintai hamba itu, maka umumkanlah kepada semua penduduk langit
untuk mencintai hamba tersebut.” Lalu malaikat Jibril as mencintai hamba
tersebut karena Allah Ta`ala dan mengumumkannya, sehingga seluruh para malaikat
ikut mencintainya.
Allahumma shalli alaa ruuhi
Sayidina Muhammadin fil arwah, wa ‘ala Jasadihi filajsad, wa alaa Qabrihi
filqubuur.
Inilah dalil yang terkuat berkenaan Wasilah dan
Rabitah dalam mengambil Talqin dua kalimah Shadatai yang dianjurkan oleh Syeikh
Mughyideen Abdul Qadir Jailani pada semua Madrasah pengajian yang menggunakan
sandaran wasilah beliau sama ada mereka duduk didalam kumpulan Tariqat atau
pengajian-pengajian yang sama seperti itu. Terlalu banyak manafaatnya jika kita
duduk didalam wasilah dan rabitah beliau, salah satunya seperti yang telah
diceritakan diatas tadi. Maka tetap teguhlah dan bersabarlah kalian untuk duduk
sebagai muridnya hingga akhir nafasmu.
SIKAP BERHATI-HATI IMAM MALIK
Sengaja diutarakan satu
kisah yang telah ditulis dalam kitab-kitab sejarah dan ku dengar daripada lidah
para masyaikhku, agar kisah ini menjadikan seseorang agar lebih berhati hati di
dalam berbicara, apalagi berfatwa. Kisahnya seperti berikut:-
Imam Malik r.a. adalah seorang
ulama besar dan pemimpin Mazhab Maliki, dan beliau dijuluki "Imam Dar
al-Hijrah". Akan tetapi sekalipun beliau seorang muhaddits dan faqih,
beliau sangat berhati-hati dalam berfatwa. Sehingga satu masa seseorang datang
dari Baghdad ke Madinah khusus untuk bertanya kepada Imam Malik akan beberapa
masalah (lihatlah semangatnya orang dulu, jalan jauh-jauh dari Baghdad hanya
untuk beberapa masalah. Orang sekarang kadang majlis di depan rumahnya akan
tetapi tidak hadir). Maka orang tersebut mengajukan lebih kurang 18 masalah.
Tiga di antaranya dijawab oleh Imam Malik, sedangkan yang lain beliau hanya
mengucapkan, "Aku tidak tahu. Aku tidak tahu." (lihatlah bagaimana
beliau berhati hati di dalam berfatwa, dan tidak malu untuk mengucapkan sesuatu
yang belum pasti dengan kalimat, "Aku tidak tahu"). Maka orang
tersebut berkata, "Ya Imam Malik, aku datang jauh-jauh hanya untuk
menanyakan kepadamu masalah ini, sedangkan engkau hanya mengucapkan tidak
tahu?" Berkata Imam Malik, "Dari mana engkau datang?" Jawabnya,
"Aku datang dari Baghdad." Imam Malik, "Masjid mana yang
menaranya paling tinggi di Baghdad?" Lalu ia menjawabnya seraya
menyebutkan nama suatu masjid yang paling tinggi menaranya di Baghdad. Lantas
berkata Imam Malik berkata, "Bila engkau pulang ke Baghdad, pergilah ke
masjid tersebut dan naiklah kepuncak menaranya, lantas berteriaklah dengan
sekuat suaramu agar semua orang mendengar bahwa Malik bin Anas adalah orang
yang paling bodoh."
Kalau Imam Malik ulama besar
seperti takutnya dalam memberi fatwa dan jawapan bagi persoalan agama, maka
sekarang banyak orang yang nama 25 rasul yang disebutkan di Al-Qur'an saja
tidak hafal, bahkan syurut istinja' belum hafal, akan tetapi berani berbicara
dalam syariat seenak perutnya dan berfatwa berdasarkan pendapatnya sahaja.
Syariat bukan "menurutku... menurutmu..." dan bukan pula
"pendapat saya...... perasaanku........" Akan tetapi "barang
siapa berbicara akan Al-Qur'an menurut pendapatnya (dalam riwayat yang lain :
tanpa didasari ilmu), maka bersiap-siaplah akan singgahsananya di neraka"
(Hadits). Begitu juga dalam hadist dan syariat islam. Tapi zaman sekarang,
pedagang pun bicara hukum, bahkan peminum dan zindiq, ilmu sudah jadi bualan
kedai kopi....Allahu Akbar.
NASEHAT SYAIKH ABDUL QADIR TENTANG CARA MENCAPAI
KEBAHAGIAAN
SYAIKH Abdul Qadir Al-Jilani menasehatkan tentang
kunci kebahagiaan. "Engkau menginginkan agar kebahagiaan dan kedamaian
terlimpahkan kepadamu, padahal kau masih belum berupaya membinasakan sifat
hewanimu, harapan akan balasan di dunia ini dan di akhirat, dan hal ini masih
bersemayam dalam dirimu?" ujarnya dalam kitabnya yang berjudul Futuh
Al-Ghaib.
Kemudian beliau berseru: "Wahai yang
terburu-buru! Berhenti dan berjalanlah perlahan-lahan. Wahai yang berharap!
Pintu tertutup selama keadaan ini masih berlangsung." Beliau lalu
mengingatkan bahwa sesungguhnya beberapa sisa dari hal-hal ini masih ada
padamu, dan beberapa butir kecilnya masih bersemayam dalam dirimu. "Itulah
kontrak kebebasan seorang hamba sahaya; selagi masih ada satu sen pun padanya,
kau tertutup darinya," tuturnya.
"Selama kau masih menghisap biji kurma dari dunia
ini, dari hawa nafsu , maksud dan kerinduanmu, dari memperhatikan sesuatu dari
dunia ini, dari mengupayakan sesuatu pun darinya, atau mencintai sesuatu
keuntungan duniawi atau akhirat – selama hal-hal ini masih bersemayam dalam
dirimu, kau masih berada di pintu peluruhan diri," lanjutnya. Berhentilah
di sini, sampai peluruhan dirimu sempurna, lalu kau dikeluarkan dari tempat
peleburan, dan kau terbusan, terhiasi dan menjadi harum, lalu kau dibawa kepada
Raja yg agung dan berkata: “Sesungguhnya kamu pada sisi Kami menjadi seorang
yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya.” (QS 12:54)
Maka kau dianugerahi limpahan nikmat, dibelai dengan
rahmat-Nya, diberi minuman, didekatkan, dan diberi pengetahuan tentang yang
rahasia. Kemudian kau terbebaskan dari kebutuhan, karena yang diberikan
kepadamu berasal dari hal-hal ini dan terbebaskan dari kebutuhan segala suatu. Tidakkah
kau lihat kepingan emas, yang beraneka ragam yang beredar pagi dan petang, di
tangan para penjual obat, tukang jaga, penjual makanan, penyamak, tukang
minyak, pembersih dan lain-lain, baik yang bagus, rendah atau pun yang kotor?
Kemudian kepingan-kepingan ini dikumpulkan dan
memasukkan ke dalam tempat peleburan logam; lalu kepingan-kepingan ini meleleh
dalam kobaran api, dikeluarkan darinya, ditempa dan dijadikan hiasan-hiasan,
diperhalus, diperindah, dan kemudian ditempatkan di tempat-tempat terbaik,
rumah-rumah, di balik kunci, dalam kotak-kotak, tempat-tempat gelap, atau
dijadikan hiasan sebuah jembatan, dan kadang jembatan seorang raja besar. Dengan
demikian, kepingan-kepingan emas itu berlalu dari tangan para penyamak ke
hadapan para raja dan istana setelah dilebur dan ditempa. Dengan begini, duhai
yang beriman, jika kau senantiasa bersabar dengan karunia-Nya, dan berpasrah
terhadap takdirNya, maka kau akan didekatkan kepada Tuhanmu di dunia ini,
dikaruniai pengetahuan tentang-Nya dan segala pengetahuan serta rahasia, dan
akan dikaruniai tempat damai di akhirat bersama dengan para Nabi Allah, Shiddiqin,
Syuhada dan Solehin dalam kedekatan Allah, dalam rumah-Nya, dan dekat
dengan-Nya, sembari mereguk kasih-sayang-Nya.
"Maka dari itu, bersabarlah, jangan terburu-buru,
ridhalah senantiasa dengan takdir-Nya, dan jangan mengeluh terhadap-Nya. Jika
kau lakukan yang demikian, maka kau akan merasakan kesejukan ampunan-Nya,
lezatnya pengetahuan tentang-Nya, kelembutan dan karunia-Nya," demikian
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
RESEPI SYAIKH ABDUL QADIR AL-JILANI DALAM MENEMPATKAN KEBAIKAN DAN KEBURUKAN
TIDAK mudah membedakan serta menempatkan kebaikan dan
keburukan. Maka seringkali orang mencampur-adukkan kebaikan dan keburukan.
Kaitan ini, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitabnya berjudul Futuh Al-Ghaib
menyampaikan resepinya. "Anggaplah kebaikan dan keburukan sebagai dua buah
dari dua cabang sebuah pohon. Cabang yang satu menghasilkan buah yang manis,
sedang cabang yang satunya lagi, buah yang pahit," tutur Syaikh Abdul
Qadir Al-Jilani mulai membuka resepnya.
Maka dari itu, lanjutnya, tinggalkanlah kota-kota,
negeri-negeri yang menghasilkan buah-buah pohon ini dan penduduknya.
"Dekatilah pohon itu sendiri dan jagalah," ujarnya. Ketahuilah kedua
cabang ini, kedua buahnya, sekelilingnya, dan senantiasa dekatlah dengan cabang
yang menghasilkan buah yang manis; maka ia akan menjadi makananmu, sumber
dayamu, dan waspadalah agar kau tak mendekati cabang yang lain, makan buahnya,
dan akhirnya rasa pahitnya membinasakanmu.
Jika kau senantiasa berlaku begini, kau akan selamat
dari segala kesulitan, sebab kesulitan diakibatkan oleh buah pahit ini. Bila
kau jatuh dari pohon ini, berkelana di berbagai negeri, dan buah-buah ini
dihadapkan kepadamu, lalu dibaurkan sedemikian rupa, sehingga tak jelas antara
yang manis dan yang pahit, dan kau mulai memakannya, bila tanganmu mengambil
buah yang pahit, sehingga lidahmu merasakan pahitnya, kemudian tenggorokanmu,
otakmu, lubang hidungmu, sampai anasir tubuhmu, maka kau terbinasakan.
Pembuanganmu akan sisanya dari mulutmu dan pencucianmu
akan akibatnya tak dapat menghapus yang telah tertebar di sekujur tubuhmu, dan
sia-sia. Tapi, jika kau makan buah yang manis dan rasa manisnya menebar ke
seluruh anggota tubuhmu, maka kau beruntung dan bahagia, meski hal ini tak
mencukupimu. Tentu, bila kau makan buah yang lain, kau takkan tahu bahwa buah
yang ini pahit. Maka, kau akan mengalami yang telah disebutkan bagimu. Maka,
tak baik menjauh dari pohon itu dan tak tahu buahnya.
Keselamatan terletak pada kedekatan dengannya. Jadi
kebaikan dan keburukan berasal dari Allah yang Mahakuasa dan Mahaagung. “Allah
telah menciptakanmu dan yang kau lakukan.” (QS 37:96) Nabi SAW bersabda: “Allah
telah menciptakan penyembelih dan binatang yang disembelih.” Segala tindakan
hamba Allah adalah ciptaan-Nya, begitu pula buah upayanya. Allah yang Mahakuasa
lagi Mahaagung berfirman: “Masuklah ke dalam surga disebabkan yang telah kau
lakukan.” (QS 16:32)
Mahaagung Dia, betapa Pemurah dan Penyayang Dia! Ia
berfirman bahwa masuknya mereka ke dalam surga disebabkan oleh amal-amal
mereka, sedang kemaujudan amal-amal mereka adalah berkat pertolongan dan
kasih-sayang-Nya. Nabi SAW bersabda: “Tiada seorang pun yang masuk ke dalam
surga lantaran amal-amalnya sendiri.” Ia ditanya: “Termasuk Anda, Ya
Rasulullah?” Ia berkata: “Ya, termasuk aku, jika Allah tak mengasihiku.” Dalam
berkata begini ia meletakkan tangannya di atas kepalanya. Ini diriwayatkan oleh
Aisyah r.a.
"Nah, jika kau mematuhi perintah-perintah-Nya dan
menghindari larangan-Nya, maka Dia akan melindungimu dari keburukan-Nya,
menambah kebaikan-Nya bagimu, dan akan melindungimu dari segala keburukan, yang
agamwi dan duniawi," tutur Syaikh Abdul Qadir. Mengenai keduniawi, Allah
berfirman: “Demikianlah agar Kami palingkan darinya kemungkaran dan kekejian;
sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba pilihan Kami,” (QS 12:24) Dan mengenai
agamawi, Ia berfirman: “Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur lagi
beriman.” (QS 4:147)
Adakah bencana yang akan menimpa orang yang beriman
lagi bersyukur? Sebab ia lebih dekat kepada keselamatan daripada bencana, sebab
ia berada dalam kelimpahan, lantaran kebersyukurannya. Allah berfirman: “Jika
kamu bersyukur, tentu akan Kami lipatgandakan (nikmat-nikmat Kami) bagimu.” (QS
14:7) Dengan demikian, keimananmu akan memadamkan api neraka, api siksaan bagi
setiap pendosa. Adakah hal itu takkan memadamkan api bencana di kehidupan ini,
Ya Tuhanku? Dengan begini, segala musibah hanya akan melepaskannya dari
kekejian hawa nafsu, dari kebertumpuan pada kehendak jasmani, dari kecintaan
kepada orang, dan dari hidup bersama mereka. Maka dia diuji, hingga segala
kelemahan ini lenyap darinya, dan hatinya tersucikan oleh ketiadaan semuanya
itu, sehingga yang tertinggal di hati hanyalah keesaan Tuhan dan pengetahuan
tentang kebenaran, dan menjadilah ia tempat curahan rahasia kegaiban,
pengetahuan dan nur kedekatan. Sebab ia adalah sebuah rumah yang tiada ruang
bagi selainnya.
Allah berfirman: “Allah tak menciptakan bagi manusia
dua hati.” (QS 33:5) “Sesungguhnya para raja, bila mereka memasuki sebuah kota,
menghancur leburkannya, dan menghinakan penduduknya.” (QS 27:34) Lalu mereka
menghasilkan kemuliaan dari kebaikan mereka. Kedaulatan atas hati berada (di
awal) kekejian hawa nafsu. Anasir tubuh selalu digerakkan oleh perintah mereka
demi berbagai dosa dan kesia-siaan. Kedaulatan ini kini pupus, anasir tubuh
merdeka, rumah raja dan pelatarannya, iaitu dada, menjadi bersih. Kini hati
telah bersih, telah dihuni oleh tauhid, dan pelataran telah menjadi arena
kecerahan dari kegaiban. Semua ini adalah akibat dari musibah, cobaan dan
buahnya.
Nabi SAW bersabda: “Kami, para nabi, adalah yang
paling banyak diuji di antara manusia, sedang yang lain sesuai dengan
kedudukannya.” “Aku lebih tahu tentang Allah daripada kamu, dan lebih takwa
kepada-Nya daripada kamu.” Siapa pun yang dekat dengan raja harus semakin
berhati-hati, sebab ia berada di hadapan Sang Raja Yang Mahamelihat lagi
Mahamengetahui akan gerak-geriknya.
Nah, jika kau berkata bahwa seluruh makhluk yang
terlihat oleh Allah, adalah seperti satu orang, sehingga tiada yang tersembunyi
dari-Nya, maka apa yang baik atau pernyataan apa ini? Mesti dikatakan kepadamu,
bahwa bila kedudukan seseorang tinggi dan mulia, bahaya juga semakin besar,
sebab perlu baginya bersyukur atas karunia-Nya bagimu. Sehingga sedikit pun
menyimpang dari pengabdian kepada-Nya akan merusak kebersyukurannya dan
kepatuhannya kepada-Nya.
Allah berfirman: “Hai isteri-isteri Nabi, barangsiapa
di antaramu berbuat keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan
kepada mereka.” (QS 33:30) Allah berfirman demikian tentang isteri-isteri ini,
karena telah disempurnakan-Nya nikmat-Nya atas mereka dengan menghubungkan
mereka kepada Nabi. Bagaimanakah kiranya kedudukan orang yang dekat kepada-Nya?
Allah adalah Mahatinggi atas ciptaan-Nya. “Tiada menyerupai-Nya, dan Dia
Mahamendengar lagi Mahamelihat.” (QS 42:11)
NASEHAT SYAIKH ABDUL QADIR AL-JILANI JIKA KITA
MENGHADAPI KERAGU-RAGUAN
NABI Suci Muhammad SAW bersabda: “Campakkanlah segala
yang menimbulkan keraguan di benakmu, tentang yang halal dan yang haram, dan
ambillah segala yang tak menimbulkan keraguan pada dirimu.” Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani menjelaskan bila
sesuatu yang meragukan, maka ambillah jalan yang di dalamnya tiada sedikit pun
keraguan dan campakkanlah yang menimbulkan keraguan. Nabi bersabda: “Dosa
menciptakan kekacauan dalam hati.”
