SYIAH ATAU
SYIAHTISEM:
BAB 5
siri akhir
Ikuti sambungan masaalah Syiah dan tajuk-tajuk seterusnya didalam atikal berkenaan Syiah siri akhir
didalam bab 5 ini pula.
Nota dari Atok:
Penafian oleh golongan Syiah sangat
biasa di Iran dan di seluruh dunia kerana mereka mengamalkan taqiah untuk
menyembunyikan semua keburukan Iran apatah lagi berkenaan Mullah dan Ayahtullah. Atok sendiri pernah merantau dan
tinggal di Tehran dan juga di Qum bagi mencari maklumat yang mendapat berbagai
tentangan dan tekanan. Hinggalah atok dihalau dari Iran pada 2005. Jadi tulisan
atok dan juga sahabat-sahabat atok ini
adalah rujukan yang benar kerana kami kebanyakannya bertindak sebagai
penyelidik, pejuang kebenaran dan penyasat persendirian (ditanah Iran itu
sendiri) kepada ajaran sesat Syiah untuk mencari bukti dan membuka keburukan
disebalik wayang Syiah itu dan mendedahkannya kepada dunia terutama kepada umat
islam Sunni/ASWJ supaya tidak tertipu oleh mereka. Jadi jika tulisan ini juga
dibidas atau disangkal oleh penyokong kuat ajaran sesat Syiah walau dari mana
pun mereka itu, maka tulisan ini adalah benar
dan lumrah bagi kami kerana kami telah pun berhadapan dengan tindakbalas
mereka sejak mula lagi. Oleh itu pembaca usah risau dan bimbang kerana kita
berada dipihak yang BENAR untuk mempertahankan akidah
kita dan akidah umat Islam Sunni atau ASWJ diseluruh dunia, terutama di
Malaysia dan Indonesia.
Kalau di Indonesia mereka telah
mendapat tempat kedalam masyarakat umum kerana sikap keterbukaan kerajaannya
yang memberi mereka ruang dan bermaharajalela, serta golongsn syiah itu juga
menggunakan tektik kotor dengan ‘umpan’ Mutaah gadis-gadis jelita, wang dan
biasiswa melanjutkan pelajaran ke Universiti-universiti atau maktab-maktab
Syiah di Iran. Graduan-graduan dari sinilah yang menjadi talibarut Syiah dialam
maya ini dan juga diluar untuk menangkis pendedahan keburukan mereka. Telah
dikesan penolakan ini diberapa laman blog rakan-rakan seperjuangan kami yang
ektif memperjuangan kebenaran daripada dakyah sesat Syiah yang amat merbahaya
kepada diri kamu, keluarga kamu, masyarakat Islam, kesatuan islam dan khususnya
kepada Negara Islam. Berwaspadalah kamu semua daripada doktrin dan dakyah Syiah
sesat ini supaya kamu terselamat dari fitnah akhir zaman bagi kehidupan dunia
dan akhirat.
Berikut adalah sambungan fatwa dari
Syeikh Yusuf al Qardawi berkenaan permasaalahan Syiah:
(Jawaban
Syaikh Yusuf Qardhawi yang Kedua)
SIKAP SAYA
YANG SEBENARNYA DI DALAM MUKTAMAR PENDEKATAN ANTAR MADZHAB DI DOHA QATAR
(1-3
Muharram 1428 H/20-22 Januari 2007 M)
Sumber: http://goo.gl/KIIjd


Pembaca diharap dapat membandingkan
fatwa-fatwa Syeikh Yusuf al Qurdawi. Diatas ini adalah fitnah kepada beliau
kerana jika diikuti semua fatwanya, tiada yang menyebut secara jelas
‘mengkafirkan Syiah’ kerana beliau masih berpegang bahawa penganut Syiah akan
kembali kepengkal jalan satu hari nanti.
Pertanyaan:
Yang terhormat Prof. Dr.
Yusuf Al-Qardhawi.
Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Kami orang-orang Syi’ah di
Iran telah menganggap Anda sebagai seorang da’i yang pertama kali mendengungkan
ajakan kepada persatuan umat dan pendekatan antara madzhab-madzhab dan
golongan-golongan yang ada. Anda juga dianggap sebagai salah seorang da’i yang
melawan para penyebar fitnah, para penyeru kepada perpecahan madzhab, golongan,
ras dan lain-lainnya.
Saya merasa yakin jika Anda
telah merasakan penghormatan yang agung dari para pemimpin di Republik Islam
Iran. Dimulai dari Presiden Republik Islam Iran, Sayyid Muhammad Khatami yang
telah menyambut Anda di kantornya. Seluruh media cetak, radio dan televisi
telah menyiarkan kunjungan Anda dengan luar biasa. Semuanya menyiarkan tentang
pentingnya kunjungan Anda ini.
Demikian juga Ayatulloh
telah menyambut Anda di Teheran, di Qum, di Masyhad, di Asfahan dan di seluruh
kota yang Anda kunjungi di Teheran.
Akan tetapi kami dikajutkan
dengan fatwa Anda yang baru, yang berbeda dengan fatwa Anda sebelumnya (yang
terdahulu). Di dalam fatwa terbaru Anda itu berisi tuduhan miring terhadap
Syi’ah, terhadap ide pendekatan madzhab dan tuduhan terhadap muk-tamar
pendekatan madzhab dan juga meragukan keputusan muktamar tersebut. Fatwa ini
ditanggapi oleh orang-orang Iran secara khusus dan penganut Syi’ah secara umum.
Fatwa Anda ini adalah kebalikan dari fatwa Anda sebelumnya, juga atas ide-ide
Anda tentang persatuan dan pendekatan yang terdahulu yang telah diketahui oleh
masyarakat luas.
Hal inilah yang menjadikan
segelintir orang-orang Syi’ah di sini (Iran) dan di berbagai negara, akhirnya
menghujat dan mengkritik Anda secara berlebihan, yang jauh dari sopan santun.
Surat saya ini ditujukan
kepada Anda Syaikh Yusuf Al-Qardhawi sebagai tokoh persatuan Islam dan ulama
besar umat Islam bagi seluruh golongan dan madzhab. Bukan sebagai figur yang
dimiliki oleh sekelompok orang atau aliran tertentu saja. Saya berharap Anda
bisa menjelaskan kepada kami dan seluruh orang yang mengajukan pertanyaan:
Bagaimana sikap Anda yang sebenarnya di Muktamar Doha? Apakah sikap Anda ini
telah berubah hanya untuk satu poin saja atau apa? Kami masih berbaik sangka
kepada Anda.
Hormat saya,
Muhammad Ali
(Penanya dari Iran)
Jawapan:
Segala puji bagi Allah,
selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, kepada keluarga beliau
dan para sahabat juga orang-orang yang setia kepada beliau. Amma ba’du
:
Di sini saya ingin
menjelaskan beberapa masalah yang menjelaskan sikap saya yang sebenarnya
terhadap masalah pendekatan antar madzhab dan golongan di dalam Islam sebagai
berikut :
1. Sesungguhnya saya sangat
mengharapkan persatuan ahlul qiblat yaitu seluruh kaum muslimin yang menjadi
umat Islam. Sedangkan adanya (persatuan) umat Islam menurut saya ini adalah
benar-benar nyata, bukan angan-angan kosong. Sesungguhnya perpecahan umat
menjadi banyak golongan dan madzhab yang bermacam-macam masih bisa disebut
sebagai satu umat. Karena di antara mereka itu masih banyak persamaannya
daripada perbedaannya. Rabbnya sama, nabinya sama, kitab sucinya sama, akidah
Islamnya sama, masa depannya sama, musuhnya sama dan kepentingannya juga sama (ahli
Sunnah).
2. Sesungguhnya saya melawan
para penganjur perpecahan di antara umat Islam. Baik itu perpecahan golongan,
madzhab, suku (ras) dan yang lainnya. Saya melihat bahwa orang-orang yang
mengendalikan isu perpecahan adalah musuh-musuh Islam yang mempunyai semboyan
“Pecah dan perintah!” (Divide and Rule).
3. Sesungguhnya sejak saya
ikut serta di dalam Muktamar Pendekatan Madzhab, saya telah menemukan beberapa
poin penting yang membuat pendekatan ini tidak akan terjadi jika poin-poin ini
diabaikan atau tidak diberikan hak-haknya. Semua ini telah saya jelaskan dengan
sejelas-jelasnya pada saat kunjungan saya ke Iran 10 tahun yang silam. Di sini
saya hanya mengacu kepada 3 perkara:
1. Kesepakatan untuk tidak
mencaci para sahabat. Karena kita tidak bisa dipertemukan atau didekatkan jika
masih seperti itu. Karena saya mengatakan: Semoga Allah meridhai mereka (para
sahabat), sedangkan engkau (Syi’ah) berkata: Semoga Allah melaknat mereka.
Sedangkan antara kata ridha dan laknat memiliki perbedaan yang sangat besar.
2. Dilarang menyebarkan sebuah
madzhab di sebuah daerah yang dikuasi oleh madzhab tertentu (ahli Sunnah). Atau
seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Mahdi Syamsuddin dengan istilah
pengsyi’ahan (ekspor madzhab Syi’ah ke negara lain).
3. Memperhatikan hak-hak
minoriti, terutama jika monoriti tersebut adalah madzhab yang sah (ahli
Sunnah).
Saya telah menyampaikan
sebuah makalah di Muktamar Pendekatan Madzhab di Kerajaan Bahrain yang saya
terbitkan setelah itu berjudul, Mabaadi’
fi At-Taqriib bayna Al-Madzaahib Al-Islaamiyyah, “Prinsip-prinsip
di Dalam Dialog dan Pendekatan Antara Aliran dan Madzhab di Dalam Islam” yang
berisi macam-macam teori saya agar usaha pendekatan ini berjalan di atas dasar
yang kokoh dan tiang yang kuat.
Inilah sikap saya. Saya
tidak akan menjadi penyeru kepada ‘peleburan prinsip’ atau menjadi orang-orang
yang berhamburan kepada usaha pendekatan (pendekatan Sunni – Syi’ah) tanpa
syarat dan ketentuan. Karena saya melihat bahwa muktamar ini hanya pembukaan
saja. Akan tetapi tidak memecahkan akar permasalahannya dan tidak ada ujung
pangkalnya. Muktamar tersebut hanya sebatas basa basi dan tidak menghasilkan
apa-apa setelahnya. Saya putuskan bahwa saya harus menjelaskan sesuatu yang ada
di dalam diri saya kepada seluruh kaum muslimin. Saya tidak akan menyembunyikan
sesuatu yang dianggap penting di dalam (menjaga) muamalah. Hal ini lah yang
dituntut oleh sifat amanah dan tanggung jawab dan perjanjian yang telah diambil
oleh Allah terhadap para ulama, “Hendaklah
kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah
kamu menyembunyikannya,” (QS Ali Imran [03]: 187). Saya pun telah
menjelaskan masalah ini dengan panjang lebar di depan para wartawan di Kairo
sebagai bentuk jawaban atas pertanyaan yang kemudian saya jelaskan kembali di
Muktamar Doha, Qatar.
Sebenarnya saya takut jika
seluruh ucapan yang telah saya sampaikan di dalam Muktamar Doha, Qatar itu akan
diubah atau ditafsirkan tidak sesuai dengan yang saya maksud, walaupun ceramah
saya itu direkam. Oleh karena itu, saya bermaksud mencatatnya tertulis dengan
pena saya sendiri dan saya sendiri yang akan mendistribusikannya (menyebarkan).
Inilah penjelasan saya kepada umat, demi membela kebenaran dan untuk
menghancurkan kebatilan.
Oleh karena itu, tidak
pantas saudara-saudara saya dari kalangan para ulama Syi’ah dan seluruh
murid-muridnya mengutuk saya atas penjelasan saya ini. Walaupun ada sebagian
dari mereka yang menyebut saya dengan sebutan “Syaikh Tho’ifiy”, Syaikh
Sektarian! Pada saat ini dan selamanya insya Allah, saya tidak akan menjadi
ulama sekte tertentu! Yang saya inginkan adalah menjadi ulama milik umat
seluruhnya dan khususnya bagi Islam. Saya melihat bahwa sikap fanatik yang
dibenci adalah seseorang lebih mengedepankan (kepentingan) golongan di atas
umat, atau mendahulukan kepentingan madzhab di atas Islam atau mengedepankan
kitab-kitab madzhab di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Mereka sepertinya telah
melupakan seluruh sikap saya yang selayaknya jangan dilupakan. Misalnya
bantahan saya terhadap fatwa Syaikh Jibrin yang merupakan anggota dari Lembaga
Ulama Senior di Kerajaan Saudi Arabia yang memfatwakan tidak boleh mendukung
Hizbullah pada perang melawan Israel dan jangan bersikap pro kepadanya walaupun
hanya dalam bentuk doa!
