Friday, February 22, 2019

Apa itu yang dimaksudkan dengan INKUIS ?


APA YANG DIMAKSUDKAN DENGAN INKUIS ?

Dalam mencari kefahaman berkenaan inkuis seperti yg telah dilaksanakan dimakamah Kronologi di Shah Alam sekarang ini bersabit dengan kematian ahli bomba Mohd Adib, maka atok muatkan satu atikal yg telah ditulis oleh seorang beragama katolik di Indonesia yang telah dimuatkannya didalam blognya katolisitas.org yang telah atok edit sedikit sahaja kerana bimbang akan mencacatkan tulisannya dan kemudian disiarkan semula didalam blog ini supaya memberi kefahaman berkenaan inkuis. Ini adalah untuk maklumat saja, jangan disalah ertikan dari sudut-sudut agama atau lain-lain. Atikal ini bukan bermaksud untuk mendedahkan ajaran agama ketolik atau mengajar agama itu dalam masyarakat di Malaysia, sebaliknya pembaca kena membuka minda dan cuba memahami maksud sebenar inkuis dari kaca mata penganut katolik yang telah melalui peristiwa tersebut dimasa silam. Pekara ini tidak pernah dilalui oleh umat Islam sebelum ini dan apabila berlaku insiden rusuhan kuil di Subang Jaya yang lalu, barulah pertama kali didalam dunia ini, orang islam menuntuk keadilan melalui inkuis di Makamah Kronologi Shah Alam.

Berkenaan Inkuis (Inquisition)

Dalam dialog dengan umat non- Katolik, topik tentang Inkuisisi kerap mencuat ke permukaan. Tak jarang, pihak Katolik enggan membicarakannya, karena kurang mengetahui bagaimana menanggapinya. Maka mari kita mencoba melihatnya dengan kacamata yang obyektif, untuk melihat duduk persoalannya.


Terdapat tiga jenis inkusisi dalam sejarah

Dari definisinya, Inkuisisi/ inquisition berasal dari kata ‘inquire‘ yang artinya menanyakan/ memeriksa dengan seksama. Dalam hal ini yang diperiksa terutama adalah bagaimana sampai terjadi adanya kejahatan akibat ajaran sesat (heresi). Dalam sejarah, tercatat sedikitnya terdapat 3 macam inkuisisi yang terbesar:

1) Inkuisisi yang diadakan tahun 1184 di Perancis selatan, untuk menangani kaum Kataris. Tentang apakah kaum Kataris, dan mengapa sampai pihak Gereja Katolik dan pemerintah sekular menentang mereka, sudah pernah ditulis di sini, silakan klik.

2) Roman Inquisition yang dimulai 1542

3) Spanish Inquisition yang dimulai tahun 1478, yang diadakan oleh pemerintah Spanyol untuk menyelidiki para conversos yaitu umat Katolik yang tadinya adalah penganut agama Yahudi dan muslim, atau mereka yang berpura-pura menjadi Katolik, namun sebenarnya bukan, demi kepentingan politik dan sosial, yang kemudian secara diam-diam melaksanakan ajaran agama mereka sebelumnya. Maka, selain untuk menghukum mereka yang bersalah, pengadilan/ penyelidikan Inkuisisi juga bermaksud membersihkan nama banyak orang yang tidak bersalah, yang dituduh melakukan heresi/ mengajar ajaran sesat tersebut. Inkuisisi ini diberlakukan bagi umat Katolik sendiri, walaupun bisa terjadi memang sebelumnya menganut agama/ paham lain. Mereka diadili karena  mengajarkan ajaran agamanya/ pahamnya yang terdahulu itu sehingga menimbulkan kekacauan di kalangan umat Katolik, sehingga Gereja Katolik berhak untuk meluruskannya.

Adanya berbagai inkuisisi yang terjadi di dunia dalam abad yang berbeda-beda turut memberikan kontribusi gambaran yang negatif tentang inkuisisi, sebagaimana yang terjadi di India oleh pemerintahan Portugis 1560-1812, dan yang terjadi di Mexico dan Lima di sekitar jangka waktu yang sama.


Kekejaman dalam pelaksanaan inkuisisi?