"Tunggulah, bila dalam keadaan begini, perintah
batin,” kata Syaikh Abdul Qadir dalam kitabnya berjudul Futuh Al-Ghaib.
"Bila kau diperintahkan untuk mengambilnya, maka lakukanlah sesukamu. Jika
kau dilarang, maka jauhilah dan anggaplah itu sebagai tak pernah ujud, dan
berpalinglah ke pintu Allah, dan mintalah pertolongan dari Tuhanmu." Andaikata
kau merasa kehabisan kesabaran, lanjutnya, kepasrahan dan kefanaan, maka
ingatlah bahwa Allah SWT tak perlu diingatkan, Dia tak lupa kepadamu dan
selainmu. Ia yang Mahakuasa lagi Mahaagung memberikan rezeki walau kepada orang
kafir, munafik dan mereka yang tak mematuhiNya.
Mungkinkah Dia lupa kepadamu, duhai yang beriman, yang
mengimani keesaan-Nya, yang senantiasa patuh kepada-Nya dan yang teguh dalam
menunaikan perintah-perintah-Nya siang dan malam. Sabda Nabi Suci yang lain:
“Campakkanlah segala yang menimbulkan keraguan di benakmu, dan ambillah yang
tak menimbulkan keraguan,” memerintahkanmu untuk melecehkan yang ada di tangan
manusia, untuk tak mengharapkan sesuatu pun dari manusia, atau untuk tak takut
kepada mereka, dan untuk menerima karunia Allah.
Dan inilah yang takkan membuatmu ragu. Karena itu, hanya ada
satu, yang kepadanya kita meminta, satu pemberi dan satu tujuan, iaitu Tuhanmu,
Yang Mahaperkasa lagi Mahaagung, yang di tangan-Nya kening para raja dan hati
manusia, yang adalah raja tubuh, berada – iaitu bahwa hati mengendalikan tubuh
– tubuh dan wang manusia adalah milik-Nya, sedang manusia adalah agen dan
kepercayaan-Nya.
Bila mereka menggerakkan tangan mereka kepadamu, hal itu atas
izin, perintah dan gerakNya. Begitu pula, bila karunia ditahan darimu. Allah
SWT berfirman: “Mintalah kepada Allah karunia-Nya.” “Sesungguhnya yang kau abdi
selain Allah, tak memberimu sesuatu pun karena itu. Mintalah karunia kepada
Allah dan abdikan kepada Dia dan bersyukurlah kepada-Nya.” “Bila hamba-hambaku
bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku sangat dekat; Aku menerima
doa dari yang berdoa bila ia berdoa kepada-Ku.” “Serulah Aku, maka Aku akan
menyahutmu.” “Sesungguhnya Allah adalah Pemberi karunia, Tuhan kekuatan.” Dan “Sesungguhnya
Allah memberikan karunia kepada yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”
4 JENIS MANUSIA MENURUT SYAIKH ABDUL QADIR, ADA YANG BAGAI
API DALAM SEKAM
SYAIKH Abdul Qadir Al-Jilani membagi manusia dalam empat golongan.
"Ada empat jenis manusia," katanya dalam kitabnya Futuh Al-Ghaib.
Manusia jenis pertama, menurut Syaikh, tak berlidah dan
tak berhati. Mereka adalah manusia biasa, bodoh dan hina. Mereka tak pernah
ingat kepada Allah. Tiada kebaikan dalam diri mereka. Mereka bagai sekam tak
berbobot (berguna), jika Allah tak mengasihi mereka, membimbing hati mereka
kepada keimanan pada-Nya Sendiri. "Waspadalah, jangan menjadi seperti mereka,"
tuturnya mengingatkan."Inilah manusia-manusia sengsara dan dimurkai oleh
Allah. Mereka adalah penghuni-penghuni neraka. Kita berlindung kepada Allah
dari mereka," katanya.
Selanjutnya Syaikh Abdul Qadir menyampaikan nasehatnya:
hiasilah dirimu dengan Ma’rifat. Jadilah guru kebenaran, pembimbing ke jalan
agama, pemimpinnya dan penyerunya. Ingat, bahwa kau mesti mendatangi mereka,
mengajak mereka kepada ketaatan kepada Allah dan memperingatkan mereka akan dosa
terhadap Allah. Maka, kau akan menjadi pejuang di jalan Allah dan akan diberi
pahala, sebagaimana para Nabi dan utusan Allah. Nabi Suci SAW berkata kepada Ali RA: “Jika
Allah membimbing seseorang melalui pembimbingmu atasnya, adalah lebih baik
bagimu daripada tempat matahari terbit.”
Manusia jelas kedua, menurut Syaikh Abdul Qadir
Al-Jilani, berlidah tapi tak berhati. Mereka bijak berbicara, tapi tak berbuat
bijak kerana tidak melakukan apa yang dikata. Mereka menyeru orang kepada
Allah, tapi mereka sendiri jauh dari-Nya. Mereka jijik terhadap noda orang
lain, tapi mereka sendiri tenggelam dalam noda. Mereka menunjukkan kepada orang
lain kesolehan mereka, tapi mereka sendiri berbuat dosa besar terhadap Allah
(syirik kepada Allah dengan menduakanNya dengan diri mereka sendiri tampa
sedar).
Bila sendirian, mereka bagai serigala berbusana. Inilah
manusia yang tentangnya Nabi memperingatkan. Ia bersabda: “Hal yang paling
mesti ditakuti, yang aku takuti, oleh pengikut-pengikutku, iaitu orang berilmu
yang jahat.” Kita berlindung kepada Allah dari orang semacam itu. Maka dari
itu, menjauhlah selalu dari orang seperti itu, agar kau tak terseret oleh
manisnya lidahnya, yang kemudian api dosanya akan membakarmu, dan kebusukan
ruhani serta hatinya akan membinasakanmu.
Manusia jenis ketiga, Syaikh Abdul Qadir mengatakan
berhati tapi tak berlidah, dan beriman. Allah telah memberinya dari makhlukNya,
menganugerahinya pengetahuan tentang noda-noda dirinya sendiri, mencerahkan
hatinya dan membuatnya sadar akan mudharatnya bergaul dengan manusia, akan
kekejian berbicara dan yang telah iaini bahwa keselamatan ada dalam berdiam
diri serta keberadaan dalam sebuah sudut. Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa
senantiasa diam, maka ia memperoleh keselamatan.” “Sesungguhnya pengabdian
kepada Allah terdiri atas sepuluh bagian, yang sembilan bagian ialah berdiam
diri.” Maka, orang ini adalah wali Allah dalam hal rahasia-Nya, terlindungi,
memiliki keselamatan dan banyak pengetahuan, terahmati dan segala yang baik ada
padanya.
"Nah, ingatlah, bahwa kau mesti senantiasa bersama
dengan orang semacam ini, layanilah ia, cintailah ia dengan memenuhi kebutuhan
yang dirasakannya, dan berilah ia hal-hal yang akan menyenangkannya. Bila kau
melakukan yang demikian ini, maka Allah akan mencintaimu, memilihmu dan
memasukkanmu ke dalam kelompok sahabat dan hamba saleh-Nya disertai
rahmat-Nya," jelasnya
Selanjutnya Syaikh Abdul Qadir menyebut manusia jenis keempat, ialah manusia yang diundang ke dunia gaib,
yang dibusanai kemuliaan. “Barangsiapa mengetahui dan bertindak berdasarkan
pengetahuannya dan memberikannya kepada orang lain, maka ia diundang ke dunia
gaib dan menjadi mulia.”
Orang semacam itu memiliki pengetahuan tentang Allah dan
tanda-Nya. Hatinya menjadi penyimpan pengetahuan yang langka tentang-Nya, dan
Ia dianugerahkan rahasia-rahasia yang disembunyikan-Nya dari yang lain. Ia
memilihnya, mendekatkannya kepada-Nya Sendiri, membimbingnya, memperluas
hatinya agar bisa menerima rahasia-rahasia dan pengetahuan-pengetahuan ini, dan
menjadikannya seorang pekerja dijalan-Nya, penyeru hamba-hamba-Nya kepada jalan
kebajikan, pengingat akan siksaan perbuatan-perbuatan keji, dan hujjatullah di
tengah-tengah mereka, pemandu dan yang terbimbing, perantara, dan yang perantaraannya
diterima, seorang Shiddiqin dan saksi kebenaran, wakil para nabi dan utusan
Allah, yang bagi mereka limpahan rahmat Allah.
Maka, orang ini menjadi puncak umat manusia. Tiada maqam di
atas ini, kecuali maqam para Nabi. Adalah kewajibanmu untuk berhati-hati, agar
kau tak memusuhi orang semacam itu, tak menjauhinya dan tak melecehkan
ucapan-ucapannya. Sesungguhnya keselamatan terletak pada ucapan dan kebersamaan
dengan orang itu. Sedang kebinasaan dan kesesatan terletak pada selainnya;
kecuali orang yang dikaruniai oleh Allah daya dan pertolongan yang membawa
kepada kebenaran dan kasih sayang.
"Nah, telah kupaparkan bagimu bahwa manusia dibagi
menjadi empat bagian. Maka, perhatikanlah dirimu sendiri jika kau punya jiwa
yang telusmata. Selamatkanlah dirimu dengan sinarnya, jika kau ingin sekali
menyelamatkannya dan mencintainya. Semoga Allah membimbing kita kepada yang
dicintainya di dunia ini dan di akhirat!" demikian Syaikh Abdul Qadir
Al-Jilani.
DOA YANG TAK LAYAK, MENURUT SYAIKH ABDUL QADIR AL-JILANI
SYAIKH Abdul Qadir Al-Jilani mengatakan adalah aneh bila kita
marah kepada Tuhan dan menganggap Yang Mahakuasa lagi Mahaagung, tak adil,
menahan rezeki, tak menjauhkan musibah bagi kita. "Tidakkah kau tahu bahwa
setiap kejadian ada waktunya, dan setiap musibah ada akhirnya? Keduanya tak
bisa dimajukan atau ditunda. Masa-masa musibah tak berubah, sehingga datang
kebahagiaan," ujarnya dalam kitabnya yang berjudul Futuh Al-Ghaib.
Mencelah: Samalah
dengan keadaan Negara kita sekarang. Begitu ramai yang berdoa, malahan berjuta
berdoa diseluruh dunia, tapi tidak satu pun doa mereka di Qabulkan untuk dijauhi
dari Pendamik Coronavirus Covid19. Apa yang tak mereka lakukan, mereka berdoa
setiap hari, mereka membaca ayat-ayat suci setiap hari, mereka solat sunat
hajat setiap waktu, mereka solat taubat setiap hari dan berbagai lagi amalan
untuk memohon agar Allah SWT angkat musibah ini dari kita semua. Malah ada juga
yang berbangga diri dengan amalan-amalan yang mereka lakukan kerana dipaparkan
dikaca TV serta meminta bayaran atas kerja yang diberikan kepadanya. Tetapi
masih saja tidak berlaku apa-apa, malah bertambah kematian saban hari. Nah!!!! Dimana silapnya? Dimana salah kita?
Hingga kita tidak tahu lagi nak berbuat apa-apa. Kes covid19 tetap saja
meningkat saban hari. Cubalah anda fikir dan renung sedalam-dalamnya dan
muhasabah diri, kenapa Allah berbuat begini? Adakah Allah telah melupakan kita
atau sengaja membiarkan kita semua hidup dalam ketakutan, atau nakkan manusia
kufur semuanya mati, atau supaya kita kembali kepada Nya dengan jalan
bertakarub dan uslah untuk lari masuk kedakapan Nya? Rasanya hanya itu saja
jalan yang ada sekarang. Fikirkanlah wahai saudara dan saudari sekalian.
Masa-masa kesulitan tak berlalu, katanya, sehingga datang
kemudahan. "Berlaku paling baiklah, diamlah senantiasa, bersabar,
berpasrah dan ridhalah kepada Tuhanmu. Bertobatlah kepada Allah,"
nasehatnya. Syaikh Abdul Qadir menjelaskan bahwa di hadapan Allah tiada tempat
untuk menuntut atau membalas dendam seseorang tanpa dosa dorongan nafsu,
sebagaimana yang terjadi dalam hubungan antar hamba-Nya. Ia, Yang Mahakuasa
lagi Mahaagung, sepenuhnya esa. Ia menciptakan hal-hal dan menciptakan manfaat
dan mudharat. Maka, Ia mengetahui awal, akhir dan akibat mereka. "Ia, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung,
bijak dalam bertindak dan tiada ketakselarasan dalam tindakanNya. Ia tak
melakukan sesuatu pun tanpa arti dan main-main," tuturnya.
Permohonan Sia-sia
Adalah tak layak menisbahkan kecacatan atau kesalahan kepada
tindakan-Nya. Lebih baik menunggu kemudahan, jika kau merasakan kepudaran
kepatuhanmu terhadap-Nya, hingga tibanya takdir-Nya, sebagaimana datangnya
musim panas setelah berlalunya musim dingin, dan sebagaimana datangnya siang
setelah berlalunya malam. Nah, jika kau memohon tibanya cahaya siang selama
kian memekatnya malam, maka permohonanmu sia-sia; tapi kepekatan malam kian
memuncak hingga mendekati fajar, siang datang dengan kecerahannya, entah kau
kehendaki atau tidak. Jika kau kehendaki kembalinya malam pada saat itu, maka
doamu takkan dikabulkan. Sebab kau telah meminta sesuatu yang tak layak. Kau
akan dibiarkan meratap, lunglai, jemu, hampa dan lara.
Tinggalkanlah semua ini, senantiasa beriman dan patuhlah
kepada Tuhanmu dan bersabarlah. Maka, segala milikmu takkan lari darimu, dan
segala yang bukan milikmu takkan kau peroleh. Demi imanku, begitulah, mohonlah
pertolongan kepada Allah, dengan mematuhi-Nya. “Mohonlah kepadaKu, maka akan
Kuterima permohonanmu.” (QS 40:60). “Mintalah kepada Allah karunia-karunia-Nya.”
(QS 4:32). Mohonlah kepada-Nya, maka Ia akan menerima permohonanmu pada
saatnya, bila dikehendaki-Nya, dan bila hal itu bermanfaat bagimu dalam
kehidupan duniawimu dan akhirat.
Jangan salahkanNya bila Dia menangguhkan penerimaan doamu.
Jangan jemu berdoa. Sebab, sesungguhnya jika kau tak memperoleh, kau juga tak
rugi. Jika Ia tak segera menerima doamu di kehidupan duniawi ini, maka Ia akan
menyisihkan bagimu pahala di kehidupan kelak. Nabi saw bersabda bahwa pada Hari
Kebangkitan hamba-hamba Allah akan mendapati dalam kitab amalannya amal-amal
yang tak dikenalinya. Lalu, kepadanya dikatakan bahwa itu adalah balasan dari
doa-doanya di kehidupan duniawi yang tak dikabulkan.
Maka dari itu, ujar Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, ingatlah
selalu Tuhanmu, esakanlah Ia selalu dalam memohon sesuatu dari-Nya. Jangan
memohon kepada selain-Nya. Maka, setiap saat, baik siang maupun malam, sehat
atau sakit, suka atau duka, kau berada dalam keadaan:
Pertama, tak meminta, ridha dan pasrah
kepada kehendak-Nya, seperti jasat mati di hadapan orang yang memandikannya,
atau seperti bayi di tangan perawat, atau seperti bola polo di depan pemain
polo, yang menggulirkannya dengan tongkat polonya. Dan Allah berbuat
sekehendakNya. Bila hal itu adalah rahmat, rasa syukur dan puja-puji meluncur
darimu, dan limpahan rahmat datang dari-Nya, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung,
sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya jika kau bersyukur, tentu akan Kuberikan
kepadamu lebih banyak lagi” (QS 14:7)
Tapi, jika hal itu adalah musibah, maka kesabaran dan
kepatuhan meluncur darimu dengan pertolongan kekuatan yang dianugerahkan
oleh-Nya, keteguhan hati, pertolongan rahmat dan kasih-sayang dari-Nya, sebagaimana
firman-Nya, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung: “Sesungguhnya Allah bersama orang
yang sabar.” (QS 2:153). “Jika kau menolong Allah, maka Ia akan menolongmu dan
meneguhkan pijakanmu.” (QS 47:7)
Bila kau telah membantu (jalan) Allah, dengan menentang hawa
nafsumu, tak menyalahkanNya, menghindari ketaksenangan dirimu terhadap
kehendak-Nya, menjadi musuh diri demi Allah, siap menyerangnya dengan pedang
bila ia bergerak dengan kekafiran dan kesyirikannya, menebas kepalanya dengan
kesabaran dan keselarasanmu dengan Tuhanmu, dengan keridhaan terhadap kehendak
dan janji-Nya, – jika kau berlaku demikian, maka Allah akan menjadi penolongmu.