Pada saat itu, saya sedang
berlibur (berehat) di Kairo. Secara tiba-tiba, saya ingin membantah perkataan
Syaikh Jibrin melalui siaran Al-Jazeera. Saya pun membantah seluruh perkataan
Syaikh Jibrin dengan dalil-dalil syar’i dan dalil-dalil ilmiyah. Saya pun
tergerak untuk menuliskannya menjadi sebuah buku dan kemudian
mendistribusikannya. Seluruh tulisan saya ini dilampiri dengan seluruh
fatwa-fatwa saya.
Di bawah ini, ringkasan
dari seluruh kata sambutan saya dan kata penutupan saya di Muktamar Pendekatan
antar Madzhab di Doha, Qatar. Ini dilakukan agar orang yang hidup itu hidup
dengan bukti yang nyata dan agar orang yang binasa itu binasa dengan bukti yang
nyata.: Sebenarnya Ahlu Sunnah lah
iaitu mayoriti kaum muslimin yang telah mengajukan idea pendekatan madzhab dan
mereka telah menerimanya dengan lapang dada. Uniknya, bahwa hal ini diawali
dari Kairo dan yang menjadi pelopornya adalah para sesepuh Al-Azhar,
seperti Syaikh Abdul Majid Salim, Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Muhammad
Al-Madani, Syaikh Abdul Aziz Isa dan lain-lain. Pendapat mereka ini didukung
oleh Imam Hasan Al-Bana.
Di kota Kairo, kota tempat
Universitas Al-Azhar berdiri yang menjadi kiblat ilmu pengetahuan Islam,
ternyata di sana telah didirikan sebuah Lembaga Pendekatan Madzhab. Lembaga
atau Yayasan ini dipimpin oleh seorang ulama Ja’fari yang masyhur iaitu Syaikh
Taqiyuddin Al-Qummi yang berafiliasi kepada Lembaga Ilmiyah di Qum. Lembaga ini
menerbitkan majalah Ar-Risalah sebagai sarana bagi para ulama senior Ahlu
Sunnah untuk menuangkan tulisannya. Di dalam majalah tersebut, Syaikh Syaltut
telah menulis makalahnya di dalam masalah tafsir yang telah dikumpulkan
sehingga menjadi 10 jilid pertama.
Kantor Pusat Ikhwan
Al-Muslimin di Kairo pada zaman Hasan Al-Bana pernah menyambut kedatangan
Syaikh Al-Qummi.
Demikian juga Kantor Pusat
Ikhwan Al-Muslimin pada zaman Ustadz Hasan Al-Hudhaibi –pemimpin kedua- setelah
beberapa tahun kemudian pernah juga menyambut kedatangan seorang ulama Syi’ah
yang sudah dikenal luas. Akan tetapi dia bukan dari Lembaga Ilmiyah di Qum.
Justru dia adalah dari kalangan para pejuang Syi’ah iaitu: Nuwab Shafawi
(pemimpin Jemaat Fidayin Islam) yang menjadi oposisi kekuasaan Syiah Iran dan
Syiah pun benci kepadanya.
Pada tahun 60-an yang
lampau, Syaikh Mahmud Syaltut sebagai Grand Syaikh Al-Azhar telah mengeluarkan
sebuah fatwa yang membolehkan beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari. Dengan
alasan di dalam pembahasan fikihnya lebih mendekati kepada Madzhab Ahlu Sunnah,
kecuali ada perbedaan sedikit saja yang tidak menjadi alasan untuk melarang
beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari secara keseluruhan, seperti dalam hal
shalat, puasa, zakat, haji dan muamalah. Akan tetapi fatwa ini tidak dibukukan
dalam Himpunan Fatwa Syaltut.
Fatwa Syaikh Syaltut ini
sebagaimana yang disebutkan tidak merambah ke permasalahan akidah dan
ushuluddin (pokok-pokok agama Islam) yang di dalamnya mengandung perbedaan yang
sangat jelas antara Ahlu Sunnah dengan Syi’ah. Contohnya dalam hal imamah, 12
imam Syi’ah, kemaksuman mereka, pengetahuan mereka terhadap hal gaib dan kedudukan
mereka yang tidak ada yang bisa mencapainya walaupun oleh malaikat yang sangat
dekat (dengan Allah SWT) dan tidak juga oleh nabi yang diutus. Mereka
beranggapan bahwa masalah ini adalah masalah penting yang termasuk masalah
ushuluddin. Tidak sah iman dan Islam seseorang kecuali dengan mengimani masalah
ini. Orang yang menolaknya dianggap kafir, akan kekal di neraka. Juga contoh
lainnya iaitu akidah orang-orang Syi’ah terhadap para sahabat dan hal-hal
lainnya yang mereka anggap sebagai pokok-pokok agama mereka.
Di samping itu, kami belum
pernah menemukan ada orang Syi’ah yang membalas kebaikan dengan kebaikan atau
ada yang menjawab salam dengan jawaban yang lebih baik atau dengan salam
serupa. Sebaliknya, tidak ada dari para ulama senior Syi’ah yang selevel dengan
Syaikh Syaltut di kalangan Ahlu Sunnah, baik yang berada di Qum maupun di Najaf
yang mengeluarkan fatwa bagi para pengikutnya bahwa boleh beribadah dengan
menggunakan madzhab Ahlu Sunnah, meskipun mereka itu (Ahlus Sunnah) tidak perlu
hal ini. Justru kami melihat sebaliknya.
Antara Majoriti dan Minoriti
Sepanjang sejarah mereka, Syi’ah itu hanya
sebagai minoriti yang hidup di tengah-tengah mayoriti Ahlu Sunnah. Mereka hidup
dengan aman, damai, bisa merekrut anggota, mencetak buku-buku, berdakwah
membela madzhab mereka dan menyebarkannya di tengah-tengah mayoriti Ahlu
Sunnah. Tidak ada seorang pun yang menyakiti mereka atau ingin melenyapkan
etnis mereka, walaupun di dalam buku-buku mereka tercantum ajaran jahat mereka
yang menyakitkan Ahlu Sunnah sampai mereka mengkafirkan Ahlu Sunnah dan
menganggap Ahlu Sunnah telah murtad dari Islam, sampai imam-imam Ahlu Sunnah
yang empat pun tidak luput dari cercaan mereka!
Seperti itu lah kondisi mereka hidup di
zaman Daulah Abbasiyah, pada era pertama dan era keduanya. Juga seperti itu
pula mereka hidup di zaman Utsmaniyah, hanya saja di antara mereka dengan Bani
Shafawiyyin terdapat perseteruan.
Bahkan seperti itu pula mereka hidup pada
zaman kita sekarang ini di bawah bendera Wahabiyah yang sudah jelas sikapnya
terhadap Syi’ah. Demikian pula orang-orang Syi’ah di wilayah timur Kerajaan
Saudi Arabia, mereka bisa melaksanakan ritual keagamaan dan dakwah mereka.
Tidak ada terbersit sedikit pun negara Wahabi ini untuk memusnahkan mereka atau
memotong kuku mereka!
Seperti itu pula mereka hidup di Teluk
Arab secara umum, walaupun seluruh penguasa di Teluk adalah Ahlu Sunnah. Akan
tetapi mereka bisa mengumpulkan kekayaan, mendapatkan tempat di masyarakat, dan
bisa ikut berpartisipasi di bidang politik. Di antara mereka ada yang menjadi
anggota dewan, menteri, duta besar, direktor perusahaan, rektor di universitas,
dekan fakulti dan menjadi tokoh masyarakat.
Dari dahulu kala, Ahlu Sunnah, walaupun
mereka merupakan mayoriti umat Islam, mereka tidak pernah mencoba untuk
menumpas lenyapkan Syi’ah atau mempersempit ruang gerak mereka, baik di dalam
syiar keagamaan maupun literatur/buku-buku mereka. Walaupun syiar-syiar agama
mereka bertabrakan (bertentangan) dengan syiar Ahlu Sunnah. Misalnya ucapan
mereka di dalam adzan mereka: “Aku bersaksi bahwa Ali adalah wali Allah!”
Sedangkan Ahlu Sunnah tidak mengenal tiga kalimah syahadat kecuali dua kalimah syahadatain.
Apabila seperti ini sikap mayoriti Ahlu
Sunnah, baik dahulu maupun sekarang, mengapa kita melihat ada minoriti Syi’ah
yang mengancam keselamatan Sunni, melecehkan dan memprovokasi secara
terang-terangan dan dengan cara yang bisa membuat marah orang yang lembut dan
bijak sekalipun? Andai saja seluruh cita-cita mereka tercapai dan bisa
meluapkan amarah mereka dan melakukan revolusi, tentu akan menjadi sebuah
petaka yang sangat besar dan keburukan yang akan terus menerus berlangsung.


Apakah Ada Perbedaan Prinsip Sehingga Kita Perlu
Pendekatan Madzhab?
Makna taqrib (pendekatan) adalah jika di
sana ada sebuah perbedaan di antara kedua belah pihak dan kita ingin
mendekatkan salah satu dari keduanya atau masing-masing pihak mendekatkan diri
kepada temannya.
Apakah di antara golongan atau sekte yang
bermacam-macam ini ada perbedaan mendasar sehingga kita harus mengadakan dakwah
untuk mendekatkan di antara mereka? Khususnya di antara dua kelompok besar iaitu
Sunni dan Syi’ah?
Yang benar bahwa perbedaan itu memang ada,
baik dalam tataran pemikiran, praktik, maupun politi.
Contoh perbedaan di dalam masalah akidah,
iaitu khususnya di dalam masalah imamah. Karena mereka (orang-orang Syi’ah)
berkeyakinan bahwa imamah adalah pokok akidah mereka dan termasuk ke dalam
rukun akidah mereka. Sedangkan kita (Ahlu Sunnah) menganggapnya hanya sebagai
furu’ (cabang) saja dan bukan ushul; atau termasuk amaliyah dan bukan sebagai
akidah. Akan tetapi imamah di dalam ajaran Syi’ah merupakan pokok ajaran
mereka. Karena pokok ajaran mereka bersandar kepada:
Al-Washiyah (wasiat politik kepada Ali), Al-Imamah (kepemimpinan Ali dan keturunannya), Al-Ghaibah (masa menghilangnya imam ke-12) dan Ar-Roj’ah (kembalinya Al-Mahdi ke dunia sebelum kiamat untuk
menumpas musuh-musuh imam Ahlul Bait terutama Sunni).
Ajaran Syi’ah menyebutkan masalah imamah
dengan sangat tegas. Mereka mengatakan barangsiapa yang tidak beriman kepada
imamah ini, maka tidak dianggap sebagai orang yang beriman. Mereka juga mengatakan
bahwa imamah ini berasal dari Rasulullah SAW, yang dimulai dari Ali RA kemudian
dikuti oleh sebelas imam setelah Ali RA.
Semua ini tiada didalam ajaran ahli Sunnah
wal Jemaah dan sebarang pernyataan seumpama ini adalah ajaran yang terkeluar
dari syariat islam, walaupun asasnya dirujuk kepada orang-orang yang disanjung
dalam agama islam. Ini adalah disebabkan Syiah yang telah menyelewingkan fakta
sebenar keatas mereka.
Dalil Imamah Syi’ah
Di dalam kitab Ushul Al-Kafi dari Abi Ja’far (Al-Baqir) bahwasanya dia telah
berkata, “Islam itu
dibangun di atas 5 dasar: Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah (kekuasaan).
Tidak ada rukun yang lebih ditekankan kecuali rukun al-wilayah ini. Akan tetapi
manusia hanya mengambil empat perkara dan mereka meninggalkan rukun ini, iaitu
al-wilayah.” (Ushul Al-Kafi jilid 2 hal. 18).
Dari Zurarah dari Abu Ja’far dia
berkata, “Islam itu
dibangun di atas lima perkara: Shalat, zakat, haji, puasa dan al-wilayah.”
Zurarah berkata: Aku bertanya kepadanya: “Manakah di antara semua itu yang
paling utama?” Abu Ja’far menjawab, “Al-wilayah lebih utama, karena al-wilayah
adalah kunci dari semua rukun itu.” (Ushul
Al-Kafi, jilid 2 hal.
18).
Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya
dari Ash-Shadiq (AS) bahwasanya beliau bersabda, “Dasar Islam itu ada tiga: Shalat, zakat dan
al-wilayah. Tidak sah salah satu dari ketiga rukun ini kecuali dengan
menyertakan dua rukun lainnya.” (Ushul
Al-Kafi, jilid 2 hal.
18).
Di dalam masalah al-wilayah tidak ada
rukhshah (keringanan). Dari Abu Abdullah dia berkata, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan lima
perkara kepada umat Nabi Muhammad SAW: Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah
(pemerintahan) kami. Allah telah memberikan keringanan di dalam rukun yang
empat. Akan tetapi Allah tidak memberikan keringanan kepada seorang muslim pun
di dalam hal meninggalkan wilayah (pemerintahan) kami. Tidak, demi Allah.