Dari catatan sejarah yang ditulis oleh kaum fundamentalis Henry C. Lea (1825–1909) dan G.G Coulton (1858–1947) memang kita dapat tercengang akan laporan kekejaman yang terjadi di masa Inkuisisi itu, yang membuat kita sebagai umat Katolik bertanya-tanya mengapa sampai hal-hal itu dapat terjadi. Namun harus kita mengingat juga bahwa tulisan itu dibuat oleh pihak yang sejak awal memang sudah menentang Gereja Katolik. Sebaliknya, umat Katolik juga tidak dapat mengatakan bahwa Inkusisi itu tidak ada atau tidak ada penyimpangan dalam pelaksanaannya. Nampaknya harus diakui bahwa walaupun inkuisisi dilaksanakan oleh pemerintah sekular, namun ada juga keterlibatan anggota-anggota Gereja sebagai pelaksananya, dan dapat terjadi ada penyimpangan dalam prosedurnya; sama seperti pada zaman sekarang, bahwa apapun program pemerintah, yang baik sekalipun, dapat saja dilakukan tidak dengan semestinya. Kristus dan Rasul Paulus sudah memperingatkan akan kemungkinan terjadinya hal ini (lih. Mat 7:15 Kis 20:29). Gereja memang tidak hanya terdiri dari orang-orang suci, namun juga orang-orang berdosa.


Mengapa Gereja Katolik menghukum para heretic / pengajar ajaran sesat?

Harus diakui heresi pada masa itu memang dianggap sebagai perbuatan kriminal yang berat, tidak saja oleh Gereja Katolik, tapi juga oleh gereja-gereja Protestan. (Sesungguhnya bahkan di zaman sekarangpun hal pengajaran sesat oleh sesama umat yang bersangkutan dapat dianggap sebagai perbuatan kriminal, bahkan oleh agama non-Kristen, seperti halnya fatwa yang dikeluarkan oleh Ayatollah Khomeini terhadap Salman Rushdie beberapa tahun yang silam).

Selain itu, Inkuisisi menjatuhkan hukuman juga kepada para penyihir, bukan karena mereka dianggap mengajar ajaran agama sesat, namun karena itu dianggap sebagai tanda ketidakwajaran/ kegilaan (insanity).

Maka sesungguhnya, orang-orang yang dihukum bukanlah orang yang tidak bersalah. Kaum Kataris/ Albigensian bukan “the Bible Christians” sebagaimana diklaim oleh sejumlah orang. Mereka adalah sekte yang mencampurkan ajaran Kristiani dengan Gnosticisme dan Manichaisme, sehingga menentang perkawinan, mengizinkan perzinahan, dan menganjurkan bunuh diri. Tak mengherankan baik Gereja maupun pemerintah sekular menolak ajaran tersebut.

Selanjutnya, pengadilan inkuisisi Spanyol juga mengadili para konvert dari kaum muslim yang dikenal dengan sebutan Moriscos. Mereka memang diadili dengan kejam oleh Lucero di Cordova, namun kemudian, sebagai akibatnya, Lucero sendiri diturunkan dari jabatannya dan dipenjara (1507). ((lih. Catholic New Encyclopedia, Book 7, The Catholic University of America, 1967, reprint 1981, p. 540))

Selanjutnya, perlu diketahui bahwa pengadilan inkuisisi yang melibatkan Gereja Katolik tidak menjatuhkan hukuman mati kepada para heretik yang mengeraskan hati. Yang dilakukan oleh pengadilan Inkuisisi adalah menyatakan keputusan untuk menyerah kepada pengadilan sekular, jika mereka tidak bertobat/ menyesal dari perbuatan mereka. Selama tugasnya sebagai hakim Inkuisisi, Bernard Gui (1307- 1324), hanya mengirimkan 40 heretik yang mengeraskan hati ke pengadilan sekular. Pengadilan sekular inilah yang kemudian menjatuhkan hukuman kepada mereka, yang dapat berupa penyiksaan ataupun hukuman mati. Hukuman mati ini memang dapat berupa hukuman dibakar, yang dilakukan di hadapan publik. Namun hal ini juga merupakan kekecualian dan jarang terjadi. Di Tolouse (1256) tercatat hanya ada sekali hukuman semacam ini diberlakukan, dan 12 hukuman seumur hidup. ((lih. Ibid., p 539)


Mengapa ada inquisisi?