Mengenai rahmat dan kasih-sayang Ia berfirman: “Berilah kabar baik kepada
orang-orang yang sabar, mereka, yang bila ditimpa musibah. Firman Allah: “Sesungguhnya
kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali. Mereka adalah yang
dikaruniai rahmat dan kasih-sayang Tuhan mereka, dan mereka adalah
pengikut-pengikut jalan kebenaran.” (QS 2:156-157). Atau
Kedua, memohon kepada Allah dengan
kerendahan diri, dengan mengagungkan-Nya, dan patuh kepada
perintah-perintah-Nya. Ya, berdoalah kepada Allah, hal itu adalah layak, sebab
Ia sendirilah yang memerintahkanmu untuk memohon kepada-Nya, berpaling
kepada-Nya, telah membuat hal itu sebagai sarana kesenanganmu, semacam utusan
darimu kepada-Nya, sarana penghubung dengan-Nya,dan sarana pendekatan
kepada-Nya, asalkan, tentu saja, kau tak menyalahkan-Nya, marah kepada-Nya,
karena ditangguhkan-Nya penerimaan doamu.
Nah, lanjut Syaikh Abdul Qadir, perhatikanlah perbedaan
antara dua keadaan ini. Jangan berada di luar keduanya, sebab tiada keadaan
selain keduanya. Berhati-hatilah agar kau tak berbuat aniaya, yang melanggar
batas. Sehingga Ia akan membinasakanmu dan Ia takkan memperhatikanmu, sebagaimana
dibinasakan-Nya orang-orang yang telah terdahulu di dunia ini, dengan menambah
bencana-bencanaNya, dan di akhirat, denagn siksa yang amat pedih. Mahabesar
Allah! Wahai yang tahu keadaanku! Kapada-Mulah aku beriman.
SYAIKH ABDUL QADIR: DOA ORANG BERPENGETAHUAN ROHANI TAK
SELALU TERKABUL
SYAIKH Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitabnya " Futuh
Al-Ghaib " bertutur, sesungguhnya doa orang yang berpengetahuan rohani
kepada Allah Yang Mahakuasa lagi Mahaagung, tak dikabulkan, dan setiap janji
yang dibuat kepadanya tak dipenuhi, agar ia tak hancur karena terlalu-
optimistis. Sebab setiap keadaan atau maqam rohani mempunyai ketakutan dan
harapan. Dengan demikian, orang yang berpengetahuan rohani mengalami kedekatan
dengan-Nya, sehingga ia tak menghendaki sesuatu pun selain Allah. Maka
permohonan (sang pengabdi) agar doanya diterima dan janji kepadaNya dipenuhi,
bertentangan dengan jalan dan keadaan dirinya sendiri.
Ada dua sebab untuk ini. Pertama ia tak diatasi oleh harapan
dan khayal diri melalui rencana tinggi Allah, dan lupa akan kebaikannya dalam
penghampirannya kepada Allah, sehingga ia hancur.
Kedua, hal itu sama dengan menyekutukan-Nya dengan sesuatu.
Sebab tak satu pun di dunia ini sepenuhnya bebas dari dosa, kecuali para Nabi. PERINGATAN… Berhati-hati dengan
kata-kata dan terjemahan ayat-ayat suci alQuran terutama dengan kata-kata “YANG”,
kerana ia adalah nama dewa kaum hindu (dalam bahasa sansrik). Cuba lari dari
menyebut nama ini terutama didalam solat (TERUTAMA ketika membaca surah
alFatihah dan mentasdihnya didalam hati). Umat islam dilarang menyembah dua
tuhan dalam satu masa dan jangan sekutukan Allah dengan apa juga makhlukNya.
Kamu syrik didalam solat kamu. Inilah rahsia solat paling besar yang menjadi
kunci untuk khusuk dalam solat 5 waktu dan semua solat-solat sunat.
Karena inilah, menurut Syaikh Abdul Qadir, Ia tak selalu
mengabulkan doanya dan tak memenuhi janji kepada sang pengabdi, agar ia tak
meminta sesuatu pun atas dorongan hawa nafsunya tanpa mematuhi perintah-perintah-Nya,
yang di dalamnya terletak kemungkinan kesyirikan, dan dalam setiap keadaan,
langkah dan maqam sang salik banyak kemungkinan berbuat kesyirikan.
"Tetapi bila doanya selaras dengan perintah, maka hal
itu mendekatkan manusia kepada Allah, semisal solat, puasa, kewajiban-kewajiban
lainnya, sunnah serta kewajiban tambahan, sebab dalam hal-hal ini ada kepatuhan
kepada perintah," demikian Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
RESEPI MENJADI SOLEH MENURUT SYAIKH ABDUL QADIR AL-JILANI
MENJADI soleh tidaklah mudah. Bahkan jika kita mengikuti
resepi yang dikatakan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, rasa-rasanya hanya sedikit
yang mampu. Semoga saja kita masuk dari yang sedikit itu.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitabnya yang berjudul
Futuh Al-Ghaib mengatakan: Jangan berharap menjadi soleh, jika kau belum
menjadi musuh kedirianmu, dan benar-benar terlepas dari semua organ tubuhmu,
dan terlepas dari semua hubungan dengan keujudanmu, dengan gerak-gerikmu dan
kediamanmu, dengan pendengaranmu dan penglihatanmu, dengan pembicaraan dan
dengan diammu, dengan upaya, tindakan dan pemikiranmu, dan dengan segala yang
berasal darimu, sebelum kemaujudan rohanimu mewujud dalam dirimu. Disebut juga
“mati sebelum mati” atau “Isbat dan Nafi”
Dan semua itu akan kau dapati, ujar Syaikh, setelah
kemaujudan rohani bersemayam di dalam dirimu, sebab ini menjadi tabir antara kau
dan Tuhanmu. "Bila kau menjadi seorang yang suci jiwanya, bersahaja,
rahasia dari segala rahasia dan yang gaib dari segala yang gaib, maka kau
benar-benar berbeda dengan segala yang rahasia, dan mengakui segala suatu
sebagai musuh, pengalang dan kegelapan, sebagaimana Nabi Ibrahim as berkata:
“Sesungguhnya mereka adalah musuh-musuhku, kecuali Tuhan semesta alam.” (QS
26:77)
"Dia berkata begini terhadap berhala-berhala. Maka
pandanglah segala keujudanmu sebagai berhala, begitu pula ciptaan lainnya,
jangan mematuhi mereka dan jangan mengikuti mereka," tuturnya. Menurutnya,
bila itu bisa dilakukan maka kau akan dikaruniai hikmah, ma’rifat, daya cipta
dan keajaiban, seperti yang dimiliki para beriman di surga. Keberadaanmu dalam
kondisi begini bak terbangkitkan dari kematian di akhirat. Menjadilah kau
perwujudan kuasa Allah; kau mendengar melalui-Nya, melihat melalui-Nya,
berbicara melalui-Nya, diam melalui-Nya, senang dan damai melalui-Nya. Dengan
demikian, kata beliau, kau akan tuli terhadap segala suatu selain-Nya: sehingga
kau tak mendapati kemaujudan selain-Nya, sehingga kau mengetahui hukum dan
selaras dengan kewajiban dan larangan.
"Maka bila sesuatu kekeliruan ada padamu, ketahuilah
bahwa kau sedang diuji, digoda dan dipermainkan oleh syaitan-syaitan. Maka kembalilah
kepada hukum dan pegang teguhlah ia, dan jagalah dirimu agar senantiasa bersih
dari keinginan-keinginan rendah, sebab segala yang tak dikukuhkan oleh hukum
adalah kekafiran," demikian Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
NASEHAT SYAIKH ABDUL QADIR AL-JILANI AGAR TIDAK IRI HATI
DENGAN TETANGGA YANG KAYA HARTA
SYAIKH Abdul Qadir Al-Jilani mengingatkan kepada kita untuk
tidak iri hati terhadap tetangga yang hidup lebih baik dengan ekonomi yang
lebih mapan dari kita. Berikut nasehat Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani yang
dituangkan dalam kitabnya berjudul Futuh Al-Ghaib.
Dia bersyarah:
Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kau iri terhadap
tetanggamu yang hidup senang, yang memperoleh rahmat-rahmat dari Tuhannya?
Tidakkah kau tahu bahwa yang demikian ini melemahkan imanmu, mencampakkanmu di
hadapan Tuhanmu dan membuatmu dibenci oleh-Nya? Sudahkah kau dengar sabda Nabi
bahwa Allah berfirman: “Seorang yang iri hati adalah musuh rahmat Kami"?
Belumkah kau dengar sabda Nabi: “Sesungguhnya, keiri hatian melahap
habis kebajikan, sebagaimana api melahap habis bahan bakar”? Lantas, kenapa kau
iri terhadapnya. Duhai orang yang malang? Baginyakah atau bagimu? Nah, jika kau
iri terhadapnya, lantaran karunia Allah baginya, maka berarti kau tak selaras
dengan firman-Nya: “Kami karuniakan di antara mereka rizeki-rizeki mereka di
kehidupan duniawi ini.” (QS 43:32)
Berarti kau benar-benar zalim terhadap orang ini, yang
menikmati karunia Tuhannya, yang khusus Dia karuniakan kepadanya, yang telah
dijadikan-Nya sebagai bagiannya dan yang tidak diberikan-Nya sedikit pun dari
bagian itu kepada orang lain. Nah, siapakah yang lebih zalim, serakah dan bodoh
selainmu? Allah bebas dari kecacatan seperti
itu. Firman-Nya: “Kami takkan berubah, dan Kami tak menzalimi hamba-hamba
Kami.” (QS 1:29)
Sesungguhnya Allah takkan mencabut darimu segala yang telah
ditentukan-Nya bagimu dan takkan memberikannya kepada selainmu. Maka, lebih
baik bagimu iri terhadap bumi yang menyimpan aneka harta kekayaan, seperti
emas, perak dan batu-batu berharga, yang telah dipendam oleh raja-raja
terdahulu, seperti kaum ‘Ad, Tsamud, para raja serta kaisar Persia dan Romawi –
daripada iri terhadap saudaramu.
Hal ini seperti seorang yang melihat seorang raja yang
memiliki kekuasaan, tentera, kehormatan dan kerajaan, yang menguasai
negeri-negeri, memungut pajak, memeras mereka demi keuntungan pribadi dan
menikmati aneka kesenangan, tapi tidak irihati terhadap raja itu, sedang
terhadap seekor anjing buas yang tunduk kepada salah seekor anjing raja itu,
yang bersamanya siang dan malam, dan diberi sisa-sisa makanan dari dapur
kerajaan, dan hidup dengannya, orang ini mulai irihati terhadap anjing raja itu,
memusuhinya, menghendaki kematiannya, dan ingin menggantikan kedudukannya
sepeninggalnya, tanpa merasa enggan terhadap dunia, atau membina sikap beragama
dan ridha dengan nasibnya. Adakah manusia, di sepanjang masa, yang lebih bodoh
daripada orang itu?
Maka, ketahuilah. Duhai orang yang malang! Apa yang mesti
dihadapi oleh tetanggamu kelak pada Hari Kebangkitan, jika ia tak mematuhi
Allah, padahal ia menikmati karunia-karuniaNya dan tak memanfaatkan
karunia-karunia itu untuk mengabdi kepada-Nya? Belumkah kau dengar keterangan ini:
“Sesungguhnya akan ada kelompok-kelompok orang yang menghendaki, pada Hari
Kebangkitan, agar daging mereka dipisahkan dari tubuh mereka dengan gunting,
karena mereka melihat pahala bagi penderita-penderita kesulitan.” Maka
tetanggamu akan menginginkan, pada Hari kebangkitan, kedudukanmu di dunia ini,
karena pertanggungjawabannya, kesulitan-kesulitannya, keberdiriannya selama
lima puluh ribu tahun di terik matahari masa itu, atas kenikmatan hidup duniawi
yang telah direguknya.
Sedang kau akan selamat dari hal ini di bawah naungan Arsy
Allah, sembari makan, minum, bersenang-senang karena kesabaranmu dalam
menghadapi nasibmu dan keselarasanmu dengan perintah Tuhanmu. Semoga Allah
menjadikanmu orang yang sabar dalam menghadapi musibah, bersyukur atas
rahmat-Nya dan memasrahkan segala urusannya kepada Tuhan bumi dan langit.
SYAIKH ABDUL QADIR AL-JILANI BERTUTUR TENTANG KELIMPAHAN
RAHMAT ALLAH
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitabnya berjudul Futuh
Al-Ghaib memaparkan sebuah misal tentang kelimpahan rahmat Allah. Beliau
berkata, “Tidakkah kau lihat seorang raja yang menjadikan seorang biasa sebagai
gabnur kota tertentu, memberinya busana kehormatan, bendera, panji-panji dan
tentera, sehingga ia merasa aman mulai iaini bahwa hal itu akan kekal, bangga
dengannya, dan lupa akan keadaan sebelumnya.
Ia terseret oleh kebanggaan, kesombongan, dan kesia-siaan.
Maka, datanglah perintah pemecatan dari raja. Dan sang raja meminta penjelasan
atas kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya dan pelanggarannya atas
perintah dan larangannya. Lalu sang raja memenjarakannya di dalam sebuah
penjara yang sempit dan gelap serta memperlama-pemenjaraannya, dan orang itu
terus menderita, terhinakan dan sengsara, akibat ketakaburan dan
kesia-siaannya, dirinya hancur, api kehendaknya padam, dan semua ini terjadi di
depan mata sang raja dan diketahuinya.
Setelah itu ia menjadi kasihan terhadap orang itu, dan
memerintahkan agar ia dibebaskan dari penjara, disertai kelembutan terhadapnya,
dianugerahkan kembali busana kehormatan, dan dijadikannya kembali ia sebagai
gubernur. Ia menganugerahkan semua ini kepada orang itu sebagai karunia
cuma-cuma. Kemudian ia menjadi teguh, bersih, berkecukupan dan terahmati. Beginilah
keadaan seorang beriman yang didekatkan dan dipilih-Nya.
Ia bukakan di hadapan mata hatinya pintu-pintu kasih sayang,
kemurahan dan pahala. Maka, ia melihat dengan hatinya yang mata tak pernah
melihat, yang telinga tak pernah mendengar, yang hati manusia tak tahu akan
hal-hal gaib dari kerajaan langit dan bumi. Akan kedekatan dengan-Nya. Akan
kata manis, janji menyenangkan, limpahan kasih-sayang. Akan diterimanya doa dan
kebajikan. Dan akan dipenuhinya janji serta kata-kata bijak bagi hatinya, yang
menyatakan sendiri melalui lidahnya. Dan dengan semua ini Ia sempurnakan bagi
orang ini karunia-karunia-Nya pada tubuhnya, yang berupa makanan, minuman,
busana, isteri yang halal, hal-hal lain yang halal dan pemerhati terhadap hukum
dan tindak pengabdian.
Lalu, Allah memelihara keadaan ini bagi hamba beriman-Nya
yang didekatkan kepada-Nya sampai sang hamba beriman-Nya yang didekatkan
kepada-Nya sampai sang hamba merasa aman di dalamnya, terkecoh olehnya dan
percaya bahwa hal itu kekal. Maka, Allah membukakan baginya pintu-pintu
musibah, aneka kesulitan hidup, milikan, isteri, anak, dan mencabut darinya
segala karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepadanya sebelum ini, sehingga ia
terkulai, hancur dan terputus dari masyarakatnya.
Bila ia melihat keadaan-keadaan lahiriahnya, maka ia melihat
hal-hal yang buruk baginya. Bila ia melihat hati dan jiwanya, maka ia melihat
hal-hal yang menyedihkannya. Jika ia memohon kepada Allah untuk menjauhkan
kesulitannya, maka permohonannya itu tak diterima. Jika ia memohon janji baik,
ia tak segera mendapatkannya. Jika ia berjanji, ia tak tahu tentang
pemenuhannya. Bila ia bermimpi, ia tak bisa menafsirkannya dan tak tahu tentang
kebenarannya. Bila ia bermaksud kembali kepada manusia, ia tak mendapatkan
sarana untuk itu. Bila ada sesuatu pilihan baginya dan ia bertindak berdasarkan
pilihan itu, maka ia segera tersiksa, tangan-tangan orang memegang tubuhnya,
dan lidah-lidah mereka menyerang kehormatannya. Bila ia hendak melepaskan
dirinya dari keadaan ini, dan kembali kepada keadaan sebelumnya, ia gagal. Bila
ia memohon agar dikaruniai pengabdian, ketercerahan dan kebahagiaan di
tengah-tengah musibah yang dialaminya, permohonannya itu pun tak diterima.