Sesungguhnya tidak ada keringanan di dalam masalah al-wilayah.” Dalam sebuah riwayat disebutkan,“Islam dibangun atas: Bersaksi bahwa tidak ada tuhan
selain Allah dan bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan
shalat, membayar zakat, puasa di bulan ramadhan, melaksanakan ibadah haji ke
baitullah dan wilayah (pemerintahan) Ali bin Abi Thalib.” (Ushul Al-Kafi,
jilid 2 hal. 21).
Bahkan pada kenyataannya mereka
(orang-orang Syi’ah) tidak hanya berpegang kepada masalah al-wilayah
(pemerintahan Ali) saja. Justru mereka melampauinya sampai ke taraf uluhiyah (ketuhanan). Akhirnya mereka menganggap Ahlu Sunnah bukanlah
orang-orang yang beriman kepada Tuhan yang diimani oleh Syi’ah. Inilah salah
satu titik perbedaan yang paling mendasar. Perbedaan lainnya, karena sudah
diketahui bahwa Syi’ah itu mengadopsi madzhab Mu’tazilah di dalam masalah
ilahiyyat (teologi). Orang-orang Mu’tazilah adalah kelompok yang telah
menghilangkan sifat-sifat yang wajib disematkan kepada Allah, seperti sifat:
ilmu (mengetahui), iradah (berkehendak), qudrah (berkuasa) dan sifat-sifat yang
lainnya. Orang-orang Mu’tazilah berkata, “Allah itu Dzat-Nya adalah Maha Tahu, akan
tetapi Allah SWT tidak mempunyai sifat yang namanya ilmu. Allah SWT itu
Dzat-Nya adalah Maha Kuasa, akan tetapi Dia tidak mempunyai sifat yang namanya
qudrah (berkuasa), dan lain-lainnya.
Telah terjadi pertentangan yang sengit di
antara Mu’tazilah dengan Ahlu Sunnah di dalam permasalahan ini. Ahlu Sunnah
menamai Mu’tazilah dengan sebutan Al-Mu’aththilah, yaitu orang-orang yang telah menafikan sifat-sifat Allah SWT.
Sedangkan Mu’tazilah telah menuduh Ahlu Sunnah yang berwujud dalam madzhab
Asya’irah dan Maturidiyyah di zaman mereka bahwa mereka (Ahlu Sunnah) itu
adalah orang-orang yang telah menetapkan adanya berbagai hal yang qadim bersama
Dzat Allah SWT!
Semua Ahlu Sunnah telah menganggap
Mu’tazilah sebagai kelompok yang telah mengada-ada di dalam agama Islam
(bid’ah) di dalam masalah akidah. Sedangkan setiap bid’ah adalah kesesatan dan
setiap kesesatan adalah di neraka. Di antara sesuatu yang telah disepakati
adalah: Bid’ah ucapan lebih berat (dosanya) daripada bid’ah perbuatan. Bid’ah
akidah lebih berat daripada bid’ah perbuatan. Sedangkan pelaku bid’ah dianggap
sebagai orang fasiq. Fasiqnya hanya sebatas fasiq takwil, bukan dianggap
sebagai fasiq tingkah laku dan perbuatan.
Hal ini bermakna bahwa Syi’ah di dalam
pandangan Ahlu Sunnah adalah sebagai para pelaku bid’ah di dalam masalah
akidah. Akan tetapi pandangan umum Ahlu Sunnah adalah bahwa Ahlu Sunnah tidak
mengafirkan para pelaku bid’ah di dalam masalah akidah. Ahlu Sunnah tidak
mengafirkan Mu’tazilah, Murji`ah dan tidak juga Jabariyah. Bahkan Ahlu Sunnah
tidak mengafirkan Khawarij. Padahal ada sebuah hadits yang shahih bahwasanya
Khawarij adalah orang-orang yang keluar dari agama Islam seperti anak panah
yang lepas (melesat) dari busurnya. Akan tetapi Ahlu Sunnah tetap menganggap
mereka masih berada di dalam Islam selama mereka masih mengatakan tidak ada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah dan mereka masih
melaksanakan shalat ke arah kiblat.
Akan tetapi ada di antara para ulama Ahlu
Sunnah yang memaafkan para mujtahid jika mereka salah. Baik salah dalam masalah
ushuluddin maupun di dalam masalah furu (cabang), di dalam masalah akidah
maupun di dalam masalah perbuatan selama mereka masih layak berijtihad dan
selama ia masih mengerahkan seluruh kemampuannya di dalam mencari kebenaran,
namun dia belum mendapatkan bimbingan ke arah itu. Inilah kemampuannya dan
Allah SWT tidak pernah membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Justru
menurut pandangan Ahlu Sunnah bahwa seorang mujtahid akan mendapatkan satu
pahala atas usahanya. Sedangkan Allah SWT tidak pernah menyia-nyiakan pahala
bagi siapa saja yang telah beramal saleh. Inilah pendapat Ibnu Taimiyyah dan
para ulama yang sepakat dengan beliau.
Akan tetapi Syi’ah -terutama dari kalangan
ekstrimnya- mereka itu tidak saja membid’ahkan Ahlu Sunnah atau menganggap
fasik Ahlu Sunnah, akan tetapi mereka jelas-jelas mengkafirkan Ahlu Sunnah dan
menganggap Ahlu Sunnah telah murtad dari Islam!
Ni’matullah Al-Jazairi (wafat 1212 H) di
dalam kitab Al-Anwar
An-Nu’maniyyah menulis
tentang Ahlu Sunnah wal Jama’ah,“Sesungguhnya kami tidak bisa bertemu dengan mereka (Ahlu Sunnah)
di dalam satu tuhan dan tidak dalam satu nabi dan satu imam. Hal ini
dikarenakan mereka (Ahlu Sunnah) berkata, “Sesungguhnya Rabb mereka adalah yang
Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya. Akan tetapi kami
tidak mengatakan dengan tuhan ini dan tidak juga dengan nabi itu. Akan tetapi
kami mengatakan, “Sesungguhnya tuhan yang khalifahnya (yang benar: Khalifah
nabinya) adalah Abu Bakar adalah bukan tuhan kami dan nabi itu juga bukan nabi
kami.” (Al-Anwar An-Nu’maniyah jilid 2 hal. 279, cetakan Yayasan
Al-A’lami Beirut Libanon).
Apabila mayoritas Ahlu Sunnah di dalam
akidah memakai mazhab Asya’irah sebagaimana maklum, dengan mengikuti Imam Abul
Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) yang sangat terkenal, maka sesungguhnya madzhab
Asya’irah di dalam pandangan orang-orang Syi’ah sebagaimana yang digambarkan
oleh Syaikh Al-Jazairi bahwa Asy’ari tidak mengenal tuhan secara benar. Karena
dia dan para pengikutnya mengenal tuhan dengan cara yang salah. Oleh karena
itu, tidak ada perbedaannya antara pemahaman mereka (Asy’ariyyah) dengan
pemahaman orang-orang kafir. Karena Asy’ari dan para pengikutnya figur paling
buruk dalam masalah mengenal Sang Pencipta, dibandingkan dengan orang-orang
musyrik dan nashara. Kami (orang-orang Syi’ah) telah benar-benar jauh dan
berpisah dari mereka (pengikut Asy’ari) di dalam masalah rububiyyah. Karena
tuhan kami (Syi’ah) adalah Dzat yang mempunyai sifat azali sedangkan rabb
mereka (Ahlu Sunnah) adalah rabb yang sifat azali-Nya ada delapan buah!
Yang dimaksud oleh orang-orang Syi’ah
dengan sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Asya’irah dan Maturidiyyah
adalah sebagai berikut: al-ilmu, al-iradah, al-qudrah, al-hayat, as-sam’u,
al-bashar, al-kalam. Kemudian ditambah oleh Al-Maturidiyah satu sifat yaitu
sifat at-takwin (membentuk dan mencipta). Adapun bantahan Al-Jazairi di sini
adalah sebagaimana yang telah dijawab oleh Mu’tazilah dahulu. Orang-orang
Mu’tazilah mengatakan: Sesungguhnya orang-orang Nashara telah kafir karena
mereka telah menetapkan tiga keazalian. Bagaimana halnya dengan orang yang
telah menetapkan ada delapan keazalian? Akan tetapi pemaparan dan bantahan atas
perkataan ini tidak bisa dijelaskan di sini karena masuk ke dalam pembahasan
ilmu kalam.


Pendekatan Antar Madzhab atau Antar Golongan?
Di antara siapa kah pendekatan yang
diharapkan itu akan terjadi?
Seluruh peserta muktamar taqrib madzhab
dan putusannya mengatakan bahwa pendekatan itu (terjadi) antar madzhab di dalam
Islam.
Menurut saya bahwa maksud dari ungkapan
ini tidak pas. Karena kalimat madzhab telah menjadi istilah yang mapan bagi
madzhab fikih Sunni yang empat yang sudah dikenal, yaitu Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyyah dan Hanbaliyah. Kemudian ditambah dengan madzhab Zhahiriyah juga
Zaidiyyah, Ja’fariyyah dan Ibadhiyyah.
Adapun perbedaan di antara madzhab-madzhab
ini hanya berkisar di dalam masalah furu’ dan amaliah yang tidak sampai
menyentuh permasalahan akidah, pokok-pokok keimanan dan ushuluddin (pokok-pokok
agama).
Tidak ada seorang pun dari ulama umat ini
yang membuat keributan hanya gara-gara perbedaan fikih furu’. Karena para
sahabat saja di antara mereka pernah terjadi perbedaan, demikian juga di
kalangan para tabiin. Demikian juga para imam yang menjadi rujukan pun berbeda
pendapat di antara mereka. Akan tetapi setiap dari mereka tidak menyalahkan
yang lainnya. Yang berbeda itu hanya pendapat mereka saja, akan tetapi hati
mereka menyatu. Para imam (imam madzhab) saling bertukaran mengimami shalat.
Sehingga di antara mereka itu ada yang berkata,“Pendapat saya ini benar, tapi bisa saja salah dan
pendapat yang lain salah, tapi bisa saja benar.”Bahkan ada kelompok ulama yang membenarkan
pendapat seluruh para mujtahid di dalam masalah furu’. Mereka berpendapat bahwa
bisa saja pendapat yang benar itu ada beberapa macam. Mereka ini yang di dalam
ilmu ushul fikih disebut dengan kelompok “Al-Mushowwibah”.
Saya sendiri pernah shalat dan di belakang
saya shalat beberapa orang ulama Syi’ah. Hal ini terjadi pada saat saya
berkunjung ke Iran pada tahun 1998. Demikian juga saya pernah shalat di
belakang mereka (orang-orang Syi’ah) di masjid mereka di Madrasah Imam Khumaini
di Qum pada saat shalat berjamaah.
Maka perbedaan dalam masalah furu, fikih
atau ibadah adalah bukan faktor yang berpengaruh di dalam hubungan antara Sunni
dan Syi’ah. Sangat penting digarisbawahi bahwa perbedaan antara Sunni dan
Syi’ah adalah perbedaan di dalam masalah akidah seperti yang telah saya
jelaskan sebelumnya di dalam masalah pendekatan madzhab. Perbedaan dalam akidah
inilah yang telah menjadi penyebab tumbuhnya berbagai macam golongan, seperti
Mu’tazilah, Jabariyyah, Murji`ah, Syi’ah, Khawarij, Asy’ariyyah, Maturidiyyah,
Salafiyyah dan lain-lainnya.
Oleh karena itu, jika memungkinkan,
aktifitas itu lebih tepat disebut sebagai pendekatan antar golongan/firqah
(akidah) dan bukan pendekatan antar madzhab (fikih). Karena fikih tidak
memerlukan pendekatan. Pun jika kita permudah istilah dengan menyatakan
madzhab-madzhab, maka yang kita maksudkan disini adalah madzhab-madzhab akidah
dan bukan mazhab-mazhab fikih.
Apabila dasar penamaan firqah/golongan
adalah berdasarkan hadits masyhur yang menyatakan tentang perpecahan umat Islam
menjadi tujuh puluh tiga golongan yang kesemuanya masuk neraka kecuali hanya
satu golongan saja, maka menurut saya hadits tersebut tidak kuat, baik
dalam sanad (rangkaian periwayat hadits)
maupun matannya (isi hadits). Saya telah menjelaskan
hal ini di dalam buku saya yang berjudul,“Kebangkitan Islam di Antara Perbedaan yang dibolehkan dan
Perpecahan yang Terlarang.” Saya telah menjelaskan seluruh pendapat para ulama terhadap
para perawi hadits tersebut. Sebagian ulama tidak menerima hadits tersebut. Di
antara mereka itu ada Ibnu Hazm, Ibnu Az-Zubair, Ibnu Al-Wazir, Asy-Syaukani
dan ulama-ulama lainnya.
Imam Ibnu Hazm telah berkata, “Sesungguhnya kata-kata tambahan ‘semuanya di neraka
kecuali hanya satu golongan’ adalah palsu.” Imam Ibnu Al-Wazir berkata, “Hati-hati dengan kata-kata tambahan ‘semuanya di
neraka kecuali hanya satu golongan’ karena kata-kata tersebut disusupkan oleh
orang-orang mulhid.”