Jika kita membaca kitab Perjanjian Lama, kita kurang lebih dapat memahami pola pikir orang-orang pada zaman inkuisi itu, yaitu jika kita membaca kitab Ulangan tentang hukuman bagi pelaku kejahatan yang melanggar perjanjian dengan Allah. “Apabila di tengah-tengahmu di salah satu tempatmu yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, ada terdapat seorang laki-laki atau perempuan yang melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, Allahmu, dengan melangkahi perjanjian-Nya, dan yang pergi beribadah kepada allah lain dan sujud menyembah kepadanya, atau kepada matahari atau bulan atau segenap tentara langit, hal yang telah Kularang itu; dan apabila hal itu diberitahukan atau terdengar kepadamu, maka engkau harus memeriksanya baik-baik. Jikalau ternyata benar dan sudah pasti, bahwa kekejian itu dilakukan di antara orang Israel, maka engkau harus membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan perbuatan jahat itu ke luar ke pintu gerbang, kemudian laki-laki atau perempuan itu harus kaulempari dengan batu sampai mati…” (Ul 17:2-5). Maka di zaman bangsa Israel, juga sudah pernah ada kejadian serupa, di mana diadakan pemeriksaan dengan seksama akan adanya suatu pelanggaran, dan bagaimana yang melanggar tersebut juga berusaha mengajarkan pandangan mereka, dan Tuhan kemudian menunjukkan bagaimana menangani hal tersebut (lih. Ul 13:6-18). Demikianlah kemungkinan para inkuisitor tersebut menyimpulkan bahwa apa yang pernah diberlakukan terhadap bangsa Israel di zaman Perjanjian Lama dapat pula mereka terapkan demi membasmi kejahatan di antara mereka (Ul 13:5, 17:7, 12). Prinsip ini juga diajarkan oleh Rasul Paulus (lih. 1 Kor 5:12-13). Maka yang diadili dalam pemeriksaan inkuisisi adalah orang-orang yang mengaku sebagai umat Katolik, namun hidupnya dilaporkan tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik, dan mempengaruhi/ mengajarkan ajaran yang sesat tersebut kepada umat yang lain. Bahwa pada akhirnya dalam pelaksanaan pemeriksaan ini terjadi hal-hal yang menyimpang dan kekejaman, itu adalah sesuatu yang patut disesalkan, namun dengan jujur kita patut menerima bahwa maksud awalnya diadakan sebenarnya adalah membasmi kejahatan dan penyimpangan dari ajaran Tuhan sebagaimana dipercayakan kepada Gereja.


Berapa jumlah yang wafat melalui Inkusisi?

Sejujurnya, berapa jumlah tepatnya korban akibat Inkuisisi, tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun kita dapat mengetahui dengan pasti, bahwa klaim 95 juta orang, yang sering disebut-sebut oleh kaum fundamentalis non-Katolik sebagai jumlah korban inkuisisi, jelas terlalu berlebihan, dan tidak masuk akal. Sebab inkuisisi tidak terjadi di Eropa Utara, Eropa Timur, Skandinavia dan Inggris, namun hanya terjadi di kawasan Perancis Selatan, Italia, Spanyol, sebagian kerajaan Romawi. Maka inkuisisi tidak dapat membunuh 95 juta orang sebab jumlah total orang yang hidup di kawasan tersebut saja tidak sampai sebanyak itu.

Studi sejarah yang dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa hanya sekitar 4000 ((cf. Will Durrant, The Reformation: A History of European Civilization from Wycliff to Calvin: 1300-1564 (MJF Books, 1985), p. 216)) sampai 5000 orang yang dihukum mati oleh inkuisisi di Spanyol, dan ini terjadi dalam selang waktu sekitar dua setengah abad. Di masa Spanish Inquisition, dalam 30 tahun pemerintahan ratu Isabella, ada sekitar 100,000 orang yang dikirim ke inkuisisi, dan 80,000 orang di antaranya dinyatakan tidak bersalah. 15,000 dinyatakan bersalah, namun setelah mereka menyatakan iman secara publik, maka mereka dibebaskan kembali. Hanya ada sekitar 2,000 orang yang meninggal karena keputusan inkuisisi sepanjang pemerintahan Ratu Isabella, dan 3000 orang kemudian dari tahun 1550 – 1800 (250 tahun). Sedangkan, sebagai perbandingan, dalam perang sipil di Jerman selama dua tahun (1524-1526) antara para petani dan kaum terpelajar, yang dipicu oleh pengajaran Luther tentang ide membuat semua orang sama derajatnya, membuat puluhan ribu petani menyerang para imam, uskup, prajurit, menguasai kota, membuat kekacauan, dan mengakibatkan serangan balik dari pihak penguasa dan pemerintah yang menewaskan sekitar 130,000 petani belum termasuk golongan masyarakat yang lain. Menurut sejarahwan William Manchester, jumlah warga Jerman yang wafat di sekitar waktu konflik tersebut mencapai sekitar 250,000 orang, jika dihitung sejak tahun 1523 sampai 1527. ((Ibid., p. 392)) Juga, hanya dalam waktu 20 hari, Revolusi Perancis (1794), yang dimotori oleh gerakan “Enlightenment”, meng-eksekusi pria dan wanita sebanyak 16,000- 40,000. Jumlah korban ini, jauh lebih banyak daripada korban inkuisisi dalam 30 tahun pemerintahan Ratu Isabella. Demikian juga, pembunuhan 72,000 umat Katolik yang dilakukan oleh Raja Inggris Henry VIII, sehingga jumlah orang yang meninggal selama beberapa tahun pada masa pemerintahan Henry VIII dan anaknya Elizabeth I, jauh melebihi apa yang terjadi pada inkuisisi di Spanyol dan Roma selama 3 abad.