Maka, dirinya mulai meleleh, hawa nafsunya mulai sirna,
maksud-maksud serta kerinduan-kerinduannya mulai pupus, dan kemaujudan segala
suatu menjadi tiada. Keadaannya ini diperpanjang dan kian hebat, hingga sang
hamba berlalu dari sifat-sifat manusia. Tinggallah ia sebagai ruh. Ia mendengar
panggilan jiwa kepadanya:
“Hantamkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan
minum.” (QS 38:42) Sebagaimana panggilan kepada Nabi Ayub AS . Lalu Allah
mengalirkan samudera kasih-sayang dan kelembutan-Nya ke dalam hatinya,
menggelorakannya dengan kebahagiaan, aroma harum pengetahuan tentang hakikat
dan ketinggian pengetahuan-Nya, membukakan baginya pintu-pintu nikmat dalam
segala keadaan hidup, membuat para raja mengabdi kepadanya, menyempurnakan
baginya nikmat-nikmat-Nya lahiriah dan ruhaniah, menyempurnakan lahiriahnya
melalui makhluk dan rahmat-rahmat lain-Nya, menyempurnakan ruhaninya dengan
kelembutan dan karunia-Nya, dan membuat keadaan ini berkesinambungan baginya,
hingga ia menghadap-Nya. Kemudian Ia
memasukkannya ke dalam yang mata tak pernah melihat, yang telinga tak pernah
mendengar dan yang tak pernah tersirat dalam hati manusia, sebagaimana
firman-Nya: “Tiada jiwa yang tahu yang disembunyikan bagi mereka, yang akan
mengenakkan mata mereka, balasan bagi yang telah mereka perbuat.” (QS 32:17)
KEADAAN PARA WALI DAN BADAL WALI MENURUT SYAIKH ABDUL QADIR
AL-JILANI
RASULULLAH SAW bersabda dari Rabnya: “Barangsiapa senantiasa
mengingat-Ku dan tak sempat minta sesuatu pun dari-Ku, maka akan Kuberikan
kepadanya yang lebih baik daripada yang Kuberikan kepada mereka yang meminta.” Menurut
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani , hal ini kerena bila Allah menghendaki seorang
mukmin bagi maksud-maksud-Nya sendiri, maka Ia melakukannya melalui aneka
keadaan rohani, dan mengujinya dengan aneka upaya dan musibah. Lalu Dia
membuatnya sedih setelah senang, dan membuatnya hampir minta kepada orang,
sedang tiada jalan terbuka baginya; lalu menyelamatkannya dari meminta dan
membuatnya hampir meminjam kepada orang.
Lalu Ia menyelamatkannya dari meminjam, dan membuatnya
bekerja mencari nafkah dan memudahkan baginya. Maka hiduplah ia dengan
perolehannya, dan hal ini selaras dengan sunnah Nabi. Tapi, kemudian, Ia
membuatnya sulit mendapatkan rezeki dan memerintahkannya, lewat ilham, untuk
meminta kepada manusia. Inilah sebuah perintah tersembunyi yang hanya diketahui
oleh orang yang bersangkutan. "Dan Ia membuat permintaan ini sebagai
pengabdiannya dan berdosa melecehkannya, sehingga keangkuhannya pupus,
kediriannya hancur, dan inilah pembinaan rohani," tuturnya dalam kitab
Futuh Al-Ghaib.
Permintaannya karena dipaksa oleh Allah, menurut Syaikh Abdul
Qadir, bukan karena kesyirikanNya. Lalu Ia menyelamatkannya dari keadaan
begini, dan memerintahkannya untuk meminjam kepada orang, dengan perintah yang
kuat yang tak mungkin lagi dielakkan, sebagaimana halnya dengan keadaan
meminta.
Lalu Ia mengubahnya dari keadaan ini, menjauhkannya dari
orang dan hanya bertumpu pada permintaannya kepada-Nya. Maka ia meminta kepada
Allah segala yang dibutuhkannya. Ia memberinya, dan tak memberinya jika ia tak
memintanya. Lalu Ia mengubahnya dari meminta lewat lidah menjadi meminta lewat
hati. Maka ia meminta kepadanya segala yang dibutuhkannya, sehingga bila ia
memintanya dengan lidah, Ia tak memberinya, atau bila ia memninta kepada orang,
mereka juga tak memberinya. Lalu Ia menafikkannya dari dirinya dan dari meminta
baik secara terbuka maupun tersembunyi. Maka Ia mengaruniainya segala yang
membuat orang menjadi baik, – segala yang dimakan, diminum, dipakai dan
keperluan hidup tanpa upaya atau tanpa diduganya.
Maka menjadilah Allah walinya, dan ini sesuai dengan ayat:
“Sesungguhnya waliku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab dan Ia adalah
wali para saleh.” (QS 7:196) Maka firman Allah yang diterima oleh Nabi SAW
menjadi kenyataan, iaitu, “Barangsiapa tak sempat meminta sesuatu dari-Ku, maka
Aku akan memberinya lebih dari yang Kuberikan kepada mereka yang meminta,” dan
inilah keadaan fana dalam Tuhan, suatu keadaan yang dimiliki oleh para wali dan
badal wali. Pada peringkat ini, ia dikaruniai daya cipta, dan segala yang
dibutuhkannya mewujud atas izin Allah, sebagaimana firman-Nya di dalam
Kitab-Nya: “Wahai anak Adam! Aku adalah Tuhan, tiada tuhan selain-Ku; bila
Kukatakan kepada sesuatu “jadilah”, maka jadilah ia. Patuhilah Aku, sehingga
bila kau berkata kepada sesuatu “jadilah”, maka juga, jadilah sesuatu itu.”
SYAIKH ABDUL QADIR: MAKAN, MINUM, DAN TIDUR BERLEBIHAN
MELENYAPKAN KEBAIKAN
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani mengatakan barangsiapa lebih
menyukai tidur daripada salat malam yang membawa ke arah ketakwaan, berarti ia
memilih sesuatu yang buruk, sesuatu yang mematikannya dan membuatnya acuh tak
acuh terhadap segala keadaan. "Sebab, tidur adalah saudara kematian,"
tuturnya dalam kitabnya Futuh Al-Ghaib.
Allah tak tidur, kata Syaikh Abdul Qadir, sebab Ia bersih
dari segala kecacatan. Begitu pula dengan para malaikat, sebab mereka
senantiasa amat dekat dengan Allah Yang Mahakuasa lagi Mahaagung. Begitu pula
dengan penghuni langit, sebab mereka sangat mulia dan suci, sebab tidur akan
menghancurkan keadaan hidup mereka. "Jadi, kebaikan terletak pada
keberjagaan, sedang keburukan terletak pada ke-tidur-an dan ketakacuhan
terhadap upaya," ujarnya. "Nah, barangsiapa makan, minum dan tidur
berlebihan, maka lenyaplah kebaikan dari dirinya," lanjutnya. Barangsiapa
makan sedikit dari yang haram, katanya, maka ia serupa dengan orang yang makan
banyak dari yang halal. Sebab sesuatu yang haram menggelapi iman. Bila iman
tergelapi, maka doa, ibadah dan jihad tak ujud.
Barangsiapa makan banyak dari yang halal berdasarkan perintah
Allah, maka ia menjadi seperti orang yang makan sedikit dengan penuh
pengabdian. "Jadi, sesuatu yang halal ialah cahaya yang ditambahkan pada
cahaya, sedang sesuatu yang haram ialah kegelapan yang ditambahkan pada
kegelapan, yang di dalamnya tiada kebaikan," tambahnya. "Maka makan
sesuatu yang halal dengan berlebihan, tak merujuk kepada perintah, adalah
seperti makan sesuatu yang haram, dan hal itu menyebabkan tidur, yang di
dalamnya tiada kebaikan," demikian Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
IBADAH YANG TERTOLAK MENURUT SYAIKH ABDUL QADIR AL-JILANI
SEORANG mukmin, menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani,
pertama-tama, menunaikan yang wajib. Bila ia telah menunaikan yang wajib, maka
ia menunaikan yang sunnah. Bila ia telah menunaikan keduanya, maka ia
menunaikan sunat-sunat tambahan. "Nah, bila seseorang belum melaksanakan
yang wajib, sedang ia melaksanakan yang sunnah, maka hal itu merupakan
kebodohan, takkan diterima dan ia akan hina," tuturnya dalam kitabnya yang
berjudul Futuh Al-Ghaib. "Ia seperti orang yang diminta untuk mengabdi
kepada raja, namun ia tak mengabdi kepadanya, tapi ia mengabdi kepada hamba
sang raja yang berada di bawah kekuasaannya," lanjutnya.
Diriwayatkan oleh Ali putra Abu Thalib, bahwa Nabi Suci SAW
berkata: “Ibarat tentang orang yang menunaikan yang sunnah, padahal ia belum
menunaikan yang wajib, ialah seperti wanita hamil yang keguguran di kala akan
melahirkan. Dengan demikian, ia tak hamil lagi dan tak jadi menjadi ibu.” Begitu
pula dengan orang yang beribadah, yang Allah tak menerima penunaiannya akan
yang sunnah, sebelum ia menunaikan yang wajib. Hal ini juga seperti usahawan
yang takkan mendapatkan keuntungan apa pun sebelum ia mengelola modalnya.
Begitu pula dengan orang yang menunaikan yang sunnah, yang
takkan diterima jerih payahnya itu, sebelum ia menunaikan yang wajib. Begitu
pula dengan orang yang mengabaikan yang sunnah, dan menunaikan hal-hal yang tak
ditentukan oleh aturan apa pun. "Nah, di antara kewajiban-kewajiban itu
ialah penjauhan dari yang haram, dari mengabaikan ketentuan-Nya, dari menimpa
suara manusia, dari mengikuti kehendak mereka, dari berpaling dari perintah
Allah, dan dari Ketakpatuhan kepada-Nya," ujarnya. Nabi SAW bersabda:
“Tiada kepatuhan, selagi masih berbuat dosa terhadap Allah.”
(ULANGKAJI)
KISAH PARA WALI: AWAL MULA SYEIKH ABDUL QADIR AL-JILANI
BELAJAR TASAWUF
(Daripada penulis yg lain)
Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani (471-561 H), ulama besar yang dijuluki
pemimpin para wali (Sultanul Auliya) kelahiran Persia (Iran). Beliau dikaruniai
kedalaman ilmu tauhid, fiqih, sunnah Nabi dan ilmu makrifat. Sehingga banyak
para wali, syeikh, ulama, dan ahli zuhud menaruh hormat pada beliau. Maqam
Sultanul Auliya itu juga merupakan petunjuk bahawa seluruh alam kewalian
beliaulah sebagai pentadbirnya dan sebagai melantik setiap para wali hingga
hari kiamat. Sesuai dengan kata-kata beliau “Tapak kaki ku diatas tengkuk
setiap para waliallah”
Dalam Manaqib (biografi) yang dipublikasikan oleh Pustaka
Pejaten beliau bernama lengkap adalah Abu Shalih Sayyidi Muhyiddin Abu Muhammad
Abdul Qadir bin Abi Shalih Musa bin Abu Abdullah Al-Jily bin Yahya az-Zahid bin
Muhammad bin Dawud bin Musa al-Jun bin Abdullah al-Mahdhi bin al-Hasan
al-Mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Syeikh Abu Muhammad Abdul
Qadir Al-Jilani adalah keturunan Sayyidina Hasan, cucu Rasulullah saw.
Adapun ibunda beliau adalah seorang ibu yang istimewa, iaitu
Fatimah binti Abi Abdillah Al-Shuma'i, keturunan Sayyidina Husein. Syeikh Abdul
Qadir A-Jilani cukup popular dengan karomah dan kemuliaannya. Sebelum Syeikh
Abdul Qadir lahir, ayahandanya pernah bermimpi bertemu Rasulullah saw bersama
sejumlah sahabat, para Mujahidin, dan para wali. Dalam mimpi itu, Rasulullah
saw bersabda: "Wahai Abu Shalih, Allah akan memberi amanah seorang anak
lelaki, yang kelak akan mendapat pangkat tinggi dalam kewalian. Sebagaimana aku
mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan." Abu Shalih wafat
ketika putranya masih teramat muda, sehingga Syeikh Abdul Qadir diasuh dan
dibesarkan oleh kakeknya. Syeikh Abdul Qadir lahir tahun 471 Hijriyah di daerah
Aal-Jil (disebut juga Jilan dan Kilan), kini termasuk wilayah Iran (Persia).
Ada yang menyebut tahun 470 Hijriyah (1077 Masehi). Tahun kelahirannya ini didasarkan
atas ucapannya kepada putranya, bertepatan dengan wafatnya seorang ulama
terkenal Imam at-Tamimi.
Tahun itu juga bertepatan dengan keputusan Imam Abu Hamid
al-Ghazali untuk meninggalkan tugasnya mengajar di Nidzamiah, Baghdad. Sang
Imam Al-Ghazali ternyata lebih memilih uzlah (mengasingkan diri) dan lebih
mendekatkan dirinya kepada Allah Ta'ala. Di daerah itu beliau melewati masa
kecilnya sampai usia 18 tahun. Kemudian hijrah ke Baghdad pada tahun 488 H
sampai masa akhir hayatnya. Syeikh Abdul Qadir berperawakan kurus, tingginya
sedang, berdada bidang dengan janggut lebat dan panjang.
Warna kulitnya sawo matang, kedua alisnya bersambung,
suaranya keras dan lantang, mudah bergaul, punya derajat mulia dan ilmu
pengetahuan luas. Binar mata Syeikh Abdul Qadir terpancar dalam lingkungan yang
terkenal dengan kedalaman ilmu pengetahuan. Ayahandanya adalah salah seorang
tokoh ulama Jilan, sedangkan ibundanya yang juga dikenal dengan karomahnya
adalah putri dari Abdullah Al-Suma'i, seorang ahli Makrifat, ahli ibadah dan
zuhud. Maka bersemilah nuansa keilmuan, fiqih, hakikat dan makrifat di dalam
dirinya.
Awal Mula Belajar
Tasawuf:
Dalam Manaqib itu, Syeikh Abdul Qadir Jilani menceritakan
kisah pengembaraannya ke pinggiran Kota Baghdad. Beliau bercerita, di sekitar
Mudzafariyah, seorang lelaki yang tak pernah kukenal sebelumnya, membuka pintu
rumahnya dan memanggilku: "Hai Abdul Qadir." Ketika berada tepat di
depan pintu rumahnya, ia berkata: "Katakan padaku apa yang kau minta
kepada Allah. Apa yang kau doakan kemarin?"Aku diam terpaku, tak dapat
kutemukan jawabannya. Orang itu menatapku, lalu tiba-tiba membanting pintu
dengan sangat keras sehingga debu-debu berterbangan dan mengotori nyaris
seluruh tubuhku.
Aku pergi, sambil bertanya-tanya apa yang kupinta kepada
Allah sehari sebelumnya. Aku berhasil mengingatnya, lalu kembali ke rumah itu
untuk memberikan jawaban. Namun, rumah tadi tak dapat kutemukan, begitu pun
orang itu. Rasa takut menyelubungiku. Fikirku, ia tentu orang yang dekat dengan
Allah. Kemudian, aku mengetahui bahwa orang itu adalah Syeikh Hammad ad-Dabbas,
yang kemudian menjadi guruku. Pada suatu malam yang dingin, di tengah guyuran
hujan deras, tangan ghaib menuntun Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani ke padepokan
tasawuf milik Syeikh Hammad bin Muslim ad-Dabbas. Pimpinan padepokan itu
mengetahui kedatangan Syeikh Abdul Qadir al-Jilani melalui ilham. Syeikh Hammad
memerintah agar pintu padepokan ditutup dan lampu dipadamkan.
Setibanya di depan pintu Madrasah, Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani dilanda merasa mengantuk yang hebat dan langsung tertidur lelap.
Dalam tidurnya beliau berhadas besar sehingga pergi untuk mandi wajib dan berwudhu
di sungai. Sesudah bersuci kembali beliau tertidur dan berhadas lagi, hingga
tujuh kali dalam semalam. Tujuh kali beliau mandi dan berwudhu dengan air yang
nyaris membekukan tubuh. Keesokan paginya, pintu padepokan dibuka dan beliau
pun masuk ke dalamnya. Syeikh Hammad bangkit untuk mengucapkan salam kepada
beliau. Dengan penuh suka cita, Syeikh Hammad memeluk beliau dan berkata:
"Anakku, Abdul Qadir, hari ini keberuntungan milik kami. Esok, engkaulah
pemiliknya. Jangan pernah tinggalkan jalan ini."
Syeikh Hammad menjadi guru pertama beliau dalam bidang
tasawuf. Melalui tangan Syeikh Hammad itulah beliau bersumpah dan memasuki
jalan Thariqat. Mengenai hal ini, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani bercerita:
"Aku belajar kepada banyak guru di Baghdad. Namun, setiap kali aku tak
dapat memahami sesuatu atau ingin mengetahui suatu rahasia, Syeikh Hammad
memberiku penjelasan. Kadangkala aku dimintanya mencari ilmu dari ulama lain,
mengenai akidah, hadis, fiqih dan lain-lain. Setiap kali aku pulang ke
padepokan, ia selalu bertanya: "Ke mana saja kau? Selama kepergianmu, kami
mendapatkan begitu banyak makanan yang sangat lezat bagi tubuh, akal, serta
jiwa dan tak sedikitpun yang kami sisakan untukmu." Di saat yang lain ia
berkata: "Demi Allah, dari mana saja kau? Adakah orang lain di sini yang
lebih tahu (alim) daripada engkau?"
Murid-muridnya mengusikku dengan mengatakan: "Kau adalah
ahli fiqih, mahir menulis dan ahli ilmu. Mengapa kau tidak keluar saja dari
sini?" Syeikh Hammad menegur dan menenangkan mereka: "Sungguh
memalukan! Aku bersumpah, tak ada seorang pun di antara kalian yang lebih
tinggi dari tumitnya. Jika kalian kira bahwa aku iri kepadanya (Syeikh Abdul
Qadir Jilani) dan kalian mendukungku, ketahuilah bahwa aku justru akan
mengujinya dan mengantarkannya kepada kesempurnaan. Ketahuilah, di alam ruhani,
kedudukannya seperti batu sebesar gunung."