Akan tetapi hadits tersebut sudah menyebar
dan dijadikan sebagai dasar di dalam buku-buku firqah dan kitab “Al-Farqu bayna Al-Firaq” (Perbedaan di antara Firqah-firqah).
Di antara mata pelajaran yang pernah kami pelajari di fakultas Ushuluddin
adalah buku yang berjudul, “Sejarah Sekte-sekte dalam Islam”. Ada banyak orang yang ingin mencoba
menghitung golongan yang berjumlah tujuh puluh tiga golongan ini sampai
bersusah payah.
Yang penting dicatat, bahwa hadits
tersebut secara jelas menyandarkan seluruh golongan itu –sampai yang menyimpang
sekalipun- kepada umat Islam ini, dengan sabda nabi “umatku ini akan terpecah…” Oleh karena itu, tidak diperbolehkan
untuk mencap kafir golongan-golongan yang ada ini, kecuali dengan dalil-dalil
syar’i yang qath’i.
Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa
konsentrasi (seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang aktif dalam
pendekatan itu) untuk mengajarkan fikih perbandingan di beberapa universitas
Islam bukankah sebuah cara untuk menyelesaikan problem perpecahan atau
perbedaan sekte, dan bukan pula mata kuliah tersebut yang bisa mendorong kepada
pendekatan yang hakiki baik dalam bentuk dekoratif atau hanya sebatas ucapan
saja. Justru hal ini sangat jauh dari yang diharapkan sebagaimana yang akan
kita lihat nanti.
Makna Pendekatan yang Kami Inginkan
Apa yang dimaksud dengan kalimat
‘pendekatan’ ketika kita mengucapkannya?
Apakah yang dimaksud dengan kalimat
tersebut yaitu setiap jemaah wajib menanggalkan seluruh keyakinannya yang
paling pokok dan bersikap mengalah untuk mendapatkan simpati dari golongan yang
berbeda dengannya?
Atau dengan ungkapan lainnya yaitu orang
Syi’ah bersikap mengalah dari ajaran, dan akidah Syi’ahnya demi menjaga
perasaan Ahlu Sunnah?! Atau seorang Sunni bersikap mengalah dari keyakinannya,
pemikiran dan pokok-pokok akidahnya agar orang-orang Syi’ah mau mendekatinya
dan mau duduk di sampingnya?!



Saya yakin bahwa hal ini belum pernah
terbetik di dalam pikiran salah seorang dari dua golongan tersebut, baik Sunni
maupun Syi’ah. Karena masing-masing dari keduanya (Sunni dan Syi’ah) tidak akan
bersikap mengalah dari akidah mereka demi tujuan apa pun. Karena yang namanya
akidah sebuah agama bisa membuat seseorang rela berkorban di jalannya, baik
dengan jiwanya, hartanya, keluarganya, negaranya dan apa saja yang dia sayangi.
Pendekatan yang diharapkan adalah
pendekatan di antara para penganut keya-kinan, madzhab atau golongan antara
satu dengan yang lainnya dengan menanamkan sikap toleransi di antara mereka dan
memperbanyak titik persamaan di antara mereka jika memungkinkan. Di dalam
buku Kebangkitan
Islam di Antara Perbedaan yang Dibolehkan dan Perpecahan yang Terlarang, saya telah menyusun beberapa kaidah-kaidah
pendekatan di antara orang-orang yang berbeda faham. Sama dengan yang telah
saya susun di dalam buku yang lain berjudul, Prinsip-prinsip di Dalam Dialog dan Pendekatan
Antara Aliran dan Madzhab di Dalam Islam, ada sepuluh prinsip atau kaidah yang bisa
jadi acuan untuk mendekatkan dan mendamaikan di antara golongan.
Di antara yang telah saya katakan di
pembukaan buku ini bahwa yang dimaksud dengan pendekatan itu bukan sikap
mengalah seorang Sunni dari faham Sunninya yang kemudian dia masuk ke dalam
madzhab Syi’ah dan bukan pula seorang penganut Syi’ah bersikap mengalah dari
faham Syi’ahnya dan kemudian dia masuk ke dalam faham Sunni. Karena bukan hal
yang mudah bagi seorang penganut madzhab untuk melepaskan madzhabnya hanya
karena makalah yang dia baca, khutbah yang didengarnya, hasil penelitian atau
seminar yang dia hadiri. Hal ini dikarenakan madzhab telah ada sejak dahulu
kala, seorang anak mewarisinya dari orang tua mereka, cucu mewarisinya dari
kakeknya, generasi sekarang mewarisinya dari generasi sebelumnya, anak kecil
tumbuh dewasa dengan madzhab tersebut dan orang dewasa memegang madzhab
tersebut sampai dia tua.
Sesungguhnya yang diharapkan dari adanya
dialog dan pendekatan di sini adalah membersihkan udara dari hal-hal yang
mengotorinya yang bisa menyebabkan perpecahan, buruk sangka dan hilangnya
kepercayaan di antara kedua golongan yang bisa menimbulkan kehancuran umat
-jika terus-menerus terjadi- sebagaimana yang tercantum di dalam sebuah hadits
bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kehancuran zatul bain itu adalah alat cukur. Bukan untuk mencukur
rambut, akan tetapi untuk mencukur agama.” (HR Ahmad di dalam Al-Musnad, hadits no. 1412).
Saya sendiri tidak bisa menilai, baik
Sunni maupun Syi’ah ada yang suka mencukur agamanya sebagaimana pisau cukur mencukur
rambut. Justru masing-masing dari kedunya itu ingin agar agamanya tetap
terjaga.
Pendekatan yang Diharapkan: Bukan yang Berdasar
kepada Ajaran Taqiyyah
Sesungguhnya pendekatan yang diharapkan
adalah bukan yang berdiri di atas dasar Taqiyyah seperti yang ditetapkan oleh
saudara-saudara kita dari kalangan Syi’ah. Karena jika dasar Taqiyyah ini
dijadikan sebagai dasar di dalam bermuamalah di antara para dai (muballigh
dll), tidak akan menciptakan kepercayaan dan ketenangan di antara sesama
mereka. Terutama untuk Ahlu Sunnah. Karena sangat mungkin apa yang kebetulan
saya alami adalah karena Taqiyyah! Sebab Taqiyyah –dalam pandangan Syi’ah-
membolehkan seseorang untuk menampakkan sesuatu yang berbeda dari yang
disembunyikannya, atau engkau menampakkan sesuatu tetapi engkau tidak beriman
sama sekali terhadap hal yang engkau tampakkan tersebut.
Dasar adanya taqiyyah adalah diambil dari
Al-Qur`an Al-Karim dari firman Allah SWT, “Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang
kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat
demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena
(siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya dan hanya kepada Allah tempat
kembali,” (QS Ali
Imran [03]: 28). Akan tetapi, Al-Qur`an menyebutkan Taqiyyah dalam konteks
menghadapi orang-orang kafir dan bukan terhadap sesama kaum muslimin! (kecuali
jika benar Syi’ah telah menganggap Ahlu Sunnah sebagai bukan muslim, alias
kafir)
Allah SWT telah menjadikan Taqiyyah ini
sebagai keringanan dengan alasan darurat, “kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti
dari mereka.” Sesuatu
yang dibolehkan karena faktor darurat dan atas dasar pengecualian, maka hukumnya
tidak boleh dijadikan sebagai dasar atau kaidah yang baku dan tetap untuk
sebuah hukum syara’, pendidikan atau tingkah laku. Sebagaimana yang tercantum
di dalam firman Allah SWT, “kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa),”(QS An-Nahl [16]: 106).
Pendekatan yang Diharapkan: Pendekatan yang Menjauhi
Klaim Takfir
Oleh karena itu, kita tidak boleh menyeru
kepada pendekatan atau penggabungan -apalagi persatuan- sementara sebagian kita
masih ada yang mengkafirkan golongan lain dan kitab-kitabnya mencantumkan hal
itu dengan sangat jelas. Bagaimana mungkin saya akan meletakkan tangan saya di
atas tanganmu dan saya menganggap kamu sebagai saudara saya dan engkau pun
menganggap saya sebagai saudaramu, padahal di dalam keyakinan hatimu engkau
yakin bahwa antara saya dengan kamu itu tidak ada hubungan apa-apa dan faktor
yang menyatukan kita pun hanya khayalan. Adapun faktor yang berbeda di antara
kita sangatlah banyak dan besar sekali. Sesungguhnya orang musyrik, Yahudi dan
Nashrani lebih dekat hubungan mereka denganmu daripada dengan saya?!
Sesungguhnya faham mengkafirkan orang lain
adalah faham yang sangat berbahaya dan jauh panggang dari pendekatan.
Sesungguhnya orang yang mengkafirkan seseorang itu menjadikan dirinya keluar
dari Islam dan tercabut dari umat. Bagaimana mungkin dia (orang yang
dikafirkan) akan mendekatinya?
Faham mengafirkan orang lain sudah ada di
kedua belah pihak (Sunni dan Syi’ah) dan bukan hanya ada di Ahlu Sunnah saja
sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Syi’ah. Justru orang-orang Syi’ah
sangat keterlaluan dalam hal mengafirkan golongan lain melebihi Ahlu Sunnah.
Kami telah menyebutkan contohnya sebelum ini. Ada juga contoh-contoh yang lebih
buruk lagi, terutama yang berkaitan dengan penolakan imamah dan kemaksuman
imam.


Sungguh menarik, orang yang tidak pernah
sama sekali mengkafirkan golongan lain adalah Ali bin Abi Thalib RA. Beliau
tidak pernah mengkafirkan orang-orang yang ikut peristiwa Jamal (Perang Unta),
dan juga beliau tidak mengkafirkan orang-orang yang ikut perang Shiffin yang
mana mereka itu memerangi Ali dan membencinya. Bahkan beliau juga tidak
mengkafirkan Khawarij yang telah mengkafirkan dirinya dan oleh sebab itu mereka
membunuh Ali sebagai syahid. Ali pernah ditanya tentang Khawarij,“Apakah mereka itu orang-orang kafir?” Ali menjawab, “Mereka lari dari kekufuran”. Beliau ditanya lagi, “Apakah mereka masuk ke dalam orang-orang munafiq?” Ali menjawab, “Orang-orang munafiq itu tidak pernah mengingat
Allah SWT kecuali hanya sedikit”. Ali ditanya, “Lantas siapakah mereka itu?” Ali menjawab,“Mereka adalah saudara-saudara kita kemarin yang telah berbuat
berlebihan hari ini terhadap kami”. Ali tidak lebih hanya mengatakan bahwa para penentangnya
melakukan bughat. Alangkah jelas, jujur dan adilnya Ali
bin Abi Thalib. Harus seperti ini lah sikap seorang mukmin apabila dia marah,
yaitu kemarahannya tidak membuat dirinya keluar dari kebenaran dan apabila
rela, kerelaannya tidak memasukkan dirinya ke dalam kebatilan!
Pendekatan yang Diharapkan: Pendekatan yang Mengacu
kepada Fahaman Moden
Semestinya kita mengambil slogan para
pengusung faham moderat dari kedua belah pihak. Seperti faham yang dicetuskan
ulama rujukan Syi’ah yang masyhur yaitu Sayyid Muhammad Husein Fadhlullah di
kitab tafsirnya dan di beberapa bukunya yang lain dimana beliau membantah
riwayat-riwayat dusta tentang para sahabat, juga di dalam tafsir Al-Qur`an,
yang ia bantah dengan ilmu manthiq ilmiyah dan tegas yang bersumber kepada
sumber yang benar dan akal yang jelas.
Kami sangat prihatin ketika kami menemukan
ada sebagian orang-orang Syi’ah yang secara khusus membantahnya dan menjelekkan
pendapat-pendapatnya dan mereka menuduhnya dengan tuduhan yang tidak pantas,
sampai ada sebuah situs di internet yaitu http://www.dholal.net memberikan komentar atas
makalah-makalahnya juga pendapat-pendapat Syaikh Fadhlullah penuh dengan
penistaan, bantahan dan penolakan.
Contoh riwayat dusta yang dibantah oleh
Syaikh Fadhlullah adalah bahwa Fathimah Az-Zahra RA meninggal dunia sebagai
syahid karena dibunuh. Adapun yang membunuhnya adalah Umar bin Khaththab. Umar
telah menyeretnya ke pintu rumah (pintu rumah Fathimah) sehingga punggung
Fathimah tertusuk paku. Maka Umar lah yang menjadi penyebab kematian Fathimah.
Pintu yang manakah yang terdapat pakunya? Apakah pintu di zaman mereka (Umar
dan para sahabat yang lainnya) seperti ini (dipaku)? Yang benar bahwa pintu
zaman para sahabat adalah hanya sebatas pembatas kain yang dijulurkan. Lantas,
bagaimana mungkin suaminya Fathimah yaitu Ali hanya diam saja atas targedi
pembunuhan ini? Padahal beliau adalah sosok penunggang kuda yang pemberani dan
pedang Islam yang sangat tajam. Bahkan, bagaimana mungkin setelah itu Umar
menjadi menantu Ali? Karena Ali menikahkan putrinya yang bernama Ummu Kultsum
kepada Umar yang dia (Ummu Kultsum) itu adalah putri Fathimah juga!
