APA YANG DIMAKSUDKAN DENGAN INKUIS ?
Dalam mencari kefahaman
berkenaan inkuis seperti yg telah dilaksanakan dimakamah Kronologi di Shah Alam
sekarang ini bersabit dengan kematian ahli bomba Mohd Adib, maka atok muatkan
satu atikal yg telah ditulis oleh seorang beragama katolik di Indonesia yang
telah dimuatkannya didalam blognya katolisitas.org yang telah atok edit sedikit
sahaja kerana bimbang akan mencacatkan tulisannya dan kemudian disiarkan semula
didalam blog ini supaya memberi kefahaman berkenaan inkuis. Ini adalah untuk
maklumat saja, jangan disalah ertikan dari sudut-sudut agama atau lain-lain. Atikal
ini bukan bermaksud untuk mendedahkan ajaran agama ketolik atau mengajar agama
itu dalam masyarakat di Malaysia, sebaliknya pembaca kena membuka minda dan
cuba memahami maksud sebenar inkuis dari kaca mata penganut katolik yang telah
melalui peristiwa tersebut dimasa silam. Pekara ini tidak pernah dilalui oleh
umat Islam sebelum ini dan apabila berlaku insiden rusuhan kuil di Subang Jaya
yang lalu, barulah pertama kali didalam dunia ini, orang islam menuntuk
keadilan melalui inkuis di Makamah Kronologi Shah Alam.
Berkenaan Inkuis
(Inquisition)
Dalam dialog dengan umat non- Katolik, topik tentang Inkuisisi
kerap mencuat ke permukaan. Tak jarang, pihak Katolik enggan membicarakannya,
karena kurang mengetahui bagaimana menanggapinya. Maka mari kita mencoba
melihatnya dengan kacamata yang obyektif, untuk melihat duduk persoalannya.
Terdapat tiga jenis
inkusisi dalam sejarah
Dari definisinya, Inkuisisi/ inquisition berasal dari kata
‘inquire‘ yang artinya menanyakan/ memeriksa dengan seksama. Dalam hal ini yang
diperiksa terutama adalah bagaimana sampai terjadi adanya kejahatan akibat
ajaran sesat (heresi). Dalam sejarah, tercatat sedikitnya terdapat 3 macam
inkuisisi yang terbesar:
1) Inkuisisi yang diadakan tahun 1184 di Perancis selatan,
untuk menangani kaum Kataris. Tentang apakah kaum Kataris, dan mengapa sampai
pihak Gereja Katolik dan pemerintah sekular menentang mereka, sudah pernah
ditulis di sini, silakan klik.
2) Roman Inquisition yang dimulai 1542
3) Spanish Inquisition yang dimulai tahun 1478, yang diadakan
oleh pemerintah Spanyol untuk menyelidiki para conversos yaitu umat Katolik
yang tadinya adalah penganut agama Yahudi dan muslim, atau mereka yang
berpura-pura menjadi Katolik, namun sebenarnya bukan, demi kepentingan politik
dan sosial, yang kemudian secara diam-diam melaksanakan ajaran agama mereka
sebelumnya. Maka, selain untuk menghukum mereka yang bersalah, pengadilan/
penyelidikan Inkuisisi juga bermaksud membersihkan nama banyak orang yang tidak
bersalah, yang dituduh melakukan heresi/ mengajar ajaran sesat tersebut.
Inkuisisi ini diberlakukan bagi umat Katolik sendiri, walaupun bisa terjadi
memang sebelumnya menganut agama/ paham lain. Mereka diadili karena mengajarkan ajaran agamanya/ pahamnya yang
terdahulu itu sehingga menimbulkan kekacauan di kalangan umat Katolik, sehingga
Gereja Katolik berhak untuk meluruskannya.
Adanya berbagai inkuisisi yang terjadi di dunia dalam abad
yang berbeda-beda turut memberikan kontribusi gambaran yang negatif tentang
inkuisisi, sebagaimana yang terjadi di India oleh pemerintahan Portugis
1560-1812, dan yang terjadi di Mexico dan Lima di sekitar jangka waktu yang
sama.
Kekejaman dalam
pelaksanaan inkuisisi?