Inkuisisi oleh pihak non- Katolik

Maka yang menginterpretasikan secara harafiah teks dari Kitab Ulangan tersebut pada masa itu, tidak hanya para inkuisitor Katolik, tetapi juga inkuisitor gereja Protestan. Baik Luther maupun Calvin mengakui hak negara untuk menangani heretik. Calvin tidak hanya mengusir mereka dari Geneva, tetapi juga menghukum mati mereka (contohnya Jacques Gouet, yang dipenggal kepalanya tahun 1547, dan Michael Servetus yang dihukum mati dengan dibakar di tahun 1553). Dari Geneva, Calvin mengirimkan utusan kepada England (Inggris) dengan pesan untuk membunuh orang-orang Katolik: “Siapa yang tidak mau membunuh para pengikut Paus, adalah pengkhianat.” Kebijakan ini dikenal tidak hanya oleh orang-orang Inggris yang setia kepada Roma, tetapi juga orang- orang Irlandia, yang hidup dan hak asasinya diambil (sampai 1913), demikian juga tanah mereka. Tahun  1585 parlemen Inggris mengeluarkan dekrit “hukuman mati bagi para warga Inggris yang kembali ke Inggris setelah ditahbiskan menjadi imam Katolik, dan semua orang yang menghubungi mereka.” ((Vittorio Messori, Black Legends of the Church, ch. 6, nr. 36)). Di Inggris dan Irlandia, para reformer itu juga mengadakan inkuisisi dan penghukuman mati, yang diperkirakan juga mencapai ribuan orang Katolik, entah dengan digantung, ditenggelamkan atau dipotong-potong, karena mereka Katolik dan menolak untuk menjadi Protestan. Lebih banyak yang lainnya dipaksa untuk keluar dari tanah air mereka untuk menyelamatkan diri.

Dengan demikian kita melihat bahwa hal inkusisi ini juga dilakukan tidak saja oleh Gereja Katolik tetapi juga oleh gereja Protestan, dan hal penghukuman mati secara masal dan kejam bahkan terjadi lebih parah lagi dalam Perang dunia ke I, ke II, perang/ pertikaian di negara-negara non- Kristen, dan revolusi negara-negara yang tidak ber-Tuhan, seperti di China dan Rusia. Maka inkusisi selayaknya menjadi fakta kelam sejarah seluruh umat manusia, yang seharusnya membuat kita semua berintrospeksi diri, bukannya menuding pihak tertentu sebagai satu-satunya yang bersalah dalam hal ini. Sebab sejujurnya hal kekejaman pembunuhan umat manusia secara massal tidak saja pernah dilakukan oleh oknum-oknum dari kalangan Katolik saja, tetapi juga kalangan Kristen non- Katolik dan bahkan non- Kristen. Oleh sebab itu, sungguh baiklah teladan Paus Yohanes Paulus II, yang dengan kerendahan hati mengakui adanya kesalahan yang dilakukan oleh putera-puteri Gereja, yang tidak menerapkan hukum kasih selama dalam proses inkuisisi ini. Inilah sebabnya Paus Yohanes Paulus II atas nama Gereja Katolik meminta maaf, atas nama mereka, menjelang perayaan tahun Yubelium 2000.

Mari berdoa agar setiap pemimpin agama ataupun pemimpin negara di dunia juga berlaku yang sama, yang terlebih dahulu mengakui kesalahan yang dilakukan juga oleh anggota-anggotanya, dan kemudian bersama-sama sebagai kesatuan umat manusia kita mengusahakan perdamaian dunia di saat ini dan di masa depan.

Sumber:
The Inquisition, Catholic Answers,
19/12/2018

 katolisitas.org
STEFANUS-INGRID
Stefanus Tay, MTS dan Ingrid Listiati, MTS adalah pasangan suami istri awam dan telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat. Pengarang buku: Maria, O, Maria

Semoga dengan maklumat diatas tadi dapat memberi kefahaman apa yg dimaksudkan dengan pekara inkuis di Makamah itu. Semoga ia memberi manafaat kepada kalian semua. Sekian

Atok zamany