Saya sangat gembira pada saat ini, sebab
saya bisa menuliskan kata-kata mutiara yang telah diucapkan oleh tokoh Syi’ah
yaitu Ustadz Kamil Muruwwah, pendiri surat kabar Al-Hayat di Libanon. Beliau
pernah berkunjung ke tempat kami di Qatar di awal-awal tahun tujuh puluhan yang
lalu. Beliau bertemu dengan saya dan beberapa ulama dan da’i di Qatar. Kami
membicarakan masalah perbedaan di antara Sunni dan Syi’ah dan kemungkinan
adanya pendekatan di antara dua golongan: Apakah pendekatan ini bisa terjadi
ataukah sesuatu yang mustahil terjadi? Juga tentang pengalamannya di bidang
jurnalistik, politik, dan berbaurnya kedua golongan ini?
Ternyata jawaban orang Syi’ah ini penuh
dengan kata-kata bijak. Dia berkata, “Kita adalah umat yang bersatu pada zaman Rasulullah SAW. Tidak
ada Sunni dan tidak ada juga Syi’ah atau yang lainnya sampai Allah SWT
menurunkan firman-Nya, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu,
dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai
agamamu,” (QS
Al-Maidah [05]: 3). Kemudian
terjadilah perbedaan pendapat setelah turun ayat ini. Maksudnya setelah agama
ini sempurna, dan nikmat Allah SWT telah sempurna diberikan kepada umat Islam,
barulah terjadi perbedaan pendapat.”
Kami berbeda pendapat setelah itu. Yaitu
kami berbeda pendapat di dalam masalah sejarah; siapa yang lebih berhak dari
siapa? (siapa yang lebih berhak atas kekhalifahan, Ali atau Abu Bakar,), dan
lain-lainnya. Semua ini adalah masalah sejarah masa lalu yang kemudian membuat
kita berbeda pendapat dan membuat kita bercerai-berai. Hanya Al-Qur`an dan
ajaran Islam yang agung lah yang menyatukan kita yang kita yakini bahwa Allah
SWT telah menyempurnakannya untuk kita. Allah SWT menyempurnakan nikmat-Nya dan
meridhai Islam sebagai agama untuk kita.”
Inilah ucapan ulama Syi’ah tersebut.
Ucapannya sungguh benar! Karena seluruh perbedaan pendapat di antara kita
terjadi setelah agama Islam ini sempurna dan Al-Qur`an tidak turun lagi.
Perbedaan ini hanya berkisar di dalam masalah sejarah yang kita sendiri tidak
menyaksikannya dan tidak ikut serta di dalamnya. Cukup lah bagi kami firman
Allah SWT, “Itulah
umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa
yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban)
tentang apa yang dahulu mereka kerjakan,” (QS Al-Baqarah [02]: 134).
Agar Usaha Pendekatan Ini Berbuah Manis
Di sini saya ingin menjelaskan dengan
sejelas-jelasnya bahwa taqrib (usaha
pendekatan) ini -agar membuahkan hasil- yaitu harus dilakukan dengan
keterusterangan dan terbuka, huruf-hurufnya diberi harakat, tangan diletakkan
(diusapkan) ke atas luka yang masih berdarah, membuka kebenaran yang
ditutup-tutupi yang bisa merapuhkan pondasi pendekatan ini dan juga membuang
seluruh hambatan di antara kedua kelompok yang sulit diatasi.
Saya sendiri telah membahas masalah ini di
dalam buku saya yang berjudul, Prinsip-prinsip di Dalam Dialog dan Pendekatan Antara Aliran dan
Madzhab di Dalam Islam yang membuat saya harus membahas kembali poin-poin yang berkaitan
dengan masalah ini. Walaupun saya sendiri sebenarnya tidak suka dengan
pengulangan. Akan tetapi, metode pengulangan bisa menguatkan pemikiran (jadi
hafal), oleh kerana itu tidak apa-apa.
Di antara prinsip yang Dr. Yusof Qardhawi
tekankan itu adalah:
1. Masing-masing kita (Sunni dan Syi’ah)
tidak saling mengkafirkan. Karena mengkafirkan seorang muslim adalah dosa
besar.
Tidak boleh seorang muslim bersikap
berlebihan di dalam masalah ini, kecuali jika sudah jelas kekufurannya dan ada
bukti-buktinya (dalil-dalil pendukungnya) dari Allah SWT. Hukum asalnya bahwa
siapa saja yang telah mengucapkan tidak ada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad
itu adalah utusan-Nya, maka dia itu adalah muslim. Kalimat ini telah melindungi
darah dan hartanya dan Allah SWT yang akan menghisabnya kelak, sebagaimana
telah tercantum di dalam sebuah hadits. Barangsiapa yang telah masuk Islam
dengan yakin, maka dia tidak akan murtad kecuali dengan yakin pula. Sedangkan
keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh karaguan. Bagaimana mungkin seorang
muslim mengafirkan sesama muslim? Padahal dia terlihat shalat, berpuasa,
mengeluarkan zakat, menunaikan haji, membaca Al-Qur`an dan berzikir kepada
Allah SWT. Bukankah semua ini menjadi tanda atas keislamannya?
Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri bahwa
ada orang-orang Ahlu Sunnah yang suka mengkafirkan orang lain. Mereka
mengafirkan orang-orang Syi’ah dan mencap mereka murtad karena alasan-alasan
yang mereka miliki. Akan tetapi mereka (Ahlu Sunnah yang suka mengkafirkan) itu
tidak hanya mengafirkan orang-orang Syi’ah saja. Mereka juga mengkafirkan
orang-orang Ahlu Sunnah yang berseberangan faham dengan mereka, termasuk
mengkafirkan para ulamanya. Bisa saja jilatan api takfir mereka ini mengena
kepada diri saya atau mengena kepada saudara-saudara saya. Akan tetapi, ada
juga orang-orang yang dikenal suka mengkafirkan orang lain dari kalangan
Syi’ah. Mereka mengkafirkan orang lain dengan mengacu kepada kitab-kitab
rujukan mereka. Sebagian besar dari mereka itu mengkafirkan Ahlu Sunnah, baik
secara umum maupun secara rinci. Sebagian dari mereka ada yang mengganggap
najis Ahlu Sunnah dan menganggap lebih kufur daripada orang-orang musyrik,
orang-orang Yahudi dan Nashrani. Oleh karena itu, kepada orang-orang Syi’ah
yang menginginkan pendekatan ini harus menolak faham saling mengkafirkan ini
dan ulama Syi’ah yang suka mengafirkan ini jangan dijadikan sebagai rujukan.
2. Harus membuang jauh-jauh faham Taqiyyah
yang merupakan faham utama orang-orang Syi’ah di dalam ajaran mereka.
Karena masuknya faham Taqiyyah di dalam
perjanjian yang besar ini bisa merontokkan kepercayaan atas semua yang
disampaikan dan disepakati. Karena bisa saja semua ini (dilakukan) dalam rangka
bertaqiyyah!
3. Di antara keterus terangan yang
diharapkan adalah kita mengakui fakta yang ada di muka bumi, seperti yang
sedang terjadi di Irak yaitu adanya gengster yang bernama “Para Pencabut
Nyawa”.
Dengan entengnya mereka membantai manusia.
Mereka membantai setiap orang yang bernama Umar atau Utsman! Mereka menyembelih
orang-orang di dalam rumah mereka sendiri. Mereka juga menculik orang-orang
dari keluarganya. Setelah itu, orang-orang melihat kepala orang-orang yang
diculik tersebut sudah tergeletak di jalan. Dan yang paling sadis yaitu
bekas-bekas penyiksaan masih terlihat jelas di tubuh korban yang bisa membuat
bulu kuduk merinding. Islam telah melarang kaum muslimin melakukan mutilasi
terhadap mayat orang-orang musyrik pada saat peperangan. Nah, bagaimana mungkin
kita membolehkan untuk memutilasi tubuh kaum muslimin yang masih hidup bukan
pada waktu perang?
4. Melarang orang-orang Syi’ah yang
berusaha untuk menerobos masyarakat Sunni dengan cara menyebarkan faham Syi’ah
ke tengah-tengah mereka.
Padahal aktifitas ini tidak dianjurkan
oleh para ulama dari kedua belah pihak. Misalnya Imam Muhammad Mahdi
Syamsuddin, Ketua Dewan Tertinggi Syi’ah di Libanon yang telah melemahkan faham
ini dan menolaknya dengan keras. Beliau juga telah menjelaskan sikapnya dengan
sangat jelas.
5. Menghentikan sikap media massa yang
menyerang Ahlu Sunnah dan mendakwahkan ajaran Syi’ah secara terang-terangan
lewat saluran-saluran udara yang sangat banyak dan didanai oleh Syi’ah.
Tidak ada keraguan lagi bahwa
saluran-saluran udara ini bertujuan untuk menjelekkan citra Islam Sunni yang
dianut oleh mayoritas kaum muslimin di dunia. Saluran ini sangat dikenal bagi
orang-orang yang suka menontonnya.
Pihak yang Menolak Pendekatan Madzhab
Di sini saya ingin menjelaskan sebuah
fakta kepada semuanya yang tidak boleh disembunyikan. Yaitu bahwa pada saat
ini, ide pendekatan madzhab ini banyak ditolak orang. Jadi ide ini sedang
diuji.
Sesungguhnya ide pendekatan madzhab, para
penganjur, kelompok-kelompok dan yayasan yang mengusung ide ini sedang
menghadapi ujian yang sangat berat pada saat ini, yang mungkin saja faham ini
akan hancur jika orang-orang yang beriman, baik pribadi maupun yayasan-yasannya
tidak menyadari hal ini.
Ide pendekatan madzhab ini sedang ditolak
masyarakat. Mungkin saja keberadaan ide ini akan diakui di alam nyata. Bisa
menunaikan tugasnya sesuai tugasnya. Bisa mengalahkan para pengusung perpecahan
sekte dan fanatisme jahiliyah yang bisa menyulut huru-hara dan menyebabkan
kebakaran (kekacauan). Atau bisa saja melemah, apinya padam, jemaahnya bercerai
berai sehingga hanya tinggal kenangan atau hanya menjadi buah bibir saja.
Seluruh kaum muslimin mengharapkan
realisasi beberapa poin dari para pengusung ide pendekatan madzhab ini, di
antaranya:
1. Berusaha untuk memadamkan huru-hara di Irak yang
memicu perang antar sekte (mazhab) yang tidak ada ujung pangkalnya. Huru-hara
ini susah dipadamkan ketika sudah berkobar.
Apinya membesar sehingga menyebar ke
mana-mana. Dalam perang ini tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.
Justru semua pihak menjadi pihak yang kalah, walaupun mereka menyangka bahwa
mereka lah pihak yang menang. Justru pemenangnya adalah Zionis (Israel),
beserta Amerika dan sekutunya yang memusuhi Islam, kaum muslimin dan
peradabannya. Padahal dahulunya bangsa Irak adalah bangsa yang bersatu di dalam
negara yang satu, di bawah pemerintahan yang sama sejak beberapa abad lamanya.
Satu kaum dan satu keluarga bahkan terdiri dari 2 golongan Sunni-Syi’ah,
sehingga terjadi hubungan perkawinan satu sama lain. Itu semua berjalan secara
alamiah.
Apa yang terjadi pada hari ini? Apakah
zaman pemerintahan sekuler sebelum ini lebih toleran dan tidak bersikap keras
dari pada partai-partai yang kini berafiliasi kepada agama? Contohnya Dewan
Tertinggi Revolusi, atau Kelompok Ash-Shadra (pimpinan Muqtadha Ash-Shadr),
Partai Dakwah dan perkumpulan-perkumpulan Syi’ah yang lainnya yang dituduh oleh
banyak orang bahwa mereka memiliki pasukan yang dipersenjatai yang dengan
mudahnya membantai semua orang yang bernama Abu Bakar, Umar, Utsman atau
Aisyah. Setiap orang yang bernama seperti ini, maka mereka akan langsung
dibunuh. Sebagian besar korbannya disiksa dengan beragam siksaan terlebih
dahulu sebelum mereka dibunuh. Padahal, dahulu para sahabat saja belum pernah
merasakan siksaan seperti ini dari orang-orang musyrik dan orang-orang kafir.



Sesungguhnya geng “Para Pencabut Nyawa”
membantai Ahlu Sunnah di dalam rumah mereka, di atas tempat tidur mereka atau
menculiknya dan kemudian kepala si korban dibuang di jalan-jalan atau di
rumah-rumah kosong. Mereka membantai Ahlu Sunnah setiap harinya mencapai
puluhan bahkan ratusan ribu korban. Kepada siapakah mereka (para pelaku
kejahatan ini) dinisbahkan? Mereka itu memakai seragam polis lengkap beserta
senjata kepolisian (pistol). Mereka juga memakai lencana kepolisian. Akan
tetapi tidak ada seorang pun yang menjegal upaya mereka ini. Sebagian besar
para korban yang ditawan oleh mereka dimasukkan ke dalam penjara milik
pemerintah!