Syeikh Abdul Qadir memahami bahwa menuntut ilmu itu
diwajibkan bagi setiap muslim dan muslimah. Lantas dengan keseriusan dan
kesungguhan, berangkatlah beliau menuntut ilmu ke para tokoh ulama yang selalu
membimbingnya. Beliau memulai masa pendidikannya dengan belajar mambaca
Al-Qur'an kepada Abu Al-Wafa bin Aqil Al-Hambali, Abu Al-Khitab Mahfudz
Al-Kalwadany Al-Hambali dan masih banyak lagi yang lainnya, sampai fasih dalam
pembacaannya. Beliau belajar hadis dari ulama ahli hadis di zamannya seperti
Abu Ghalib Muhammad bin Hasan Al-Balakilany dan yang lainnya. Beliau juga
belajar ilmu Fiqih dari para fuqaha yang masyhur di zamannya seperti Abu Sa'id
Al-Mukharrimi. Selanjutnya beliau belajar ilmu bahasa dan sastra kepada Abu
Zakaria Yahya bin Ali Al-Tibrizi. Akhirnya, beliau mendalami berbagai disiplin
ilmu pengetahuan dengan pemahaman yang mendalam. Ilmu Syari'at, Tarekat, bahasa
dan sastra; sehingga beliau menjadi pemimpin dan guru besar mazhab Hambali.
Allah Ta'ala memberikan hikmah dengan perantaraan lisannya yang memberikan wejangan
dalam berbagai majlisnya.
Walaupun Syeikh Abdul Qadi r belajar tasawuf kepada Syeikh
Hammad ad-Dabbas, tapi yang memberikan jubah darwis (simbol dari jubah
Rasulullah) adalah Abu Sa'ad Al Mubarak bin Ali Al-Mukharrimi, ulama besar pada
zamannya di Baghdad, pemilik madrasah di Babulijadz, yang kemudian diserahkan
kepada Syeikh Abdul Qadir Jilani.
KISAH AJAIB SYEKH ABDUL QADIR JILANI DILUDAHI NABI
Syekh Abdul Qadir Al-Jilani (471 H/1078 M-561 H/1167 M) sosok
wali besar yang memiliki karomah luar biasa. Beliau memiliki kisah ajaib pernah
diludahi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Kisah karomah Syekh Abdul
Qadir Jilani ini diceritakan oleh Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah yang juga
pendiri STAI An-Nawawi Purworejo, KH Achmad Chalwani Nawawi. Berikut kisahnya
yang sebagaimana dilansir dari tsaqafah.id.
"Syekh Abdul Qadir itu orang Arab lahir di Persia, Iran.
Kampungnya namanya Jilan. Provinsinya Thus, satu daerah dengan Imam Al-Ghozali.
Pesantrennya di Baghdad. Setelah selesai di pesantren, beliau tidak pulang ke
Iran, tetapi bermukim di Baghdad. Pagi-pagi jam delapan beliau duduk di rumah,
ribuan manusia datang. Ada satu permintaan: “Yaa Abdal Qadir Haddisinnas
liyantafi’u bi ilmik (orang sebanyak ini ajarkanlah ilmumu. Supaya dapat
kemanfaatan dari ilmumu).”
Syekh Abdul Qadir menjawab, 'Saya belum berani mengajarkan
ilmu-ilmu saya sebelum mendapat perintah langsung Nabi.' Pagi menjawab seperti
itu, menjelang Zuhur, Nabi datang. Bukan lewat mimpi tetapi datang langsung,
syakhsia jasadiyah. Orang apabila mencapai maqam-nya bisa seperti itu. Nabi
memerintah seperti usulnya orang banyak tadi. 'Yaa Abdal Qadir haddisinnas
liyantafi’u bi ilmik (orang sebanyak ini ajarkanlah ilmumu. Supaya dapat
kemanfaatan dari ilmumu).’
Nabi memerintah seperti itu, Syekh Abdul Qadir mengatakan:
"Ya Rasul, kaifa ukhadisu fusshokha al baghdada faiinni rajulun a’jamiyun
(Rasul, bagaimana saya mengajari orang-orang Baghdad, mereka alim-alim dan
fasih sementara saya orang asing).' Rasullah berkata, 'Ya Abdal Qadir, iftakh
faka! (Abdul Qodir bukalah mulutmu!)’ Ia membuka mulutnya dan diludahi Nabi
sebanyak tujuh kali. Setelah itu Nabi pergi dan waktu masuk Zuhur. Setelah
sholat Zuhur, ribuan orang datang. 'Ya Abdal Qadir, segeralah kamu ajari ilmu
pada sekian orang banyak!’ Syekh Abdul Qadir sudah duduk hendak mengajarkan
ilmunya, tetapi lidahnya terkunci. Sulit untuk bicara.
"Beliau duduk terus. Tiba-tiba ada orang datang
belakangan, seorang laki-laki sendirian. Dipandang terus siapa itu yang datang
belakangan? Ternyata Sayyidina Ali yang datang. Sayyidina Ali memerintahnya
seperti perintah Nabi, 'Yaa Abdal Qodir haddisinnas liyantafi’u bi ilmik (orang
sebanyak ini ajarkanlah ilmumu. Supaya dapat kemanfaatan dari ilmumu).' Syekh
Abdul Qadir menjawab, 'Ya Sayyidi Ali, fami mughollaq (wahai Sayyidina Ali
mulutku terkunci tidak bisa untuk bicara).' Sayyidiina Ali berkata, 'Iftakh
faka! (Buka mulutmu!)’ Beliau membuka mulut lalu diludahi Sayyidina Ali enam
kali. Syekh Abdul Qadir bertanya: "Saidina Ali hanya meludahinya tidak
seperti Nabi? Nabi meludahi tujuh kali, kenapa Saidina Ali hanya enam
kali?" Sayyidina Ali berkata, “Ya Abdal Qadir adaban ma'a Rasulillah.” Abdul
Qadir, saya menjaga tata krama dengan Nabi. Nabi meludahi tujuh kali masakan
saya meludahi tujuh kali? Orang yang salah paham nanti mengira saya menyamai
Nabi. Saya khawatir ada anggapan seperti itu. Makanya saya meludahi enam kali.’
"Inilah etika dan ketinggian adab. Oleh karena itu para
santri, para murid jangan punya niat menyamai guru. Walaupun praktiknya sama,
jangan niat menyamai, niatlah mencontoh! Nanti barokahnya hilang," kata KH
Achmad Chalwani.
Ini juga satu
ingatan dan perintah kepada semua murid Syeikh disini, walau setinggi mana pun
pelajaran yg kamu miliki atau seakrab mana pun kamu bersama-sama guru-guru
badal Syeikh, jangan sekali-kali kamu mengaku sebagai penganti guru yang
menyamai Syeikh atau lebih kurang macam Syeikh kerana kamu tidak layak dan
tidak pernah dilantik oleh Syeikh sebagai guru pemimpin. Sedangkan Syeikh yang
begitu tinggi ilmunya pun terpaksa menunggu mandat dari Rasulullah saw dan
Saidina Ali ra baru boleh bercakap dihalayak dan sekali gus menjadi pemimpin
Tarikat. Cuba bandingkan diri kamu dengan Syeikh, Jauh macam langit dengan
bumi? Semua pemimpin Tarikat terutama yang duduk dibawah naungan Syeikh
Mughyideen Abdul Qadir Jailani WAJIB menerima mandat dari beliau sendiri, Dari
tangan beliau sendiri (secara hidup dan nyata sedar) Serta mempunyai beberapa
orang saksi atau didalam satu majlis yang didatangi ramai saksi seperti apa
yang belaku pada diri Syeikh. INGATLAH!!! BARANG SIAPA YANG MENGAKU GURU ATAU
PENGANTI GURU TAMPA MANDAT DARI TANGAN SYEIKH… MAKA DENGAN SENDIRI JATUH TALQIN
SHDATAINYA DAN IA TERKELUAR DARI NAUNGAN SYEIKH SAMPAI HARI KIAMAT DAN DIA
TIDAK AKAN MENDAPAT SYAFAAT GURU SELAMA-LAMANYA. AWAS !!!
DALAM MANAQIB (biografi)
DIJELASKAN:
Setelah Sayyidina Ali pergi, Syekh Abdul Qadir mengajar
dengan lancar. Ribuan ilmu keluar dari hatinya. Orang yang datang mengular
hingga tujuh kilometer atau lebih dari puluhan ribu pada saat itu. Orang yang
duduk di paling belakang bisa mendengarkan langsung suara Syekh Abdur Qodir
sama kuatnya seperti yang duduk di depan padahal belum ada pembesar suara. Ada
murid yang tinggal ribuan batu dari Bagdad boleh mendengar suara Syeikh hanya
jika dia pergi disebuah tempat tinggi. Dalam manaqib (biografi) juga
dijelaskan: "Di sana belum ada pembesar suara." Itulah karomah Syekh
Abdul Qodir Jilani.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani juga pernah dikhabarkan
bermimpi bertemu lembaga yang mengaku Tuhan, ia menyatakan bahawa dia telah
menghalalkan semua yang telah diharam oleh syarak telah dihalalkan kepada
Syeikh. Kenyataan itu membuat Abdul Qadir terkejut dan tampak marah, kemudian
spontan ia membentaknya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang
terkutuk! Pergilah kau makhluk terkutuk!!” Kemudian cahaya yang terang
benderang tadi pun lenyap seketika, tinggallah kegelapan yang menyelimuti
syaikh Abdul Qadir.Dan suara tersebut kembali berkumandang: “Wahai Abdul Qadir!
kau sangat beruntung dapat menyelamatkan diri dari godaanku, itu berkat
keteguhan iman serta luasnya pengetauanmu! Karena sudah 70 orang ahli thariqat
telah berhasil aku sesatkan dengan cara seperti ini!”
Mencelah:
Nah!! Lihatlah, dari penjelasan ini menunjukkan begitu mudah mana-mana orang
yang belajar ilmu Tariqat akan dipesungkan atau disesatkan sehingga mereka
“mengaku tuhan” atau mengaku telah terlepas dari hukum syariat dan tidak mahu
lagi beribadat seperti melakukan solat 5 waktu, berpuasa dibulan Ramadhan,
membayar zakat dan pergi menunaikan haji keMekah lagi. Sedangkan semua umat
islam tahu bahawa hukum syariat itu adalah wajib dan tidak boleh ditinggalkan
hinggalah kematiannya. Setelah Nabi Muhammad saw menerima hukum syariat dan
lengkapnya al Quran diturunkan, maka dengan sendirinya hukum syariat tetap
menjadi kewajiban untuk semua umat islam walau tinggi mana pun pelajaran ilmu
hakikat dan makrifat yang mereka pelajari. Oleh itu anda semua jangan mudah
terperdaya dengan kata-kata kaum ini kerana sebenarnya mereka telah dirasuk
iblis dan disesatkan akidah mereka. Satu lagi pekara yg perlu diketahui oleh
semua umat islam bahawa menerima talqin 2 kalimah shadati itu mestilah diterima
dari tangan ketangan dari guru-guru bertauliah atau yang menerima mandat dari
mana-mana wasilah (salasilah) perguruan dari tangan ke tangan hingga menyampai
ketangan Rasulullah saw. Jika tidak… maka terputuslah wasilah dua kalimah
syahadat itu dan segala apa juga amalan yang kamu buat akan dikira kosong
dihadrat Allah SWT nanti… Berhati-hatilah jika ada yang berkata atau berfahaman
bahawa belajar Makrifat dan Hakikat adalah untuk terlepas dari hukum Syariat
dan tidak lagi perlu solat 5 waktu kerana dia telah duduk dialam Makam Hakikat
dan Makrifat saja. Ketahuilah kamu bahawa mereka-mereka ini telah disesatkan
oleh Syaitan dan Iblis. Memang tak dinafikan setiap murid yang telah atau akan
menyampai tingkat mengenal diri dan mengenal Allah atau menyampai maqam Hakikat
dan Makrifat akan dihadiri dugaan ini…tapi hendaklah kamu kembali berpegang
kepada ajaran Rasulullah saw dan Syeikh Mughyideen Abdul Qhadir al Jailani
serta al Quran dan Hadis, Insyaallah kamu akan selamat”. Sebenarnya dan
sesungguhnya, kerana solatlah kita wajib bermakrifat, kerana solatlah kita
misti berada didalam keadaan berhakikat, barulah solat itu dikira khusuk dan
sampai kepada Allah. Kalau tak kamu akan sentiasa hayal dan dirasuk syaitan dan
iblis, hayal ingatan kelain-lain tempat atau pekara hingga solat kamu sekadar
tonggang-tonggek saja… kosong dan lara.
“Hanya bagi Tuhanku keutamaan dan pemberian itu.” Balas Abdul
Qadir.Setelah peristiwa itu ada seseorang bertanya: “Dari mana tuan tahu bahwa makhluk
itu adalah iblis?” Abdul Qadir menjawab: “Dari ucapannya itu yang berbunyi; “aku
halalkan semua barang yang haram untuk kamu!” sedangkan Allah tidak pernah
menyuruh untuk berbuat hal-hal yang buruk.” Dalam riwayat lain diceritakan, bahwa
kedatangannya dengan membawa Buraq yang akan membawah Abdul Qadir pergi
kehadirat Allah. Mendengar pernyataan itu sang waliyullah segera mengetahui,
bahwa yang datang di hadapannya adalah iblis. Sebab malaikat Jibril dan Buraq
hanya datang kepada Rasulullah saw. Dengan demikian iblis telah gagal dalam
usahanya.
WAFATNYA SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANISyekh wafat setelah
menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama. Bahkan,ada yang mengatakan,
Syekh sakit hanya sehari semalam. Ia wafat pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561
H. Saat itu usianya sudah menginjak 90 tahun.Sepanjang usianya dihabiskan untuk
berbuat baik, mengajar, dan bertausiah. Ketika hendak menemui ajal, putranya
yang bernama Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu: “Bertakwalah
kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan berharap pada selain
Allah. Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza wa Jalla. Cari semua yang
kamu butuhkan pada Allah. Jangan percaya pada selain Allah. Bergantunglah hanya
pada Allah. Bertauhidlah! Bertauhidlah! Bertauhidlah! Semua itu ada pada
tauhid.”‖
Demikian manaqib ini kami tulis, semoga membawa barokah,
manfa,at, dan Ridho Allah swt, syafa‘at Rasulullah serta karomah Auliyaillah
khushushon Syekh Abdul Qodir Jailani selalu terlimpahkan kepada kita, keluarga
dan anak-anak keturunan kita semua Dunia Akhirat.
Seterusnya marilah kita
hayati juga satu lagi kisah mengenai Syeikh Mughyideen Abdul Qhadir al Jailani
tulisan seorang pelajar yang di ajukan guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester
(UAS) pada: Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Kelas PAI 3
Semester III Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam (SPI) Dosen Pengampu: ulfa
Poti’ua.,Mpd .I Disusun Oleh: Rivai Manumpil NIM : 14.2.3.057 INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN) MANADO INDONESIA.
Bismillahirrahmanirrahiim. Alhamdulillah, puji syukur
dipanjatkan atas kehadirat ilahi rabb Allahuazawajalah. Karena dengan segala
taufiq dan hidayahNyalah sehinggah penulis dapat berkesempatan untuk
menyesaikan tugas ini dengan baik. Salawat dan Salam kita hadiahkan kepada
junjungan kita yang telah membawah agama yang penuh cahaya ini hinggah kita
dapat merasakan nikmatnya Islam, Nabi Muhammad SAW. Dalam kesempatan yang
berharga ini, penyusun mengajak pembaca untuk mengenal lebih dekat akan seorang
tokoh teladan yang sangat termasyur dan diakui dunia. Beliau adalah seorang
hamba Allah yang bertugas membimbing dan mengantarkan manusia agar sadar dan
kembali kepada Allah dan ajaran Rasulullah SAW. Dalam hal ini baliau merupakan
Ulama atau Sufi yang memimpin parawali, beliau adalah Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.
Sabda Rasulullah SAW: “Dikalangan umatku tidak akan pernah sepi dari thoifah
yang memperjuangkan perkara yang haq sampai datangnya hari kiamat.”
1. NASAB DAN
KELAHIRANNYA
Tokoh besar kaum sufi ini yaitu Sayid Abu Muhammad Abdul
Qadir dilahirkan di Naif, Jailan, Irak, pada bulan Ramadhan tahun 470 H,
bertepatan dengan tahun 1077 M. ayahnya bernama Abu Shalih, seoran yang takwa, keturunan
Hadhrat Imam Hasan ra, cucu pertama Rasulullah saw., putra sulung Imam Ali ra.,
dan Fathimah ra.: putri tercinta Rasul. Ibu beliau adalah putri seorang wali,
Abdullah Saumai, yang juga masih keturunan Imam husein ra., putra kedua Ali dan
Fathimah. Dengan demikian, Sayid Abdul Qadir adalah Hasani, sekaligus Huseini.
Secara lengkap nasabnya adalah sebagai berikut beliau adalah
Syeikh Muhiyuddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Shaleh Jinki Dusat bin Musa Al-Juun
bin Abdullah Al-Mahdh bin Hasan Al-Mutsanna bin Amirul Mu‘mininAbu Hasan bin
Amirul Mu‘minin Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul
Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka‘ab bin Lu‘ay bin Ghalib bin Fahr
bin Malik bin Nadhar bin Kirianah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Madhar
bin Nadzaar bin Ma‘ad bin Adarm Al Qurasyi Al-Alawi Al Hasani Al-Jiili
Al-Hambali. Beliau adalah cucu dari Syaikh Abdullah Ash- Shauma‘i, pemimpin
para sufidan salah seoran syaikh di kota Jailan serta yang dianugerahi berbagai
karamah. Syaikh Abdullah Ash-hauma‘i adalah seorang yang mustajab doanya.