Dari catatan sejarah yang ditulis oleh kaum fundamentalis
Henry C. Lea (1825–1909) dan G.G Coulton (1858–1947) memang kita dapat
tercengang akan laporan kekejaman yang terjadi di masa Inkuisisi itu, yang
membuat kita sebagai umat Katolik bertanya-tanya mengapa sampai hal-hal itu
dapat terjadi. Namun harus kita mengingat juga bahwa tulisan itu dibuat oleh
pihak yang sejak awal memang sudah menentang Gereja Katolik. Sebaliknya, umat
Katolik juga tidak dapat mengatakan bahwa Inkusisi itu tidak ada atau tidak ada
penyimpangan dalam pelaksanaannya. Nampaknya harus diakui bahwa walaupun
inkuisisi dilaksanakan oleh pemerintah sekular, namun ada juga keterlibatan
anggota-anggota Gereja sebagai pelaksananya, dan dapat terjadi ada penyimpangan
dalam prosedurnya; sama seperti pada zaman sekarang, bahwa apapun program
pemerintah, yang baik sekalipun, dapat saja dilakukan tidak dengan semestinya.
Kristus dan Rasul Paulus sudah memperingatkan akan kemungkinan terjadinya hal ini
(lih. Mat 7:15 Kis 20:29). Gereja memang tidak hanya terdiri dari orang-orang
suci, namun juga orang-orang berdosa.
Mengapa Gereja Katolik
menghukum para heretic / pengajar ajaran sesat?
Harus diakui heresi pada masa itu memang dianggap sebagai
perbuatan kriminal yang berat, tidak saja oleh Gereja Katolik, tapi juga oleh
gereja-gereja Protestan. (Sesungguhnya bahkan di zaman sekarangpun hal
pengajaran sesat oleh sesama umat yang bersangkutan dapat dianggap sebagai
perbuatan kriminal, bahkan oleh agama non-Kristen, seperti halnya fatwa yang
dikeluarkan oleh Ayatollah Khomeini terhadap Salman Rushdie beberapa tahun yang
silam).
Selain itu, Inkuisisi menjatuhkan hukuman juga kepada para
penyihir, bukan karena mereka dianggap mengajar ajaran agama sesat, namun karena
itu dianggap sebagai tanda ketidakwajaran/ kegilaan (insanity).
Maka sesungguhnya, orang-orang yang dihukum bukanlah orang
yang tidak bersalah. Kaum Kataris/ Albigensian bukan “the Bible Christians”
sebagaimana diklaim oleh sejumlah orang. Mereka adalah sekte yang mencampurkan
ajaran Kristiani dengan Gnosticisme dan Manichaisme, sehingga menentang
perkawinan, mengizinkan perzinahan, dan menganjurkan bunuh diri. Tak
mengherankan baik Gereja maupun pemerintah sekular menolak ajaran tersebut.
Selanjutnya, pengadilan inkuisisi Spanyol juga mengadili para
konvert dari kaum muslim yang dikenal dengan sebutan Moriscos. Mereka memang
diadili dengan kejam oleh Lucero di Cordova, namun kemudian, sebagai akibatnya,
Lucero sendiri diturunkan dari jabatannya dan dipenjara (1507). ((lih. Catholic
New Encyclopedia, Book 7, The Catholic University of America, 1967, reprint
1981, p. 540))
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa pengadilan inkuisisi yang
melibatkan Gereja Katolik tidak menjatuhkan hukuman mati kepada para heretik
yang mengeraskan hati. Yang dilakukan oleh pengadilan Inkuisisi adalah
menyatakan keputusan untuk menyerah kepada pengadilan sekular, jika mereka
tidak bertobat/ menyesal dari perbuatan mereka. Selama tugasnya sebagai hakim
Inkuisisi, Bernard Gui (1307- 1324), hanya mengirimkan 40 heretik yang
mengeraskan hati ke pengadilan sekular. Pengadilan sekular inilah yang kemudian
menjatuhkan hukuman kepada mereka, yang dapat berupa penyiksaan ataupun hukuman
mati. Hukuman mati ini memang dapat berupa hukuman dibakar, yang dilakukan di
hadapan publik. Namun hal ini juga merupakan kekecualian dan jarang terjadi. Di
Tolouse (1256) tercatat hanya ada sekali hukuman semacam ini diberlakukan, dan
12 hukuman seumur hidup. ((lih. Ibid., p 539)
Mengapa ada inquisisi?