2. Menghentikan program penyebaran madzhab di sebuah
negara yang dihuni oleh madzhab tertentu.
Inilah yang saya jelaskan di depan
saudara-saudara saya di Iran pada saat kunjungan saya ke sana tahun 1998. Hal
ini juga senada dengan yang diserukan oleh para ulama Syi’ah yang terhormat,
seperti Muhammad Mahdi Syamsuddin, Ketua Dewan Tertinggi Syi’ah di Libanon dan
Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah, ulama senior rujukan Syi’ah.
Saya juga telah menyampaikan kepada ulama
rujukan Syi’ah di Iran ketika saya berkunjung ke sana bahwasanya usaha
pendekatan ini tidak akan terjadi di antara kita (Sunni dan Syi’ah), jika
orang-orang Syi’ah berusaha untuk menyimpangkan akidah para pengikut kami (Ahlu
Sunnah). Atau kami (Ahlu Sunnah) berupaya untuk menyimpangkan akidah para
pengikut Syi’ah. Usaha ini bisa merusak hubungan baik di antara kita dan
menimbulkan ketakutan serta hilangnya kepercayaan di antara kita.
Kemudian, apa yang mendorong orang-orang
Syi’ah memaksakan diri ingin masuk ke dalam sebuah negara yang dihuni mayoritas
Sunni yang penduduknya bermadzhab Syafi’iyyah, Malikiyyah atau madzhab yang
lainnya sehingga secara perlahan-lahan sebagian penduduknya -dengan cara-cara
Syi’ah- masuk ke dalam ajaran Syi’ah? Saya bertanya kepada kalian, “Berapa banyak yang kalian targetkan? Sepuluh atau
dua puluh orang? Seratus atau dua ratus orang atau bahkan seribu atau dua ribu
orang?”Hal ini mungkin
saja terjadi dengan cara-cara yang sangat halus, sebagaimana yang dilakukan
oleh Misionaris Kristen ke negara-negara berpenduduk muslim.
Akan tetapi pada saat masyarakat Sunni
mengetahui hal ini, maka mereka akan membenci dan memusuhi kalian dan mereka
akan menumpahkan amarahnya kepada kalian. Mereka juga akan melaknat kalian dan
akan melontarkan tuduhan-tuduhan, baik yang benar maupun yang tidak benar.
Akhirnya, suasana di masyarakat penuh dengan kebencian dan pergolakan.
Pada saat itu, sahabat kami Ayatullah
At-Taskhiri juga hadir dan beliau menguatkan pendapat saya ini. Beliau
berkata, “Engkau
benar!” Kemudian
beliau menceritakan kisah yang terjadi pada saat Revolusi “Inqadz” di Sudan
yang menandakan sangat berbahaya jika faham Syi’ah disebarkan ke tengah-tengah
mayoritas Ahlu Sunnah.
Demikian juga sebaliknya, yaitu sangat
berbahaya jika faham Ahlu Sunnah disebarluaskan di negara-negara yang dihuni
mayoritas Syi’ah. Masih ada yang melakukan hal ini secara perorangan. Akan
tetapi jumlah mereka amat terbatas. Akan tetapi, ajaran Syi’ah ini
disebarluaskan terprogram dengan memakai strategi. Ada tim suksesnya,
misionarisnya, didukung dana, dilengkapi berbagai macam kegiatan, ada target
dan fasilitas lain yang mendukungnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi
setiap orang yang terkait peristiwa Revolusi Iran yang mana efeknya terasa
sampai ke luar Iran.
3. Ajaran yang berkaitan dengan mencerca para
sahabat. Saya telah sampaikan dan akan terus saya sampaikan bahwa kita tidak
mungkin akan saling mendekat dengan semboyan persatuan umat, selama perbuatan itu
diamalkan.
Sebab ada jurang menganga di antara kita
mengenai penilaian terhadap para sahabat. Terutama terhadap para sahabat yang
masuk ke dalam kategori orang-orang Muhajirin dan Anshar generasi pertama yang
telah Allah SWT ridhai dan mereka pun ridha terhadap Allah SWT, yang mana Allah
SWT telah menyiapkan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Hal ini telah dijelaskan di dalam
Al-Qur`an, “Dan
orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung,” (QS At-Taubah [09]: 100). Sampai
saat ini, ayat ini masih terus memuji para sahabat. Bahkan ayat ini diikuti
oleh ayat lain,“Orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik.” Tidak diragukan lagi bahwa di antara orang-orang yang
disebut sebagai“orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin,” yaitu
Abu Bakar, Umar, Utsman, Thalhah dan Zubair.
Tentang mereka ini lah Allah SWT
menurunkan firman-Nya, “Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka
terbunuh atau mati, sungguh, Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang
baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah pemberi rezeki yang terbaik.
Sungguh, Dia (Allah) pasti akan memasukkan mereka ke tempat masuk (surga) yang
mereka sukai. Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun,” (QS Al-Hajj [22]: 58-59). Juga
firman-Nya, “(Harta
rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir yang berhijrah yang terusir dari
kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia dari
Allah dan keridaan(-Nya) dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itulah orang-orang yang benar,” (QS Al-Hasyr [59]: 8).
Mereka itulah yang dicap sebagai
orang-orang yang benar menurut nash Al-Qur`an. Di dalam Al-Qur`an, Allah SWT
telah memerintahkan kepada kita agar kita selalu bersama orang-orang yang
benar,“Wahai orang-orang yang
beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang
benar,”(QS At-Taubah
[09]: 119).
Mereka itu adalah orang-orang yang
berbaiat kepada Nabi Muhammad SAW di bawah pohon untuk rela mati di jalan Allah
SWT. Maka turunlah firman Allah SWT, “Sungguh, Allah telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka
berjanji setia kepadamu (berbaiah semula kepada Nabi Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada
dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi
balasan dengan kemenangan yang dekat,” (QS Al-Fath [48]: 18).



Mereka juga adalah orang-orang yang ikut
berjihad di perang Badar, Uhud, Tabuk dan perang-perang yang lainnya. Mereka
juga adalah orang-orang yang mendapat persaksian dari Al-Qur`an, “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan
memberi pertolongan (kepada orang Muhajirin), mereka itulah orang yang
benar-benar beriman,” (QS
Al-Anfal [08]: 74).
Mereka juga adalah orang-orang dimaksudkan
oleh firman Allah SWT, “Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya
(Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung,” (QS Al-A’raf [07]: 157). Mereka
jugalah yang dimaksud oleh Al-Qur`an, “Dan jika mereka hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah
(menjadi pelindung) bagimu. Dialah yang memberikan kekuatan kepadamu dengan
pertolongan-Nya dan dengan (dukungan) orang-orang mukmin, dan Dia (Allah) yang
mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan
semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan
hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia
Mahaperkasa, Mahabijaksana,” (Al-Anfal [08]: 62-63).
Mereka itu para sahabat yang Allah SWT
dengan perantaraan mereka telah menolong Rasulullah SAW dan Allah SWT
memuliakan Islam melalui usaha mereka. Mereka itu adalah orang-orang yang
Al-Qur`an bersaksi kepada mereka semua bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan
di sisi Allah SWT, walaupun bagi orang-orang yang terdahulu ada karunia yang
mereka peroleh lebih dahulu. Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah SWT,“Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di
jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka
lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan
berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka
(balasan) yang lebih baik,” (QS Al-Hadid [57]: 10).
Sampai-sampai para sahabat yang bersikap
keliru di dalam peperangan, seperti sebagian sahabat yang melarikan diri dari
perang Uhud setelah mendengar berita bahwa Rasulullah SAW telah wafat, namun
Allah SWT telah memaafkan mereka. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara
kamu ketika terjadi pertemuan (pertempuran) antara dua pasukan itu,
sesungguhnya mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan
(dosa) yang telah mereka perbuat (pada masa lampau), tetapi Allah benar-benar
telah memaafkan mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun,” (QS Ali Imran [03]: 155). Mereka
juga, orang-orang yang diberi kesaksian oleh ayat terakhir dari surah Al-Fath
[48] yang berbunyi,“Muhammad
adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat
mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya,”(QS Al-Fath [48]: 29).
Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan
kesaksian dari Al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah SAW, juga mendapat
kesaksian dari sejarah yang belum pernah dicapai oleh orang lain sebelum
mereka.
Kita juga menyaksikan bahwa mereka lah
yang telah menghafalkan untuk kita kitab suci Al-Qur`an dan kemudian mereka
nukil untuk kita dalam keadaan utuh tanpa perubahan sedikitpun.
Mereka juga adalah orang-orang yang telah
meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah SAW untuk kita, juga sunnahnya, baik
ucapan, perbuatan maupun keputusan Rasulullah SAW. Mereka juga telah menukilkan
untuk kita semua sejarah Rasulullah SAW secara terperinci yang belum pernah
dilakukan bagi seorang nabi sebelum beliau atau bagi seorang yang mulia sebelum
beliau.
Mereka juga adalah orang-orang yang
berjasa menyampaikan agama Islam ke seluruh penjuru dunia dan melakukan
serangkaian futuh (penaklukan secara damai) dan mereka
berjuang dengan pedang mereka melawan orang-orang yang menjajah manusia.
Sehingga Allah SWT pun memberikan kemenangan untuk mereka ketika melawan Kisra
(Raja Persia) dan Kaisar (Raja Romawi) demi tersebarnya keadilan Allah SWT di
muka bumi.
Mereka itu adalah orang-orang yang paling
dekat dengan cahaya kenabian dan mereka pun belajar dari cahaya kenabian ini
(cahaya kenabian = Rasulullah SAW). Mereka mencontohnya di dalam seluruh
sunnahnya dan petunjuk-petunjuknya. Karena di dalam diri Rasulullah SAW bagi
mereka benar-benar ada suri tauladan yang baik. Mereka itu adalah sebaik-baik
murid bagi sebaik-baik guru. Oleh karena itu mereka disebut dengan Para Sahabat
Rasulullah SAW.
Mereka itu, menurut Al-Qur`an, As-Sunnah,
sejarah dan ilmu manthiq merupakan generasi yang paling baik yang pernah
dicatat oleh sejarah. Tidak diragukan lagi! Karena mereka adalah murid-murid
penghulu umat manusia, para sahabat adalah buah dari pendidikan beliau, dan
generasi yang beliau bina dengan tangannya sendiri. Barangsiapa yang mencela
mereka, maka seolah-olah telah mencela guru mereka, yaitu Rasulullah SAW.
Terlebih lagi mencela para sahabat yang sangat dekat dengan beliau. Imam Malik
telah berkata terhadap orang-orang yang mencela para sahabat, “Mereka itu sebenarnya ingin mencela Rasulullah SAW,
tapi mereka tidak bisa melakukannya. Akhirnya, mereka mencela para sahabat
Rasulullah SAW. Mereka mengatakan, ‘Dia itu orang jahat!’ karena jika orang
shalih, maka teman-temannya pun akan orang shalih pula!”
Oleh karena itu, tidak mungkin bisa
dilakukan pendekatan antara Sunni dan Syi’ah. Sebab ajaran kebencian ini masih
menjadi sikap mereka terhadap para sahabat Rasulullah SAW.
Memang benar, tidak mungkin kita akan
bersatu. Ketika saya mengatakan, “Abu Bakar semoga Allah SWT meridhainya. Umar semoga Allah SWT
meridhainya.” Sedangkan
engkau (Syi’ah) berkata, “Abu Bakar semoga Allah SWT melaknatnya. Umar semoga Allah SWT
melaknatnya.” Ingat,
alangkah besarnya jurang perbedaan antara kalimat ‘semoga Allah SWT meridhainya’ dengan kalimat ‘semoga Allah SWT melaknatnya’.
Tulisan ini saya akhiri dengan doa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami,
sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang,” (QS Al-Hasyr [59]: 10).
(Jawaban
Syaikh Yusuf Qardhawi yang Ketiga)
MENCACI PARA SAHABAT (menghina, mencaci-maki, mengkafirkan mereka)
Sumber: http://goo.gl/KIIjd


Pertanyaan :
Yang terhormat, Prof. Dr. Yusuf
Al-Qardhawi, hafizhahullah.
Assalaamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Kami mengenal Anda sebagai salah satu
ulama yang menyerukankan pendekatan di antara golongan dan madzhab di dalam
Islam. Terutama antara madzhab Sunni dengan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah.