Ada beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh anak-anak bayi
seusia Abdul Qadir. Bila dijangkau secara akal bagi seorang perempuan yang
usianya berada disekitar 60 tahun, tentu sudah tidak mungkin lagi bisa
melahirkan bayi, namun jika Allah menghendaki maka apa pun bisa saja terjadi
tanpa ada kesulitan sedikitpun.
Begitulah yang dialami oleh ibunya Fathimah yang dikala itu
sudah berusia nenek-nenek, dia melahirkan bayinya di siang hari pada awal bulan
Ramadhan pada saat umat muslim sedang menunaikan ibadah puasa. Di siang hari yang
penuh rahamat itu si anak tidak mau menyusu, bahkan dia selalu menolak hendak
ibunya menyuusui. Namun ketika tiba saatnya berbuka, bayi Abdul Qadir tiba-tiba
saja menangis minta segera disusui. Karena kebiasaan dari sang bayi di dalam
bulan Ramadhan, akhirnya dijadikan pedoman oleh penduduk sekitarnya. Jika si
bayi sudah menangis minta disusui itu berarti sudah waktunya berbuka puasa.
2. USIA REMAJA
Semenjak usia kanak-kanak, Abdul Qadir Jailani gemar
bertafakkur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang disebut pengalaman-pengalaman
mistik‘. Oleh karena itulah sejak kecil sudah nampak kecerdasan akal
pikirannya. Ia tergolong anak yang pendiam dan berbudi pekerti luhur serta
sangat patuh terhadap nasehat orang tua. Ketika berusia remaja, Abdul Qadir
tampak gemar riyadhah, menyendiri dan senantiasa bermujahadah untuk memerangi
hawa nafsu. Yang semua itu menghasilkan rasa sayang terhadap fakir miskin serta
kuatnya dalam beramal ma‘ruf nahi munkar. Ia pun suka mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan untuk diambil manfaatnya. Remaja Abdul Qadir pada mulanya belajar
Al-Qur‘an serta menghafalkannya, kemudian belajar ilmu fiqih menurut mazhab
imam Ahmad bin Hanbal kepada Syaikh Abu Wafa dan Syaikh Abul Khatthab
Al-Khalwazani. Juga kepada para ulama yang mulia serta luhur ilmu dan adabnya.
Sedangkan di bidang adab ia belajar kepada sang guru, syaikh
Abu Zakariyah Yahya bin Ali At Tibrizi. Disana Abdul Qadir memperoleh
kesempatan baik untuk menggali ilmu yang bermanfaat. Kemudian belajar ilmu
tasawuf kepada seorang mursyid, yakni Syaikh Abu Khairi Hammad bin Muslim Ad
Dabbas. Abdul Qadir mencurahkan perhatiannya kepada ilmu-ilmu tersebut,
sehingga tak terlintas sedikitpun di benaknya akan kemewahan dunia. Padahal
ketika itu kebanyakan pemuda yang seumur dengannya cenderung ingin kebebasan
tanpa memandang masa depan.
3. KEAJAIBAN YANG
DIALAMI ABDUL QADIR JAILANI
Suatu ketika tepatnya di hari Arafah, dikalah Abdul Qadir
masih berusia remaja. Ia hendak membajak ladangnya dengan seekor sapi, namun
tiba-tiba saja terjadi keanehan. Binatang tersebut menoleh dan menatapnya
seraya berbicara seperti manusia: “Hai Abdul Qadir, engkau tidak di jadikan
untuk ini dan tidak diperintah mengerjakannya.” Syeikh sangat terkejut dapat
teguran dari seekor sapi yang sebelumnya tidak dapat berbicara dalam bahasa
manusia. Kedengarannya memang aneh tapi begitulah kenyataan yang terjadi, Allah
maha berkehendak. Abdul Qadir sadar dan ia segera meninggalkan tempat itu untuk
pulang, dan setibanya dirumah dia langsung naik keatas shuthu (loteng). Dan
dari atas sana ia dapat melihat banyak orang yang pergi ke Padang Arafah untuk
melakukan wuquf. Hati pemuda itu jadi tergugah, iapun bergegas menemui ibunya
untuk menyampaikan isi hatinya: “Ibu, serahkanlah aku kepada Allah. Dan
izinkanlah aku pergi ke Baghdat untuk belajar serta berziarah kepada
orang-orang shalihin.” “Wahai anakku,
kenapa engkau tiba-tiba saja berkata seperti itu?” tanya ibu itu. Setelah Abdul
Qadir menceritakan peristiwa aneh yang baru saja di alaminya, maka sang ibu sadar
bahwa anaknya akan memperoleh darjad mulia sebagaimana para aulia‘ kekasih
Allah SWT & Rasulihi saw.
Ibunya menangis karena terharu, kemudian ia mengambil harta
warisan almarhum ayah Abdul Qadir. Warisan tersebut berupa wang sejumlah lapan puluh
dinar, selanjutnya dibagi dua, iaitu empat puluh dinar untuk Abdul Qadir dan
empat puluh dinar yang lain untuk saudaranya. Ibu Fathimah segera membuatkan
sebuah saku untuk tempat menyimpan wang di bawa ketiak pada baju yang akan di
pakai oleh putranya. Selesai menyiapkan segala keperluannya, sang ibu
menghampiri Abdul Qadir untuk memberi restu dan menyampakan beberapa pesan yang
bernilai mutiara. Iaitu harus berkata benar dan berlaku jujur dalam segala hal.
Dengan sikap yang penuh adap (tatakrama), Abdul Qadir mengucapkan selamat tinggal
kepada ibunda tercinta. “Pergilah, wahai anakku. Kini engkau telah aku titipkan
kepada Allah dan mungkin wajahmu tidak akan dapat lagi ku lihat lagi hingga
datangnya hari kiamat”.
Itulah ucapan Fathimah yang mengiringi kepergian buah hatinya
dengan linangan air mata kasih. Abdul Qadir pergi keBaghdad mengikuti rombongan
kafilah berdagang, mereka melalui padang pasir yang teramat luas didalam
perjalanannya ketika meninggalkan wilayah Hamdan, tiba-tiba muncul segerombolan
perompak berkuda. Mereka mengepung dan merampas semua barang dagangan milik
kafilah itu dengan paksa. Salah seorag diantara mereka menghampiri Abdul Qadir
yang berpenampilan seperti orang miskin, kemudia bertanya: “hai orang fakir,
engkau mempunyai apa?!” “Aku membawah wang empat puluh dinar!” jawabnya. “mana??”
tanya penjahat itu. “dijahit dalam saku dan berada di bawah ketiakku.”
Penjahat itu menganggap Abdul Qadir berbohong dan tidak
memiliki apa-apa, sehingga ia tidak diperhatikan. Dan pemuda itu di tinggalkan
begitu saja. Namun sesaat kemudaian datang lagi yang lain dengan menghunuskan pedangnya
yang berkilat tajam. Kemudian mengajukan pertanyaan yang serupa. Abdul Qadir
tetap menjawab sejujurnya seperti semula. Tetapi penjahat itu pun tetap tidak
percaya dan berlalu untuk menemui pemimpinnya. Tampaknya ada sesuatu yang
dibicarakan diantara mereka, sehingga pemuda itu di bawah kesebuah perbukitan.
Di sana Abdul Qadir melihat para penjahat tersebut sedang membagi harta
rampasan. Kemudian ia dihadapkan ke pemimpin mereka. “Kau membawah apa?!” Tanya
sang pemimpin. “Aku hanya membawa wang sejumlah empat puluh dinar.” Jawab Abdul
Qadir. “Mana uang itu?!” tanya kepala penjahat. “Di jahit dibawah ketiakku.” Orang
itu segera menggeladahnya dan benarlah, ia menemukan wang sejumlah empat puluh
dinar. Mereka sangat kagum akan kejujuran Abdul Qadir, kerana umumnya semua
orang pasti menyembunyikan dan berbohong agar harta miliknya selamat.
“Kenapa engkau berkata jujur?!” tanya penjahat itu. “Kerana ibu berwasiat,
agar aku berkata benar dan jujur. Dan aku tidak akan mengingkari janjiku kepada
ibu ku.” Jawaban Abdul Qadir yang tulus itu membuat pemimpin penjahat terpegun
dan tiba-tiba saja ia menangis, kemudian berkata “engkau tidak mengingkari
janji pada ibumu, sedangkan kami telah bertahun-tahun berbuat salah serta melanggar
larangan Alah. Maka mulai saat ini juga aku bertaubat kepada Allah, ikrar sang
pemimpin.
“Engkau adalah pemimimpin kami dalam perampokan, maka engkau
juga pemimpin kami dalam bertaubat,” seruh anak buahnya dengan serentak. Kemudian
semua barang rampasan itu di kembalikan kepada pemiliknya masing-masing sambil
meminta maaf. Mereka itulah yang orang-orang yang pertama kali bertaubat di
hadapan Abdul Qadir Al-Jailani yang masih muda seterusnya mereka menjadi anak
murid Syeikh yang pertama.
4. MENUNTUT ILMU DI
BAGHDAD
Baghdad pada waktu itu telah menjadi kota pusat pengkajian
ilmu, sehingga tidak hairan jika kota tersebut ramai di datangi oleh
orang-orang yang ingin mencari atau memperdalam ilmu agama. Atas dasar itulah
yang mendorong Abdul Qadir Jailani untuk menimbah ilmu di sana, meskipun tidak
sedikit kesulitan yang di alami, namun tidaklah menggoyahkan semangat
belajarnya. Ia selalu bermujahadah, memerangi hawa nafsu dengan berpuasa serta
tidak mahu meminta makan kepada siapapun meski perutmya merasa lapar kerana beberapa
hari belum terisi. Abdul Qadir ingin berguru kepada sufi-sufi yang berada di
sana. Sampai pada saatnya ia bertemu dengan penjual kain sarbet yang bernama
Abu Khairi Hammad bin Muslim Ad Dabbas. Keinginan Abdul Qadir terpenuhi atas
hidayah Allah swt, ternyata Hammad sipenjual kain sarbet itu adalah seorang
waliyullah yang besar pada zamannya.
Secara bertahap Hammad membimbing murid barunya itu dalam hal
tasawuf. Bimbingannya memang dirasa cukup keras, namun Abdul Qadir menganggap
hal itu biasa demi memperbaiki kerusakan yang ada pada dirinya. Ia pasrah dan
tetap taat, bahkan menyerahkan diri sepenuhnya terhadap sang guru. Setelah
menyelesaikan masa pengkajiannya, Abdul Qadir terus mengamalkan ilmu dari sang
guru, serta menyesuaikan diri sebagaimana orang-orang sufi yang mengamalkan
thariqah. Menjauhkan diri dari segala kebutuhan dan kemewahan hidup, kecuali
hal-hal yang sangat diperlukan. Dan cara seperti itu dianggap tepat untuk menghindarkan
diri dari pengaruh masyarakat yang semakin terpuruk. Memang pada kenyataannya
kehidupan masyarakat pada saat itu hampir disemua negara Arab mengalami
kemerosotan, kebanyaka umat islam dengan sengaja meninggalkan syariat. Mereka
mengaku islam namun perilakunya tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah saw,
bahkan sangat bertentangan sekali dengan ajaran baginda. Kecenderungan hidup
mewah dan bebas sangat kuat mempengaruhi jiwa masyarakat di sana. Yang dicari
hanyalah kepuasan lahiriah yang hanya sesaat, tampa berfikir akan akibatnya di
kemudian hari. Bermalas-malasan, perkelahian, perjudian bahkan minum khamar
adalah perbuatan sehari-hari yang biasa mereka lakukan.
5. LATIHAN RUHANIAH
Setelah menyelesaikan studinya, ia kian keras terhadap diri.
Ia mulai mematangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup. Waktu dan tenaganya
tercurah pada shalat dan membaca Qur‘an suci. Shalat sedemikian menyita waktunya,
sehingga sering ia shalat subuh tanpa berwudhu lagi, karena belum batal. Diriwayatkan
pula, beliau kerap kali khatam membaca Al-Qur‘an dalam satu malam. Selama
latihan ruhaniah ini, dihindarinya berhubungan dengan manusia, sehingga ia tak
bertemu atau berbicara dengan seorang pun. Bila ingin berjalan- jalan, ia
berkeliling padang pasir. Akhirnya ia tinggalkan Baghdad, dan menetap di
Syustar, dua belas hari perjalanan dari Baghdad. Selama sebelas tahun, ia menutup
diri dari dunia. Akhir masa ini menandai berakhirnya latihannya. Ia menerima
nur yang dicarinya. Diri hewaninya kini telah digantikan oleh wujud mulianya.
6. MENJADI PANUTAN (pebimbing) MASYARAKAT
Kini sang Syaikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka
semua tutur kata atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal
dari ruhaninya. Kala ia memperoleh ilham, sebagaimana sang Syaikh sendiri ingin
menyampaikannya, keyakinan Islami melemah. Sebagian muslim terlena dalam
pemuasan jasmani, dan sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan upacara-upacara
keagamaan. Semangat keagamaan tak dapat ditemui lagi. Pada saat ini, ia mempunyai
mimpi penting tentang masalah ini. Ia melihat dalam mimpi itu, seolah-olah
sedang menelusuri sebuah jalan di Baghdad, yang disitu seorang kurus kering
sedang berbaring di sisi jalan, menyalaminya.
Ketika sang Syaikh menjawab ucapan salamnya, orang itu
memintanya untuk membantunya duduk. Begitu beliau membantunya, orang itu duduk
dengan tegap, dan secara menakjubkan tubuhnya menjadi besar. Melihat itu sang
Syaikh terperanjat, orang asing itu menentramkannya dengan kata-kata: ‖ Akulah
agama kakek mu (Nabi Muhammad saw yang semakin ditinggalkan), aku menjadi sakit
dan sengsara, tetapi Allah telah menyehatkanku kembali melalui bantuanmu.‖Ini
terjadi pada malam penampilannya di depan umum di masjid, dan menunjukkan karir
mendatang sang wali. Kemudian masyarakat tercerahkan, menamainya “Muhyiddin” (penghidup agama), pembangkit
keimanan atau pembangkit agama, gelaran yang kemudian dipandang sebagai sebahagian
dari namanya yang termasyhur. Meski telah ia tinggalkan kesendiriannya (uzlah),
ia tak juga berkhutbah di depan umum. Selama sebelas tahun berikutnya, ia bermukim
di sebuah sudut kota, dan meneruskan praktek-praktek peribadatan, yang kian
mempercerah ruhaniyah.
7. KARYA-KARYA ABDUL QADIR AL-JAILANI
Waktunya banyak diisi dengan mengajar dan mengulangkaji
pelajaran. Hal ini membuat Syekh tidak memiliki cukup waktu untuk menulis dan
mengarang. Bahkan, bisa jadi beliau tidak begitu tertarik di bidang ini. Pada
tiap disiplin ilmu, karya-karya Islam sudah tidak bisa dihitung lagi. Bahkan,
sepertinya perpustakaan tidak butuh lagi diisi buku baru. Yang dibutuhkan
masyarakat justru saran seorang yang bias meluruskan yang bengkok dan membenahi
kesalahan masyarakat saat itu. Inilah yang memanggil suara hati Syekh. Ini pula
yang menjelaskan pada kita mengapa tidak banyak karya yang ditulis Syekh. Memang
ada banyak buku dan artikel yang dikatakan sebagai tulisannya. Namun, yang
disepakati sebagai karya Syekh hanya ada tiga:
i. Kitab Al-Ghunyah li
Thalibi Thariq al-Haqq
Kitab ini merupakan karyanya yang mengingatkan kita dengan
karya monumental al-Ghazali, Ihya‘ Ulum al-Din. Karya ini jelas sekali
terpengaruh, baik tema maupun gaya bahasanya, dengan karya al-Ghazali itu. Ini
terlihat dengan penggabungan fikih, akhlak, dan prinsip suluk. Ia memulai
dengan membincangkan aspek ibadah, dilanjutkan dengan etika Islam, etika doa,
keistimewaan hari dan bulan tertentu. Ia kemudian membincangkan juga anjuran
beribadah sunah, lalu etika seorang pelajar, tawakal, dan akhlak yang baik.
ii. Kitab Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh
al-Rahmani
Merupakan bentuk tertulis (transkripsi) dari kumpulan tausian
yang pernah disampaikan Syekh. Tiap satu pertemuan menjadi satu tema. Semua
pertemuan yang dibukukan ada 62 kali pertemuan. Pertemuan pertama pada 3 Syawal
545 H. Pertemuan terakhir pada hari Jumat, awal Rajab 546 H. Jumlah halamannya
mencapai 90 halaman. Format buku ini mirip dengan format pengajian Syekh dalam
berbagai majlisnya. Sebagiannya bahkan berisi jawaban atas persoalan yang muncul
pada forum pengajian itu.
iii. Kitab Futuh al-Ghayb
Merupakan kompilasi dari 78 artikel yang ditulis Syekh
berkaitan dengan suluk, akhlak, dan yang lain. Tema dan gaya bahasanya sama dengan
al-Fath al-Rabbani. Keseluruhan halamannya mencapai 212halaman. Buku ini
sendiri sebetulnya hanya 129 halaman. Sisa halamannya diisi dengan himpunan
senandung pujian yang dinisbatkan pada Syekh. Ibn Taymiyah juga memuji buku ini
8. ABDUL QADIR BERUMAH
TANGGA
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum
selaras dengan kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia
kelima puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia
menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu beliau
berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti
Sunnahnya, iapun menikahi empat wanita, semuanya soleh dan taat kepadanya. Ia
mempunyai empat puluh sembilan anak – dua puluh putra, dan yang lainnya putri. Keempat
putranya yang termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya, adalah; Syaikh
Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan mengelola Madrasah
ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga berkhutbah dan
menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan masalah-masalah syariat Islam.