Jika kita membaca kitab Perjanjian Lama, kita kurang lebih
dapat memahami pola pikir orang-orang pada zaman inkuisi itu, yaitu jika kita
membaca kitab Ulangan tentang hukuman bagi pelaku kejahatan yang melanggar
perjanjian dengan Allah. “Apabila di tengah-tengahmu di salah satu tempatmu
yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, ada terdapat seorang laki-laki
atau perempuan yang melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, Allahmu, dengan
melangkahi perjanjian-Nya, dan yang pergi beribadah kepada allah lain dan sujud
menyembah kepadanya, atau kepada matahari atau bulan atau segenap tentara
langit, hal yang telah Kularang itu; dan apabila hal itu diberitahukan atau
terdengar kepadamu, maka engkau harus memeriksanya baik-baik. Jikalau ternyata
benar dan sudah pasti, bahwa kekejian itu dilakukan di antara orang Israel,
maka engkau harus membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan
perbuatan jahat itu ke luar ke pintu gerbang, kemudian laki-laki atau perempuan
itu harus kaulempari dengan batu sampai mati…” (Ul 17:2-5). Maka di zaman
bangsa Israel, juga sudah pernah ada kejadian serupa, di mana diadakan
pemeriksaan dengan seksama akan adanya suatu pelanggaran, dan bagaimana yang
melanggar tersebut juga berusaha mengajarkan pandangan mereka, dan Tuhan kemudian
menunjukkan bagaimana menangani hal tersebut (lih. Ul 13:6-18). Demikianlah
kemungkinan para inkuisitor tersebut menyimpulkan bahwa apa yang pernah
diberlakukan terhadap bangsa Israel di zaman Perjanjian Lama dapat pula mereka
terapkan demi membasmi kejahatan di antara mereka (Ul 13:5, 17:7, 12). Prinsip
ini juga diajarkan oleh Rasul Paulus (lih. 1 Kor 5:12-13). Maka yang diadili
dalam pemeriksaan inkuisisi adalah orang-orang yang mengaku sebagai umat
Katolik, namun hidupnya dilaporkan tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik, dan
mempengaruhi/ mengajarkan ajaran yang sesat tersebut kepada umat yang lain.
Bahwa pada akhirnya dalam pelaksanaan pemeriksaan ini terjadi hal-hal yang
menyimpang dan kekejaman, itu adalah sesuatu yang patut disesalkan, namun dengan
jujur kita patut menerima bahwa maksud awalnya diadakan sebenarnya adalah
membasmi kejahatan dan penyimpangan dari ajaran Tuhan sebagaimana dipercayakan
kepada Gereja.
Berapa jumlah yang
wafat melalui Inkusisi?
Sejujurnya, berapa jumlah tepatnya korban akibat Inkuisisi,
tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun kita dapat mengetahui dengan pasti,
bahwa klaim 95 juta orang, yang sering disebut-sebut oleh kaum fundamentalis
non-Katolik sebagai jumlah korban inkuisisi, jelas terlalu berlebihan, dan
tidak masuk akal. Sebab inkuisisi tidak terjadi di Eropa Utara, Eropa Timur,
Skandinavia dan Inggris, namun hanya terjadi di kawasan Perancis Selatan,
Italia, Spanyol, sebagian kerajaan Romawi. Maka inkuisisi tidak dapat membunuh
95 juta orang sebab jumlah total orang yang hidup di kawasan tersebut saja
tidak sampai sebanyak itu.
Studi sejarah yang dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa
hanya sekitar 4000 ((cf. Will Durrant, The Reformation: A History of European
Civilization from Wycliff to Calvin: 1300-1564 (MJF Books, 1985), p. 216))
sampai 5000 orang yang dihukum mati oleh inkuisisi di Spanyol, dan ini terjadi
dalam selang waktu sekitar dua setengah abad. Di masa Spanish Inquisition,
dalam 30 tahun pemerintahan ratu Isabella, ada sekitar 100,000 orang yang dikirim
ke inkuisisi, dan 80,000 orang di antaranya dinyatakan tidak bersalah. 15,000
dinyatakan bersalah, namun setelah mereka menyatakan iman secara publik, maka
mereka dibebaskan kembali. Hanya ada sekitar 2,000 orang yang meninggal karena
keputusan inkuisisi sepanjang pemerintahan Ratu Isabella, dan 3000 orang
kemudian dari tahun 1550 – 1800 (250 tahun). Sedangkan, sebagai perbandingan,
dalam perang sipil di Jerman selama dua tahun (1524-1526) antara para petani
dan kaum terpelajar, yang dipicu oleh pengajaran Luther tentang ide membuat
semua orang sama derajatnya, membuat puluhan ribu petani menyerang para imam,
uskup, prajurit, menguasai kota, membuat kekacauan, dan mengakibatkan serangan
balik dari pihak penguasa dan pemerintah yang menewaskan sekitar 130,000 petani
belum termasuk golongan masyarakat yang lain. Menurut sejarahwan William
Manchester, jumlah warga Jerman yang wafat di sekitar waktu konflik tersebut
mencapai sekitar 250,000 orang, jika dihitung sejak tahun 1523 sampai 1527.