Di sini kami ingin bertanya kepada Anda dengan sebuah pertanyaan yang sangat
jelas, yang mana kami sangat mengharapkan jawaban dari Anda dengan jawaban yang
jelas pula, tidak hanya berdiplomasi. Pertanyaannya yaitu: Apakah mungkin akan
terjadi pendekatan antara kedua golongan (Sunni dan Syi’ah), yang mana Syi’ah
sangat membenci para sahabat dan bahkan berani mencaci dan melaknat mereka,
terutama terhadap sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Zubair dan Thalhah.
Oleh karena itu, orang-orang Syi’ah tidak mau menamai anak mereka dengan
nama-nama ini, kecuali dibolehkan bagi seorang perempuan yang tidak mempunyai
anak dan yang lainnya.
Bagaimana hukum mencaci para sahabat yang
telah dijadikan Allah SWT sebagai penolong rasul dan agama-Nya? Apakah masuk ke
dalam kategori perbuatan kufur? Hal ini dikarenakan bertentangan dengan nash
Al-Qur`an yang telah memuji para sahabat.
Pembahasan ini merupakan sebab terjadinya
perpecahan di antara kami dengan mereka (orang-orang Syi’ah). Kami harapkan,
Anda bisa menerangkan kebenaran hal ini. Karena Anda telah mendapatkan anugerah
ilmu, kekuatan dan hujjah dari Allah SWT. Juga Anda menguasai sejarah dan
perkembangan masa kini, juga mempunyai keberanian di dalam menyampaikan
kebenaran.
Semoga Allah SWT senantiasa menambahkan
taufik-Nya kepada Anda.
Wassalaamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Hasan Ali Abdullah
Dari Kuwait
Jawapan :
Segala puji bagi Allah SWT. Semoga selawat
dan salam tercurah kepada Rasulullah SAW, amma ba’du :
Saya ucapkan terimakasih kepada Saudara
penanya atas pertanyaannya yang sangat penting. Pertanyaan ini menyangkut
masalah sensitif antara kami dengan Syi’ah. Karena inilah sikap mereka
(orang-orang Syi’ah) terhadap para sahabat. Mereka sangat membenci para sahabat
dan menuduh para sahabat dengan tuduhan keji. Topik ini merupakan topik yang
selalu hangat dibicarakan dalam acara-acara pendekatan madzhab antara Sunni
dengan Syi’ah. Topik ini merupakan salah satu dari 2 topik pembahasan yang
membuat ketegangan antara kami dengan Syi’ah sejak bulan Ramadhan 1429
H/September 2008. Saya pernah membahas topik ini dengan para ulama mereka
setiap kali kami bertemu dengan mereka. Semuanya ternyata setuju dengan pendapat
yang saya ajukan, namun realitas menyatakan sebaliknya. Saya tidak ingin
mengatakan jika mereka (para ulama Syi’ah) mengatakan hal ini adalah sebagai
bentuk Taqiyyah.
Akan tetapi saya melihat jika ajaran
Syi’ah yang dominan selalu melampaui seluruh ucapan ulama Syi’ah di berbagai
forum. Ini imbas dari sejarah yang panjang. Inilah wujud realitas yang dipenuhi
kebencian dan dendam kesumat.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa siapa
saja orangnya yang sudah mengenal madzhab Syi’ah, maka dengan mudah dia akan memahami
sikap Syi’ah terhadap para sahabat, terutama terhadap para sahabat senior.
Karena ajaran pokok madzhab Syi’ah yang
tidak bisa dipungkiri adalah bahwa Rasulullah SAW telah tegas menyatakan Ali
sebagai penggantinya (menjadi Khalifah) setelah beliau wafat. Akan tetapi para
sahabat telah bersekongkol untuk menyembunyikan kebenaran ini. Dengan sengaja,
mereka telah durhaka terhadap Rasulullah SAW. Para sahabat –menurut Syi’ah-
telah menyakiti Rasulullah SAW yang telah berwasiat untuk menjaga keluarganya dengan
baik.
Sedangkan kita ketahui bahwa para sahabat
senior adalah para sahabat yang paling dekat dengan beliau, paling dicintai,
paling banyak berinfaq, paling dipuji, sebab terdapat banyak hadits yang
menerangkan keutamaan mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa inilah buah
dari pembinaan dan pendidikan Rasulullah SAW. Juga sebagai hasil dari perhatian
serius beliau terhadap ucapan dan perbuatan para sahabatnya. Misalnya saja
penjelasan wahyu yang terdapat di dalam Al-Qur`an yang memuji seluruh perbuatan
baik para sahabat dan menegur seluruh perbuatan kurang baik dari mereka.
Tujuannya agar para sahabat introspeksi dan bertaubat kepada Allah SWT dan
memperbaiki perbuatan mereka. Sampai akhirnya mereka disebut, “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan
untuk manusia,” (QS
Ali Imran [03]: 110). Mereka akhirnya menjadi figur umat pertengahan yang Allah
SWT jadikan sebagai saksi atas seluruh umat manusia.
Mereka berhak mendapatkan gelar ini sampai
Al-Qur`an dari langit ketujuh turun, berisi pujian atas mereka. Yaitu
orang-orang yang ikut hijrah, mereka pergi meninggalkan rumah dan harta benda
mereka karena mencari keridhaan Allah SWT. Mereka menolong agama Allah dan
rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Juga orang-orang Anshar yang
menjadi penolong Rasulullah SAW dan dakwahnya dengan jiwa dan harta mereka.
Mereka lah yang disebutkan di dalam Al-Qur`an, “Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota
Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka
mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri,
meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran,
maka mereka itulah orang-orang yang beruntung,” (QS Al-Hasyr [59]: 9).
Inilah gambaran Ahlu Sunnah terhadap para
sahabat. Gambaran ini bersandar kepada Al-Qur`an, As-Sunnah yang shahih, dan
kenyataan sejarah yang sangat berbeda dengan gambaran yang diberikan oleh
orang-orang Syi’ah terhadap para sahabat. Gambaran ini sangat bertolak belakang
100% dengan gambaran orang-orang Syi’ah. Karena gambaran mereka tidak mengacu
kepada Al-Qur`an, As-Sunnah, sejarah dan fakta yang benar. Inilah gambaran yang
telah dijelaskan oleh syaikh kami, Abul Hasan Ali An-Nadawi di dalam makalah
pendeknya dengan judul, “Dua Gambaran yang Bertolak Belakang.”
Kesimpulan terhadap gambaran pertama dari
orang-orang Syi’ah, “Sesungguhnya
Rasulullah SAW tidak benar di dalam mendidik murud-muridnya. Beliau telah
ditipu oleh mereka, dan murid-murid beliau telah mengkhianati gurunya dengan
cara menyia-nyiakan wasiat kepemimpinan setelah beliau wafat. Mereka juga
berkhianat kepada keluarga beliau, menzalimi Ahlul Bait di dalam masalah
kepemimpinan dan membuat konspirasi terhadap Ahlul Bait”.
Kesimpulan terhadap gambaran kedua dari
Ahlu Sunnah,“Sesungguhnya
Rasulullah SAW adalah guru yang paling baik. Beliau memahami betul seluruh
murid-muridnya. Beliau sangat dekat dengan mereka dan memberikan sinyal
kepemimpinan setelah beliau wafat dengan cara penunjukan imam di dalam shalat
dan lain-lainnya.”
Masalah ini yang membuat kami Ahlu Sunnah
sering berbenturan dengan orang-orang Syi’ah. Kami Ahlu Sunnah mengatakan: Abu
Bakar dan Umar –semoga
Allah SWT meridhai keduanya-, sedangkan orang-orang Syi’ah mengatakan: Abu Bakar dan Umar –semoga Allah SWT melaknat keduanya-. Kami Ahlu Sunnah mengatakan: Aisyah –semoga Allah SWT meridhainya-, sedangkan orang-orang Syi’ah mengatakan:
Aisyah –semoga Allah SWT melaknatnya-. Padahal Aisyah ini telah Allah SWT
sucikan di dalam firman-Nya di dalam surah An-Nur.
Saya sangat sedih ketika terjadi peristiwa
di Beirut pada tahun 2008, pada saat pasukan Hizbulloh memasuki rumah-rumah
Ahlu Sunnah sambil berteriak, “Semoga Allah SWT melaknat tiga orang!” Tiga orang yang mereka maksudkan
adalah Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan. Cerita ini saya
dengar dari orang-orang yang bisa dipercaya, karena mereka menyaksikannya
sendiri.
Saya telah menulis di dalam buku saya yang
berjudul,“Dasar-Dasar di Dalam Dialog
dan Pendekatan di Antara Madzhab-madzhab dan Golongan di Dalam Islam.” Di dalam buku tersebut saya telah
membuat sepuluh kaidah dan dasar-dasar di dalam dialog atau pendekatan antara
dua madzhab. Di antaranya, menjauhi kata-kata provokasi. Yaitu, segala sesuatu
yang bisa memprovokasi orang lain, membuat orang lain marah dan perbuatan yang
menantang orang lain yang tidak bisa dibenarkan. Di antara bentuk-bentuk
provokasi itu adalah mencerca para sahabat.
Di sini saya ingin menukil sebagian yang
saya tuliskan di sana, karena mengandung ibrah dan pelajaran, juga mengandung
penjelasan yang kuat atas setiap para pembangkang dan orang-orang sombong.
Di antara yang sudah saya katakan, masalah
mencaci para sahabat oleh orang-orang Syi’ah tetap menjadi persoalan, terutama
menghina para sahabat senior. Yaitu para sahabat yang ketika Rasulullah SAW
wafat, beliau telah ridha terhadap mereka. Misalnya Khulafaur Rasyidin: Abu
Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman RA dan sepuluh orang sahabat yang telah
dijamin masuk surga, seperti Thalhah, Zubair, para sahabat yang ikut hijrah dan
pertama-tama beriman kepada Rasulullah SAW, yang mana saat itu orang-orang
Mekah mendustakan beliau. Justru para sahabat beriman di saat orang-orang
menolak beliau. Oleh karena itu, Allah SWT memuji mereka semuanya di dalam
Al-Qur`an. Allah SWT ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap Allah
SWT. Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah.
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang
agung,” (QS
At-Taubah [09]: 100).


Contoh lainnya, Aisyah binti Abu Bakar
yang telah disucikan oleh Allah SWT dari tujuh lapis langit. Mengenai Aisyah
ini telah turun sebuah ayat di dalam surat An-Nur [24] yang berbunyi,“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong
itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk
bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat
balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang
mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang
besar (pula),” (QS
An-Nur [24]: 11).
Demikian juga dengan para sahabat yang
lainnya yang levelnya di bawah para sahabat senior. Akan tetapi mereka sangat
gembira karena bisa menemani Rasulullah SAW. Mereka semua ini berada di dalam
kebaikan, sebagaiman firman Allah SWT, “Dan mengapa kamu tidak menginfakkan hartamu di jalan Allah,
padahal milik Allah semua pusaka langit dan bumi? Tidak sama orang yang
menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum
penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang
menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan kepada
masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah Mahateliti apa yang
kamu kerjakan,” (QS
Al-Hadid [57]: 10).
Inilah poin yang sangat sensitif antara
kami Ahlu Sunnah dengan Syi’ah. Karena tidak mungkin antara kita akan terjadi
pendekatan. Karena saya berkata, “Abu Bakar -semoga Allah SWT meridhainya-. Sedangkan engkau (Syi’ah) mengatakan,
“Abu Bakar-semoga
Allah SWT melaknatnya.- Coba
perhatikan, ada berapa perbedaan antara ucapan ridha terhadap seseorang dengan
ucapan laknat?
Saya pernah berdialog dengan beberapa
orang para ulama Syi’ah yang saya tahu mereka itu adalah para ulama yang
bijaksana. Saya katakan kepada mereka, “Sesungguhnya masalah ini adalah batu sandungan utama di dalam
proses pendekatan antara dua madzhab. Oleh karena itu, para cendekiawan Syi’ah
harus menahannya atau paling kurang memperkecil efeknya. Karena jika hal ini
dibiarkan sesuai dengan tabiat orang-orang awam yang dipenuhi dendam dan
kebencian, maka akan memakan setiap rumput hijau dan yang kering, dan sangat wajar
jika tidak ada kesempatan bagi para ulama di dalam menjelaskan prospek
persatuan dan proses pendekatan madzhab.”
Sebenarnya saya katakan bahwa para
cendekiawan Syi’ah seperti Ayatullah Muhammad Ali At-Taskhiri dan Ayatullah
Wa’izh Zadeh dan yang lainnya mereka sangat setuju dengan hal ini. Mereka
meyakinkan kepada saya bahwa cara pandang seperti ini (tidak mencaci para
sahabat, ed.) mulai menguat dan menyebar di kalangan Syi’ah sedikit demi
sedikit. Sampai-sampai kurikulum pendidikan yang baru di Iran di beberapa
bukunya menyebutkan tentang sejarah Abu Bakar dan Umar bin Khaththab yang
dipenuhi dengan pujian dan kemuliaan.