Ia juga memimpin sebuah Jabatan Kerajaan Iraq, dan demikian termasyhur. Syaikh
Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar. Dikenal juga
sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang baik, dan juga Sufi. Ia bermukim
di Mesir, hingga akhir hayatnya. Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim,
sekaligus penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi
beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad,
sebagaimana ayahnya. Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke
Damaskus, hingga wafat.
9. DIGODA IBLIS
Dimalam hari syaikh Abdul Qadir senantiasa berzikir kepada
Allah swt. Sebagaimana yang diceritakan oleh pembantunya, iaini syaikh Abu
Abdillah Muhammad bin Abdil Fattakh Al-Harowi. Pada suatu malam ketika syaikh
Abdul Qadir al Jailani sedang duduk berdzikir, tiba-tiba datang seberkas cahaya
berkilauan mengelilingi ufuk langit. Didalam cahaya tersebut muncul sesosok
tubuh dan berkata: “Wahai Abdul Qadir! Aku adalah Tuhanmu! Sungguh telah aku
nyatakan kepadamu, mulai saat ini aku halalkan semua barang yang haram bagimu!”.
Pernyataan dalam sosok tersebut membuat Abdul Qadir terkejut dan tampak marah,
kemudian spontan ia membentaknya: “aku berlindung kepada Allah dari godaan
syaitan yang terkutuk! Pergilahkau makhluk terkutuk!!” Kemudian cahaya yang
terang benderang tadi pun lenyap seketika, tinggallah kegelapan yang
menyelimuti syaikh Abdul Qadir.Dan suara tersebut kembali berkumandang: “Wahai
Abdul Qadir! kau sangat beruntung dapat menyelamatkan diri dari godaanku, itu
berkat keteguhan iman serta luasnya pengetauanmu! Karena sudah 70 orang ahli
thariqat telah berhasil aku sesatkan dengan cara seperti ini!” “Hanya bagi Tuhanku keutamaan dan pemberian
itu.” Balas Abdul Qadir.Setelah peristiwa itu ada seseorang bertanya: “Dari
mana tuan tahu bahwa makhluk itu adalah iblis?” Abdul Qadir menjawab: “Dari
ucapannya itu yang berbunyi; “aku halalkan semua barang yang haram untuk kamu!”
sedangkan Allah tidak pernah menyuruh untuk berbuat hal-hal yang telah
diharamkan Nya.”
Dalam riwayat lain diceritakan, bahwa kedatangan Iblis itu
dengan membawah Buraq yang akan membawah Abdul Qadir pergi kehadirat Allah
(Isra Makraj). Mendengar pernyataan itu sang waliyullah segera mengetahui,
bahwa yang datang di hadapannya adalah iblis. Sebab malaikat Jibril dan Buraq
hanya datang kepada Rasulullah saw. Dengan demikian iblis telah gagal dalam
usahanya untuk memperdaya Syeikh.
10. WAFATNYA SYAIKH
ABDUL QADIR AL-JAILANI
Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak
lama. Bahkan,ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya sehari semalam. Ia wafat
pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah menginjak 90
tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik, mengajar, dan mengulangkaji
pelajaran. Dikatakan juga, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama
Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:
“Bertakwalah kepada
Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan berharap pada selain Allah.
Serahkan semua keperluanmu pada Allah Azza wa Jalla. Cari semua yang kamu perlukan
pada Allah. Jangan percaya pada selain Allah. Bergantunglah hanya pada Allah.
Bertauhidlah! Bertauhidlah! Bertauhidlah”! Semua itu ada pada tauhid.”
Demikian manaqib ini kami tulis, semoga membawa barokah,
manfa,at, dan Ridho Allah swt, syafa‘at Rasulullah serta karomah Auliyaillah
khushushon Syekh Abdul Qodir Jailani selalu terlimpahkan kepada kita, keluarga
dan anak-anak keturunan kita semua Dunia dan Akhirat. Amien ya rabbal alamin…
KISAH DAN TAULADAN DARI
SUFI-SUFI LAIN
ABUL HASAN ASY-SYADZILI, SUFI DUNIA TIMUR DAN BARAT.
Dai asal Mesir Syeikh Ahmad
Al-Misri menceritakan kisah ulama besar sufi yang masyhur di dunia Timur dan
Barat saat kajian di Masjid Permata Qalbu, Perumahan Permata Meditrinia, Pos
Pengumben, Jakarta Barat. Banyak orang bertanya tentang sufi atau ulama
tasawuf. Berikut penjelasan Rasulullah SAW dalam satu hadisnya. Sayyidna Umar
bin Khatthab radhiyallahu 'anhu menceritakan bahwa Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya
di antara hamba-hamba Allah terdapat beberapa manusia yang mereka bukan para
Nabi 'alaihimus shalawaatu wa sallam dan bukan pula para Syuhada. (sekali pun
demikian) para Nabi dan para Syuhada merasa iri atas kedudukan mereka di sisi
Allah Ta'ala pada hari Kiamat.”
(Mendengar hal itu) para sahabat
radhiyallahu 'anhum bertanya: "Ya Rasulullah, sudikah anda memberitahukan
kepada kami siapa mereka ini. Rasulullah SAW menjawab: "Mereka adalah kaum
yang saling mencintai dengan ruh Allah padahal mereka tak memiliki hubungan
kekerabatan di antara mereka dan mereka pun (saling mencintai karena Allah)
bukan karena mereka saling memberikan harta (namun semata-semata mencintai
karena Allah Ta'ala, karena aqidah yang sama). Demi Allah, sesungguhnya wajah
mereka adalah cahaya dan mereka di atas cahaya. Mereka (pada hari kiamat) tidak
takut saat manusia lainnya merasa takut dan tak akan sedih saat manusia lainnya
bersedih. Selanjutnya Rasulullah SAW membaca ayat ini (QS Yunus: Ayat 62): "Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati." (HR Abu Dawud No 3527)
Di antara ulama sufi yang akan kita
bahaskan iaitu sang sufi dunia Timur dan Barat iaitu Imam Abul Hasan
asy-Syadzili. Allah Ta'ala melebihkannya dengan karunia ilmu. Dengan berupa
hizib (iaitu kumpulan doa dan dzikir) yang berasal dari Al-Qur'an dan Hadits
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Imam Abul Hasan Asy-Syadzili
menulis 22 Hizib. Banyak ulama yang membahas hizib tersebut. Tapi sayang,
banyak yang menyebarkan fitnah tentang tasawuf. Ilmu tasawuf yang benar adalah
mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka yang ingkar terhadap
kejadian para wali, maka mereka mengingkari Al-Qur'an dan Hadis Nabi.
Dari Abu Hurairah ia berkata,
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Barang
siapa memusuhi wali-Ku, sungguh aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah
hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada
hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat
kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga aku mencintainya. Jika Aku telah
mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar,
menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia
gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika
ia meminta kepada-Ku, aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan
kepadaku, aku pasti melindunginya." (HR Al-Bukhari No 6502)
Ulama Sufi yang Mendunia
Imam Abul Hasan asy-Syadzili adalah
sosok waliyullah yang sudah mendunia. Nama kecil beliau adalah Ali, gelarnya
adalah Taqiyuddin, julukannya adalah Abul Hasan dan nama popularnya adalah
asy-Syadzili. Nasabnya tersambung kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Abul Hasan
bin Abdullah Abdul Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Hatim bin Qushay bin Yusuf
bin Yusya' bin Ward bin Baththal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad,
bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah binti Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam.
Beliau lahir pada tahun 593
Hijriyah atau bertepatan dengan Tahun 1.197 Masehi di Desa Ghumarah di negeri
Maroco. Dan itu adalah tempat syeikh beliau iaitu Syeikh Abdussalam Ibnu
Masyis. Imam Abul Hasan Asy-Syadzili menghafal Al-Qur'an dan mulai mempelajari
ilmu syari'at. Kemudian dia pergi ke Kota Tunis ketika masih sangat muda. Beliau
masuk ke Tunisia jalan menuju ke Baitul Haram, setelah itu beliau menuju Iraq,
di Kota Baghdad bertemu dengan beberapa 'ulama tasawuf, dan beliau bertanya
tentang seorang qutub. Iaitu manusia yang mengumpulkan semua keutamaan dalam
kedekatannya dengan Allah subhaanahu wa ta'aalaa. Ini adalah seorang wali yang
memiliki keilmuan besar, serta memiliki kedudukan yang amat besar yang
dipandang oleh Allah di setiap zaman.
Ketika masuk ke Iraq beliau bertanya
tentang seorang wali Qutub iaitu Abdul Fath al-Watsi. Beliau bertemu dengan
syeikh tersebut. Namun Imam Abul Hasan asy-Syadzili disarankan kembali ke
negerinya. Akhirnya beliau kembali ke negerinya dan menemukan seorang wali
Qutub bernama Syeikh Abdussalam Ibnu Masyis. Beliau seorang Syarif (keturunan
Rasulullah SAW). Beliau terkenal dengan Shalawat Masyis. Syekh Abdussalam Ibnu
Masyis makamnya ada di Maroco. Imam Abdul Hasan asy-Syadzili seorang tuna
netra, namun mata batinnya lebih tajam dari penglihatan kita. Saat beliau
mendatangi Syekh Abdussalam yang tempat tinggalnya di gunung ia melepaskan
semua ilmunya karena ingin mendapatkan ilmu dari syeikhnya. Sang Syeikh
mengatakan Marhaban dan beliau sebut nasabnya sampai ke Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam. Wahai Ali (Imam abul Hasan asy-Syadzili), kamu datang dalam
keadaan faqir kepada saya dan kamu akan mengambil kekayaan dunia dan akhirat.
KISAH BIJAK PARA SUFI: ORANG YANG MURAH HATI
ADA seorang kaya dan murah hati yang tinggal di Bukhara.
Karena ia memiliki pangkat tinggi dalam hierarki yang tidak kelihatan, ia
dikenal sebagai Pemimpin Dunia. Ia membuat satu syarat untuk hadiah yang
diberikannya. Setiap hari diberikannya emas kepada sekelompok masyarakat yang
sakit, yang janda, dan selanjutnya. Tetapi tak diberikannya apa pun kepada yang
membuka mulut. Tidak semua orang bisa menahan berdiam diri. Pada suatu hari,
tibalah giliran para ahli hukum menerima bagian hadiah. Salah seorang di antara
mereka itu tidak dapat menahan diri mengajukan permohonan selengkap dan
sebaik-baiknya. Tak sesuatu pun hadiah diberikan padanya. Tetapi, ia belum
berhenti berusaha. Hari berikutnya, orang-orang cacat diberi hadiah, dan ia pun
berpura-pura anggota badannya patah. Tetapi, Sang Pemimpin mengenalinya, dan ia
pun tak mendapatkan apa-apa. Hari berikutnya lagi, ia kembali menyamar,
menutupi wajahnya, bergabung dengan kelompok masyarakat yang berbeda. Kali ini
pun ia dikenali dan diusir.
Lagi dan lagi ia mencoba, bahkan juga pernah menyamar sebagai
wanita: namun tetap saja gagal. Akhirnya, ahli hukum itu bertemu dengan seorang
yang mengurus pemakaman dan memintanya untuk membungkus dirinya dengan kain
kafan. "Kalau Sang Pemimpin lewat, ia nanti mungkin mengiraku mayat. Ia
mungkin melemparkan sejumlah uang untuk pemakamanku dan kau akan kuberi
bagian." Hal itu pun dilaksanakan. Sekeping uang emas dilemparkan Pemimpin
ke balutan kafan itu. Ahli hukum itu pun meraihnya, takut didahului oleh
pengurus jenazah itu. Lalu, ia berkata kepada dermawan itu, "Kau
mengingkari hadiah untukku. Lihat, bagaimana aku telah mendapatkannya!"
"Tak ada yang boleh kau dapatkan dariku," jawab orang murah hari itu,
"sampai kau mati. Inilah makna ungkapan tersamar 'orang harus mati sebelum
ia mati'. Hadiah itu datang setelah 'kematian', dan bukan sebelumnya. Dan
bahkan, 'kematian' ini pun tak mungkin ada tanpa pertolongan."
Idries Shah dalam Tales of The Dervishes diterjemahkan Ahmad
Bahar menjadi Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi menjelaskan
kisah ini, yang diambil dari Buku Keempat dari Mathnawi karya Rumi, sudah jelas
dengan sendirinya. Para Darwis mempergunakannya untuk menekankan bahwa,
walaupun anugerah bisa 'direnggut' oleh orang cerdik, kemampuan ('emas') yang
diambil secara benar dari seorang guru seperti Si Pemurah dari Bokhara itu
memiliki kekuatan yang melampaui apa yang kasat mata. Inilah sifat yang sulit
dipahami dari anugerah.
KISAH ULAMA SUFI ABU YAZID BUSTAMI DAN SEEKOR ANJING
Kisah Abu Yazid Al-Bustami dan seekor anjing adalah satu dari
banyak kisah hikmah yang menyadarkan kita tentang hakikat penyucian hati. Abu
Yazid merupakan seorang ulama sufi abad ketiga Hijriyah berbangsa Persia.
Beliau lahir Tahun 188 H (804 M) bernama kecil adalah Tayfur.
Saat remaja, Abu Yazid telah mendalami Al-Qur'an dan Hadis
Nabi kemudian mempelajari ilmu fikih Mazhab Hanafi sebelum akhirnya menempuh
jalan tasawuf. Sebagai sufi, maqom (kedudukan) makrifat beliau tidak diragukan
lagi. Pernah terbesit di hatinya untuk memohon kepada Allah Ta'ala agar
diberikan sifat ketidak peduliaan terhadap makanan dan perempuan, kemudian
hatinya berkata: "Pantaskah aku meminta kepada Allah sesuatu yang tidak
pernah diminta oleh Rasulullah SAW?" Bahkan karena ketinggian ilmunya, dia
menghukum dirinya sendiri jika melanggar.
Suatu hari Abu Yazid Al-Busthomi mendapat ilmu berharga dari
seekor anjing di tepi jalan. Seperti biasa, Abu Yazid suka berjalan sendiri di
malam hari. Lalu beliau melihat seekor anjing berjalan terus ke arahnya. Ketika
anjing itu menghampiri beliau, Abu Yazid mengangkat jubahnya khawatir tersentuh
anjing yang katanya najis itu.
Spontan anjing itu pun berhenti dan terus memandangnya. Entah
bagaimana Abu Yazid seperti mendengar anjing itu berkata padanya. "Tubuhku
kering dan tidak akan menyebabkan najis padamu. Kalau pun engkau merasa terkena
najis, engkau cukup membasuh 7 kali dengan air dan tanah, maka najis di tubuhmu
itu akan hilang. Tapi jika engkau mengangkat jubahmu kerana menganggap dirimu
lebih mulia, lalu menganggapku anjing yang hina, maka najis yang menempel di
hatimu itu tidak akan bersih walaupun engkau membasuhnya dengan 7 samudera
lautan".
Mendengar itu, Abu Yazid tersentak dan meminta maaf kepada
anjing tersebut. Sebagai tanda permohonan maafnya yang tulus, Abu Yazid lantas
mengajak anjing itu untuk bersahabat dan jalan bersama. Namun anjing itu
menolaknya.
"Engkau tidak patut berjalan denganku. Karena mereka
yang memuliakanmu akan mencemooh dan melempari aku dengan batu. Aku tidak tahu
mengapa mereka menganggapku hina, padahal aku berserah diri pada sang Pencipta
wujud ini. Lihatlah aku tidak menyimpan dan membawa sebuah tulang pun,
sedangkan engkau masih menyimpan sekarung gandum," kata anjing itu pergi
meninggalkan Abu Yazid. Abu Yazid pun terdiam dan berkata: "Duhai Allah,
untuk berjalan dengan seekor anjing ciptaan-Mu saja aku tidak layak. Bagaimana
aku merasa layak berjalan bersama dengan-Mu, ampunilah aku dan sucikan hatiku
dari segala kotoran."
Sejak peristiwa itu, Syeikh Abu Yazid senantiasa memuliakan
dan mengasihi semua mahluk Allah tanpa syarat. Kisah ini mengingatkan kita
sebuah pesan indah yang difirmankan Allah Ta'ala dalam Al-Qur'an. "Maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang
orang yang bertakwa". (QS. An-Najm: 32)
Abu Yazid wafat pada tahun 261 Hijriyah (875 Masehi), ada
yang menyebut tahun 264 Hijriyah (878 M). Makam beliau terletak di pusat Kota
Bistami (Bashtom) yang banyak diziarahi para umat Islam. Sebuah kubah didirikan
di atas makamnya atas perintah Sultan Mongol bernama Muhammad Khudabanda,
seorang sultan yang berguru kepada Syeikh Syaraf al-Din (keturunan Abu Yazid),
pada tahun 713 H (1313 M).