((Ibid., p. 392)) Juga, hanya dalam waktu 20 hari, Revolusi Perancis (1794),
yang dimotori oleh gerakan “Enlightenment”, meng-eksekusi pria dan wanita
sebanyak 16,000- 40,000. Jumlah korban ini, jauh lebih banyak daripada korban
inkuisisi dalam 30 tahun pemerintahan Ratu Isabella. Demikian juga, pembunuhan
72,000 umat Katolik yang dilakukan oleh Raja Inggris Henry VIII, sehingga
jumlah orang yang meninggal selama beberapa tahun pada masa pemerintahan Henry
VIII dan anaknya Elizabeth I, jauh melebihi apa yang terjadi pada inkuisisi di
Spanyol dan Roma selama 3 abad.
Inkuisisi oleh pihak
non- Katolik
Maka yang menginterpretasikan secara harafiah teks dari Kitab
Ulangan tersebut pada masa itu, tidak hanya para inkuisitor Katolik, tetapi
juga inkuisitor gereja Protestan. Baik Luther maupun Calvin mengakui hak negara
untuk menangani heretik. Calvin tidak hanya mengusir mereka dari Geneva, tetapi
juga menghukum mati mereka (contohnya Jacques Gouet, yang dipenggal kepalanya
tahun 1547, dan Michael Servetus yang dihukum mati dengan dibakar di tahun
1553). Dari Geneva, Calvin mengirimkan utusan kepada England (Inggris) dengan
pesan untuk membunuh orang-orang Katolik: “Siapa yang tidak mau membunuh para
pengikut Paus, adalah pengkhianat.” Kebijakan ini dikenal tidak hanya oleh orang-orang
Inggris yang setia kepada Roma, tetapi juga orang- orang Irlandia, yang hidup
dan hak asasinya diambil (sampai 1913), demikian juga tanah mereka. Tahun 1585 parlemen Inggris mengeluarkan dekrit
“hukuman mati bagi para warga Inggris yang kembali ke Inggris setelah
ditahbiskan menjadi imam Katolik, dan semua orang yang menghubungi mereka.”
((Vittorio Messori, Black Legends of the Church, ch. 6, nr. 36)). Di Inggris
dan Irlandia, para reformer itu juga mengadakan inkuisisi dan penghukuman mati,
yang diperkirakan juga mencapai ribuan orang Katolik, entah dengan digantung,
ditenggelamkan atau dipotong-potong, karena mereka Katolik dan menolak untuk
menjadi Protestan. Lebih banyak yang lainnya dipaksa untuk keluar dari tanah
air mereka untuk menyelamatkan diri.
Dengan demikian kita melihat bahwa hal inkusisi ini juga
dilakukan tidak saja oleh Gereja Katolik tetapi juga oleh gereja Protestan, dan
hal penghukuman mati secara masal dan kejam bahkan terjadi lebih parah lagi
dalam Perang dunia ke I, ke II, perang/ pertikaian di negara-negara non-
Kristen, dan revolusi negara-negara yang tidak ber-Tuhan, seperti di China dan
Rusia. Maka inkusisi selayaknya menjadi fakta kelam sejarah seluruh umat
manusia, yang seharusnya membuat kita semua berintrospeksi diri, bukannya
menuding pihak tertentu sebagai satu-satunya yang bersalah dalam hal ini. Sebab
sejujurnya hal kekejaman pembunuhan umat manusia secara massal tidak saja
pernah dilakukan oleh oknum-oknum dari kalangan Katolik saja, tetapi juga
kalangan Kristen non- Katolik dan bahkan non- Kristen. Oleh sebab itu, sungguh
baiklah teladan Paus Yohanes Paulus II, yang dengan kerendahan hati mengakui
adanya kesalahan yang dilakukan oleh putera-puteri Gereja, yang tidak
menerapkan hukum kasih selama dalam proses inkuisisi ini. Inilah sebabnya Paus
Yohanes Paulus II atas nama Gereja Katolik meminta maaf, atas nama mereka,
menjelang perayaan tahun Yubelium 2000.
Mari berdoa agar setiap pemimpin agama ataupun pemimpin
negara di dunia juga berlaku yang sama, yang terlebih dahulu mengakui kesalahan
yang dilakukan juga oleh anggota-anggotanya, dan kemudian bersama-sama sebagai
kesatuan umat manusia kita mengusahakan perdamaian dunia di saat ini dan di
masa depan.
Sumber:
The Inquisition,
Catholic Answers,
19/12/2018

STEFANUS-INGRID
Stefanus
Tay, MTS dan Ingrid Listiati, MTS adalah pasangan suami istri awam dan telah
menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria -
Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat. Pengarang buku: Maria, O,
Maria
Semoga dengan maklumat diatas tadi dapat memberi kefahaman
apa yg dimaksudkan dengan pekara inkuis di Makamah itu. Semoga ia memberi manafaat
kepada kalian semua. Sekian
Atok zamany