KISAH IMAM SYAQIQ DAN SEORANG SUFI MUDA
Imam Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi rahimahullah bernama
lengkap Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi (wafat 149 H/810 Masehi). Beliau
seorang ulama besar sufi Khurasan yang juga guru Imam Hatim Al-Asham. Beliau
menceritakan satu kisah penuh hikmah saat melaksanakan ibadah Haji ke Makkah.
"Saya pergi melaksanakan haji. Dalam perjalanan, saya singgah di Kota
Qadisiyyah bersama rombongan lain. Saya melihat orang-orang ramai dengan
perhiasan mereka. Seketika pandanganku tertuju kepada seorang pemuda berwajah
tampan. Tubuhnya memakai pakaian berkain kasar dan kakinya memakai sandal kayu.
Pemuda itu duduk sendirian (tersisih dari keramaian).
Saya berkata dalam diriku bahwa si pemuda itu berpura-pura
hendak menjadi seorang sufi . Ia nanti akan menjadi beban terhadap orang lain.
Saya akan mendapatinya, mengujinya dan mencela atas kepura-puraannya. Ketika
saya mendekatinya, pemuda itu berkata: "Wahai Syaqiq". Lalu membaca
ayat: "Jauhilah kebanyakan prasangka karena sungguh sebagian prasangka
merupakan dosa." (QS Al-Hujurat Ayat 12)
Lalu pemuda itu beranjak meninggalkanku. Saya berkata dalam
diriku sungguh kejadian tadi merupakan sebuah perkara besar, luar biasa.
Bagaimana mungkin ia berbicara atas apa yang terdetik dalam hatiku? Ia juga
menyebut namaku padahal saya tidak pernah bertemu dengannya. Pasti ia di antara
hamba yang shalih. Saya kemudian mengejarnya dari belakang, tetapi ia telah
hilang dari penglihatanku. Ketika kami singgah di Waqishah, saya bertemu lagi
dengan pemuda itu. Ia sedang shalat dalam keadaan anggota badan bergetar dan
air matanya mengalir. Saya lalu duduk di dekatnya, menunggu ia selesai shalat
dan dalam hatiku mengatakan bahwa mesti meminta maaf atas kesalahanku (karena
mungkin telah membuatnya tersinggung). Setelah shalat, ia menoleh kepadaku
sambil berkata, "Wahai Syaqiq", lalu membaca firman Allah: "Dan
sungguh Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal
shalih , kemudian tetap di jalan yang benar". (QS Thaha Ayat 82)
Lalu ia beranjak meninggalkanku lagi. Saya merenung bahwa
pemuda itu termasuk dari wali 'abdal karena ia telah berbicara atas apa yang
kusembunyikan dalam hatiku sebanyak dua kali. Ketika kami berada di Rammala,
saya melihatnya lagi. Kali ini ia menuju ke sebuah sumur. Di tangannya ada
sebuah teko untuk mengambil air. Karena air dalam sumur agak jauh untuk
dijamah, tak disangka teko itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke dalam
sumur. Lalu saya melihatnya menengadah ke arah langit seraya berkata: "Engkau
Tuhanku yang ku berharap bila kehausan. Engkau kekuatanku berharap bila
kelaparan".
Setelah ia berdoa, demi Allah, saya melihat air sumur itu
berangsur naik. Pemuda itu lalu mengambil teko yang tadi terlepas dari
tangannya. Lalu berwudhu dan melaksanakan shalat empat rakaat. Setelah shalat ,Ia
mengambil segenggam pasir dan dibubuhnya ke dalam teko itu serta diaduk dengan
air, kemudian ia meminumnya. Saya menghampirinya dan mengucapkan salam. Ia pun
menjawab salamku. Lalu aku berkata kepadanya, "Berikanlah kepadaku
sebagian dari nikmat Allah ta'ala yang diberikan kepadamu." Pemuda itu
menjawab: "Wahai Syaqiq, tidak terhitung nikmat Allah yang diberikan-Nya
kepada kita, ada nikmat zahir dan juga nikmat batin. Oleh karenanya,
berprasangka baiklah kepada Tuhanmu."
Pemuda itu memberikan tekonya dan saya pun meminumnya.
Rasanya seperti bubur yang manis. Demi Allah, belum pernah aku merasakan yang
lebih lezat dan lebih harum daripada itu. Saya mencicipinya hingga kenyang.
Bahkan setelah mencicipi itu, saya merasa tidak ingin makan dan minum hingga
beberapa hari. Kemudian saya tidak melihatnya lagi hingga kami berada di
Makkah. Pada suatu malam di Makkah, saya melihatnya di dekat kubah air. Ia
sedang melaksanakan shalat saat pertengahan malam dengan khusyuk seraya
menangis. Ia tidak beranjak hingga malam berlalu.
Ketika fajar terlihat, ia pun duduk di mushalla dan bertasbih
kepada Allah. Kemudian setelah melaksanakan shalat Subuh, ia bertawaf
mengelilingi Kakbah tujuh kali. Setelah itu ia pergi, lalu saya mengikutinya.
Di tengah jalan, saya melihat orang-orang mengelilingi pemuda itu dan
menyampaikan salam kepadanya. Saya pun bertanya kepada sebagian orang yang
kulihat berada di dekatnya,"Siapakah pemuda itu?" Mereka menjawab:
"Ia adalah Musa bin Ja'far bin Muhammad bin 'Ali bin Al-Husain bin Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Saya berkata, "Saya dibuat terheran,
keajaiban itu hanya untuk yang serupa pemuda sayyid ini." Demikian kisah
pertemuan Imam Syaqiq dan Musa bin Ja'far Al-Husain. Allah mengajarkan ilmu
hikmah kepada Imam Syaqiq lewat wasilah para wali-Nya . Semoga kita dapat
mengambil iktibar untuk terus beramal saleh dan berprasangka baik kepada Allah
Ta'ala.
Sumber:
Al-Imam Al-Alim Jamal al-Din Abi al-Faraj Ibnu al-Jauzi,
Shifat al-Shafwah Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1409 H/1989 M)
Karamah Paling Agung yang Dimiliki Para Waliullah
Pada artikel sebelumnya kita telah bahas pengertian karamah dan
perbedaannya dengan mukjizat. Selain itu juga dijelaskan tentang keyakinan terhadap
adanya karamah para Wali. Para ulama menjelaskan bahwa mukjizat adalah
tanda-tanda kebenaran yang dikhususkan bagi Para Nabi, sedangkan karamah adalah
peristiwa luar biasa (karunia Allah) yang diberikan kepada para Wali. Muncul
pertanyaan, apakah karamah paling agung yang dimiliki para Waliyullah? Al-Qusyairi
(ulama besar tasawuf lahir 376 Hijriyah) menyatakan bahwa di masa sekarang ini
banyak kemampuan wali yang tampak. Padahal seorang wali tidak diperkenankan untuk
memperlihatkan karamahnya, baik karena terpaksa atau sedikit keterpaksaan. Di
antara karamah adalah dilahirkannya seorang manusia tanpa ayah dan ibu dan
mengubah benda mati, binatang ternak, atau hewan-hewan lain.
Al-Qusyairi mengungkapkan, Wali adalah orang yang senantiasa
menjaga ketaatan. Barangsiapa mencintai Allah Ta'ala, maka Dia akan menjaga dan
melindunginya. Allah tidak akan membiarkannya berbuat maksiat. Dia akan
melanggengkan pertolongan-Nya kepada orang yang taat, sebagaimana dinyatakan
dalam firman-Nya: "Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh" (QS 7,
Al-A'raf Ayat 196). Para Wali bukan orang yang ma'shum (terjaga dari kesalahan
dan dosa) seperti para Nabi. Tetapi mereka orang yang terjaga sehingga tidak
terus menerus berada dalam dosa. Sahal bin 'Abdullah berkata, "Siapa yang
zuhud terhadap dunia selama 40 hari dengan ketulusan dan kejujuran dari lubuk
hatinya, maka muncullah karamah padanya. Bila tidak muncul karamah , berarti
zuhudnya tidak benar." Lalu ada yang bertanya kepada Sahal,
"Bagaimana cara karamah tampak padanya?" Sahal menjawab, "Dengan
memperoleh segala yang diinginkannya." Adapun karamah paling agung yang
dimiliki para wali adalah langgengnya ketaatan dan terjaga dari kemaksiatan dan
pelanggaran. Demikianlah pendapat Al-Qusyairi tentang karamah.
Syaikhul Akbar Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi mengemukakan
dalam Kitabnya Mawaqi' al-Nujum wa Mathali' Ahl al-Asrar wa al-'Ulum bahwa Nabi
Isa 'alaihissalam memperoleh kedudukan mulia dan penglihatan yang agung berupa
kemampuan menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang buta dan orang sakit
lepra (kusta) dengan izin Allah. Demikian juga Nabi Ibrahim mampu menghidupkan
burung-burung, mengumpulkan bagian-bagian burung yang telah terpotong-potong
menjadi beberapa bagian, kemudian mencampur daging-dagingnya. Nabi Ibrahim
memanggil potongan-potongan burung, dan burung-burung tersebut segera datang
kepadanya, semua terjadi dengan seizin Allah. Bukan hal yang bertentangan
dengan akal ketika Allah memuliakan seorang wali dengan memberinya karamah dan
menampakkan karamah di tangannya. Setiap karamah akan diperoleh wali atau akan
ditunjukkan melalui tangannya. Kemuliaan karamah merujuk kepada Nabi Muhammad
saw. Dengan mengikuti Rasulullah dan tetap menaati batas-batas yang ditetapkan
olehNya maka karamah adalah hal yang benar.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat, ada yang
berpendapat bahwa mukjizat Nabi saw adalah karamah bagi wali. Ada juga
yang menolak pendapat ini, ada juga yang berpendapat bahwa wali memiliki karamah
yang bukan merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad saw. Tokoh-tokoh sufi tidak menafikan karamah
karena mereka melihatnya ada pada diri mereka sendiri dan rakan-rakan mereka.
Sebab mereka adalah orang yang mencapai tingkatan kasyaf dan dzauq. Jika mereka
mengungkapkan karamah-karamah yang mereka saksikan dan cerita-cerita dari
orang-orang tsiqah (tepercaya) tentang karamah, pasti orang yang mendengarnya
akan mendustakannya, bahkan mungkin mencelanya.
Ini disebabkan kurangnya pemahaman mereka terhadap diri orang
yang menampakkan karamah melalui tangannya, karena kepribadian dan sikap mereka
yang memandang rendah terhadapnya. Kalau saja ia menyempurnakan pandangannya
terhadap orang yang mampu dan dipilih oleh Allah untuk menunjukkan karamah,
tentu kebingungan dan sikap mereka yang mendustakannya tidak akan muncul.
Imam Tajuddin al-Subki dalam Kitab Thabaqat-nya berbicara
panjang lebar tentang ketetapan adanya karamah para wali dan menyatakan
kepalsuan argumentasi para penentang karamah. Setelah menjelaskan beberapa
karamah sahabat Nabi saw, ia berkata, "Peristiwa-peristiwa luar biasa yang
muncul dari tangan para sahabat yang telah kami ceritakan akan diterima orang
yang memiliki bashirah (penglihatan mata hati). Kami akan mengemukakan
dalil-dalil khusus untuk mematahkan kekacauan pandangan para penentang karamah
dan menangkis argumen mereka." Demikian ulasan tentang karamah dan
eksistensi para Waliyullah. "Apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah
berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia". (QS Yasin Ayat
82).
Sumber: Kitab Jami' Karamat Al-Aulia karya Yusuf bin Ismail
an-Nabhani
KISAH IBRAHIM BIN ADHAM YANG BERTOBAT KARENA BURUNG GAGAK
Ibrahim bin Adham (wafat 160 Hijriyah/777 Masehi) adalah
salah satu ulama sufi yang dikenal zuhud. Kisah pertobatannya layak dijadikan
hikmah dan iktibar bagi mereka yang jauh dari Allah Ta'ala.
Dalam Kitab Al-Mawa'izh Al-'Usfuriyah, Syeikh Muhammad bin
Abu Bakar Ushfury menceritakan kisah Ibrahim bin Adham (semoga Allah
merahmatinya). Adapun sebab tobatnya adalah pada suatu hari dia keluar untuk
berburu, kemudian duduk di suatu tempat dan membuka alas untuk makan. Ketika
Ibrahim hendak makan, datanglah seekor burung gagak mengambil sepotong roti
dari alas dengan paruhnya lalu terbang ke udara. Ibrahim pun kagum melihat hal
tersebut. Dia pun menaiki kudanya dan pergi mengikut burung itu sambil
melihatnya dari kejauhan. Ketika Ibrahim mendekat, ia melihat seorang laki-laki
terikat tali yang kencang berbaring di atas punggungnya.
Melihat itu, Ibrahim turun dari kudanya dan melepas ikatan
laki-laki itu. Dia menanyakan keadaan laki-laki tersebut. Si lelaki itu
berkata, "Sesungguhnya aku adalah seorang pedagang, lalu para pencuri
mengambil harta yang kubawa, mereka menyakitiku mengikatku dan meninggalkanku di
tempat ini. Aku melalui tujuh hari di tiap hari datanglah seekor burung gagak
dengan membawa roti dan duduk di atas dadaku, dia berikan roti dengan paruhnya
dan meletakkannya di mulutku. Dan tidaklah Allah meninggalkanku kelaparan pada
hari-hari tersebut".
Mendengar itu, Ibrahim menaiki kudanya dan membawanya ke
tempat yang dia duduki. Ibrahim bin Adham kemudian bertaubat dan kembali kepada
Allah Ta'ala. Ia melepas bajunya yang mewah dan memakai baju sufi. Dia
memerdekakan budaknya yang kecil, dia waqafkan perkebunan serta harta bendanya,
dia ambil tongkat dengan tangannya dan menuju Mekkah tanpa bekal dan kendaraan.
Yang ada dalam dirinya hanyalah berserah diri kepada Allah Ta'ala. Dia tidak
memperhatikan bekal, dan dia tidak merasa kelaparan hingga sampai ke Ka'bah. Di
depan Ka'bah dia mengucap syukur kepada Allah Ta'ala dan tak henti memuji-Nya.
Betapa beruntungnya mereka yang bertaubat dan kembali kepada
Allah. Dalam Al-Qur'an, Allah Ta'ala berfirman: "Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu". (QS At-Thalaq: 3).
Dalam ayat lain, Allah Ta'ala berfirman: "Dan tidak ada suatu binatang
melata pun di bumi melainkan Allah yang memberi rezekinya". (QS Hud: 6).
Disebutkan bahwa sesungguhnya Allah Ta'ala menciptakan seekor
burung hijau di udara, dan Allah membuat ujung runcing di atas punggungnya dan
ujung runcing di bawah perutnya. Lalu Allah menciptakan ikan Paus di laut, dia
(paus) makan ikan dan daging ikan itu masuk di antara gigi-giginya. Daging
ikan-ikan melukai dan menyakitinya, kemudian ikan paus mengeluarkan kepalanya
dari air dan membuka mulutnya, lantas datanglah burung hijau tersebut. Dia
masuk ke mulut ikan paus dan memakan yang ada di antara gigi-giginya (daging
ikan). Dua tombak itu seperti dua tiang di mulut ikan paus, sehingga dia (paus)
tidak bisa mengunyah dan memakannya (burung).
Maka ketika telah habis daging di antara gigi-giginya, burung
itu terbang ke udara, Allah telah memberi rezekinya di antara gigi-gigi ikan
paus, dan kembalilah ikan paus ke tempatnya. Dia istirahat sebab hal tersebut,
masing-masing dari keduanya menjadi sebab bagi yang lain. Allah tidak
meninggalkan burung tanpa rezeki, maka bagaimana Allah meninggalkan manusia
tanpa rezeki. Subhanallah, semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini.
Demikian dulu warkah
yang saya tulis di bhg 5 ini, semoga ini membawa barakah, manfa,at, dan Ridho
Allah swt, Syafa‘at Rasulullah saw serta Karomah Auliyaillah khushushon Syeikh
Mughydeen Abdul Qodir Jailani ra selalu terlimpahkan kepada kita, keluarga dan
anak-anak keturunan kita semua Dunia dan Akhirat. Dan semoga kita terpelihara
dari semua bentuk kezaliman dunia dan akhirat yang didatangkan kepada kita dari
manusia, Jin, Syaitan dan Iblis. Semoga dengan berkat Syeikh kita mendapat ilmu
yang mengalir darinya dan mendapat Syafaat Guru dan pertolngan Allah diakhir
hayat kita nanti. Amien ya rabbal alamin…
BERSAMBUNGAN BHG 6
ZAMAN
SELAMAT MENYAMBUT BULAN RAMADHAN AL MUBARAK YANG BARAKAH..SEMOGA KITA SENTIASA DALAM RAHMAT,REDHO ALLAH S.W.T DAN SYAFAAT RASULULLAH..AAMIIN
ReplyDelete