Saya katakan kepada mereka, “Inilah yang harus dikembangkan di dalam
yayasan/lembaga pendidikan milik pemerintah dan juga di dalam pendidikan
keluarga secara khusus. Karena pengetahuan masyarakat Syi’ah banyak mengandung
ilusi, hal-hal yang berlebihan dan takhayul. Semua ini tidak bisa dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Akan tetapi menurut orang-orang awam, hal ini merupakan
kebenaran dan akidah mereka.”
Sebenarnya, masalah yang sangat
membahayakan ini perlu dihilangkan dan dijelaskan untuk membersihkan semua
debu-debu kekisruhan. Atau paling tidak untuk membentuk sikap positif dan
bijaksana terhadap permasalahan ini.
Awas, Jangan Mencela Para Sahabat!
Saya ingin menjelaskan masalah ini di
hadapan saudara-saudara saya dari madzhab Syi’ah. Saya sendiri tidak bermaksud
lain dari ini semua kecuali hanya mengharap ridha Allah SWT, berkhidmat kepada
Islam dan umat Islam.
Pertama, Sesungguhnya semua kejadian yang dialami oleh para sahabat,
seperti perbedaan pendapat sampai terjadinya huru-hara, semua ini sudah menjadi
sejarah (masa lalu) dan telah digulungkan lembaran sejarahnya, baik yang manis
maupun yang pahitnya.
Yang buruk dan yang baiknya, kelak, Allah
SWT akan menanyai para sahabat dan Dia akan memberikan pahala atas seluruh
perbuatan dan niat mereka. Yang layak bagi kita adalah menyerahkan semua ini
kepada Allah SWT dan tidak perlu repot-repot kita menghitung-hitungnya. Sebab Allah
SWT telah berfirman, “Itulah
umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa
yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban)
tentang apa yang dahulu mereka kerjakan,” (QS Al-Baqarah [02]: 134).
Karena alasan ini pula, Khalifah Umar bin
Abdul Aziz ketika ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab, “Dengan darah mereka itulah Allah SWT membersihkan
tangan-tangan kita. Oleh karena itu, janganlah kita mengotori lidah kita dengan
masalah ini!”
Kedua, di antara kaidah toleransi di antara para pemeluk agama yang
berbeda yaitu sesungguhnya orang-orang yang sesat di antara kita akan dihisab
atas kesesatannya dan orang-orang kkafir akan dihisab atas kekkafirannya adalah
tugas Allah SWT dan bukan tugas kita. Dan hisab ini tempatnya yaitu di akhirat
dan bukan di dunia ini. Allah SWT telah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang Yahudi,
orang sabiin, orang Nasrani, orang Majusi dan orang musyrik, Allah pasti
memberi keputusan di antara mereka pada hari Kiamat. Sungguh, Allah menjadi
saksi atas segala sesuatu,” (QS Al-Hajj [22]: 17). Allah SWT juga telah berfirman kepada
Rasulullah SAW, “Karena
itu, serulah (mereka beriman) dan tetaplah (beriman dan berdakwah) sebagaimana
diperintahkan kepadamu (Muhammad) dan janganlah mengikuti keinginan mereka dan
katakanlah, “Aku beriman kepada Kitab yang diturunkan Allah dan aku
diperintahkan agar berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan
kamu. Bagi kami perbuatan kami dan bagi kamu perbuatan kamu. Tidak (perlu) ada
pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan
kepada-Nyalah (kita) kembali,” (QS Asy-Syura [42]: 15). Apabila sikap seperti ini adalah
sikap terhadap pemeluk agama yang berbeda-beda, lantas bagaimana halnya dengan
orang-orang yang seagama dengan kita?
Ketiga, sesungguhnya yang layak bagi kita di sini adalah membiarkan
orang-orang yang berselisih faham tersebut dan menyerahkannya kepada niat
mereka masing-masing. Karena mereka telah sampai (merasakan) atas apa yang mereka
persembahkan (lakukan di dunia).
Terhadap para sahabat tersebut, jika kita
anggap mereka telah berbuat dosa, maka tentunya mereka akan tetap mendapatkan
pahala karena telah menemani Rasulullah SAW, atau pahala jihad mereka bersama
beliau yang mana beliau bisa memberikan syafaat kepada mereka. Hal ini
sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada Umar di dalam masalah Hathib bin Abi
Balta’ah yang mana dia telah memata-matai kaum muslimin atas perintah
orang-orang Quraisy sebelum Futuh Mekah. Berkatalah Umar kepada Rasulullah
SAW, “Biarkanlah
saya memancung lehernya, karena dia adalah orang munafiq!” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Dia itu termasuk yang ikut dalam perang Badar.
Apakah engkau tahu wahai Umar, barangkali saja Allah SWT memaafkan para pejuang
perang Badar.” Beliau
pun bersabda,“Kerjakanlah
apa yang ingin kalian kerjakan, sungguh aku telah memaafkan kalian.”
Imam
Al-Qurthubi telah berkata di dalam tafsirnya Al-Jami’ Li
Ahkam Al-Qur`an,
“Tidak boleh menyandarkan sebuah kesalahan
tertentu kepada salah seorang dari sahabat, karena mereka semua telah
berijtihad atas apa yang mereka lakukan dan yang mereka inginkan hanya Allah
SWT. Sedangkan mereka itu adalah imam kita dan kita akan dianggap beribadah
(berpahala) jika tidak membicarakan perselisihan mereka. Kita semua hanya
menceritakan kebaikan-kebaikan mereka saja, karena mereka telah menemani
Rasulullah SAW dan juga karena ada larangan mencaci para sahabat ini dari
Rasulullah SAW. Demikian juga karena Allah SWT telah memaafkan dan meridhai
mereka.
Ada sebuah riwayat dengan banyak jalur
dari Rasulullah SAW bahwasanya Thalhah adalah seorang syahid. Andai saja dia
pergi ke medan perang itu karena faktor maksiat, tentu orang yang terbunuh pada
peperangan tersebut tidak akan disebut mati syahid. Demikian pula seandainya
dia pergi ke medan perang karena faktor salah persepsi. Karena yang disebut
mati syahid itu tidak akan terjadi kecuali jika terbunuh di dalam ketaatan.
Maka urusan mereka itu wajib disikapi seperti yang telah kami terangkan.
Di antara yang menjadi dalil hal ini,
yaitu sebuah riwayat shahih dan sudah tersebar dari Ali bahwasanya pembunuh
anaknya Shafiyyah adalah di neraka. Karena Ali pernah mendengar Rasulullah
SAW bersabda, “Berilah
kabar gembira pembunuh putra Shafiyyah dengan api neraka!”
Jika memang seperti ini, maka ada sebuah
keterangan yang menerangkan bahwa Thalhah dan Zubair tidak bermaksiat atas
perintah jihad. Karena jika seperti ini, mana mungkin Rasulullah SAW berkata
kepada Thalhah sebagai syahid? Dan juga beliau tidak mengatakan bahwa pembunuh
Zubair akan masuk neraka.
Demikian pula dengan orang yang tidak ikut
perang tidak karena salah persepsi, dan justru karena kebenaran yang menuntut
mereka agar berjihad. Apabila seperti ini, maka kita tidak boleh melaknat atau
memfasiqkan mereka dan menghilangkan keutamaan dan jihad mereka.



Sebagian para ulama ditanya perihal darah
yang telah ditumpahkan oleh para sahabat (peperangan di antara para sahabat).
Maka dia menjawab, “Itulah
umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa
yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban)
tentang apa yang dahulu mereka kerjakan,” (QS Al-Baqarah [02]: 134).
Demikian pula ada sebagian para ulama yang
ditanya tentang hal tersebut (peperangan di antara para sahabat). Maka dia
menjawab, “Itulah
darah yang Allah SWT telah menyucikan tangan saya dari darah tersebut. Maka aku
tidak mau mengotori lidahku dengan masalah ini.” Maksudnya berhati-hati agar tidak
terperosok ke dalam kesalahan atau salah memberikan penilaian terhadap para
sahabat.
Ibnu Furik berkata, “Di antara para ulama ada yang berkata bahwa
pertikaian yang terjadi di antara para sahabat adalah seperti pertikaian yang
terjadi antara saudara-saudara Yusuf dengan Yusuf. Tetapi saudara-saudara Yusuf
ini tidak membuat Yusuf tersingkir dari kepemimpinan dan kenabian (Nabi Yusuf
tetap menjadi Nabi dan Raja Mesir). Demikian pula halnya dengan pertikaian yang
terjadi di antara para sahabat.”
Al-Muhasibi berkata, “Adapun dalam masalah
darah (peperangan), kami kesulitan untuk menilai hal ini dikarenakan faktor
perselisihan mereka (para sahabat)”. Al-Hasan Al-Bashri pernah ditanya tentang
masalah peperangan di antara para sahabat. Beliau berkata, “Peperangan di
antara para sahabat Rasulullah SAW itu kita tidak mengetahuinya. Mereka
mengetahuinya dan kita tidak. Mereka berijma dan kita mengikutinya dan mereka
berselisih faham, kita diam.” Al-Muhasibi berkata, “Kami pun berkata sama dengan perkataan Al-Hasan
Al-Bashri. Kami tahu jika para sahabat lebih tahu daripada kami atas perkara
yang mereka hadapi. Kami hanya mengikuti apa yang menjadi kesepakatan mereka.
Kami diam atas apa yang mereka perselisihkan. Kami tidak membuat-buat opini.
Karena kami tahu jika mereka telah berijtihad dan menginginkan Allah SWT
(lillahi ta’ala). Kalau begitu, mereka itu tidak dituduh macam-macam dalam
Islam ini. Kami hanya memohon taufiq kepada-Nya.”
Keempat, Sesungguhnya kewajiban kita dari sisi yang lain adalah harus
menghadapi masa saat ini, daripada kita sibuk memikirkan masa lalu kita. Karena
zaman kita sekarang ini penuh dengan berbagai macam musibah dan malapetaka yang
menghadang para penggiat kebaikan (para reformis). Musibah ini harus kita
hadapi; kita kerahkan segenap pikiran, hati dan anggota tubuh kita. Terutama
pada saat ini yang sedang mewabahnya Zionisme dan kesombongan Amerika.
Saya pernah mendengar bantahan Syaikh
Muhammad Al-Ghazali terhadap seseorang yang mendebatnya tentang masalah
kejadian yang dialami para sahabat. Dia mengajukan sebuah pertanyaan yang tidak
berbobot, “Siapakah yang lebih berhak menjadi khalifah, Abu Bakar atau Ali?”
Syaikh menjawab, “Abu Bakar telah wafat, demikian pula Ali. Begitu
pula kekhalifahan, kerajaan Bani Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah telah
runtuh. Sampai kekhalifahan benar-benar tercabut dari negara-negara Islam.
Sehingga kita semua dipimpin oleh orang-orang asing. Bukan Abu Bakar dan bukan
Ali. Sampai kapan kita memperdebatkan masalah ini?”
Kelima, Sesungguhnya persoalan mencaci para sahabat pada dasarnya
dari kacamata Islam sangatlah tidak terpuji. Karena seorang muslim itu bukan
tipe pencela atau pelaknat. Al-Qur`an saja melarang kita mencaci berhala,
karena khawatir bisa memancing emosi orang-orang musyrik. Akhirnya mereka
mencaci Allah SWT, sebagai bentuk pembelaan atas tuhan-tuhan mereka. Allah SWT
berfirman, “Dan
janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka
nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.
Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.
Kemudian kepada Tuhan, tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan
kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan,” (QS Al-An’am [06]: 108).
Siapa saja yang membaca Sunnah Rasulullah
SAW, maka dia akan menemukan ada banyak hadits yang melarang perbuatan mencaci.
Misalnya di dalam kitab Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir ada beberapa hadits yang semuanya melarang perbuatan
mencaci. Dimulai dari hadits nomer 7309 sampai dengan hadits nomer 7322. Di
antaranya:
لا تسبوا
أصحابي فو الذي نفسي بيده لو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا، ما بلغ مد أحدهم و
لا نصيفه.
“Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Demi Dzat
yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau saja ada salah seorang dari kalian yang
berinfaq emas sebesar gunung Uhud, maka (pahala) infaqnya ini tidak akan
menyamai (pahala) satu mud atau setengah mud (infaq para sahabat).” (Muttafaq Alaih)
لا تسبوا
الأموات، فإنهم أفضوا إلى ما قدموا.
“Janganlah kalian mencaci orang-orang yang sudah
meninggal dunia, sebab mereka telah sampai kepada apa yang mereka persembahkan.” (HR. Al-Bukhari)
لا تسبوا
الدهر، فإن الله هو الدهر.
“Janganlah kalian mencaci zaman, sebab Allah lah
zaman.” (HR.Muslim)
لا
تسبوا الديك فإنه يوقظ للصلاة.
“Janganlah kalian mencaci ayam jago, sebab dia
(suka) membangunkan manusia untuk shalat.” (HR Ahmad)
لا تسبوا
الريح، فإنها من روح الله.
“Janganlah kalian mencaci angin, sebab angin adalah
karunia Allah.” (HR
Ahmad)
لا تسبي
الحمى، فإنها تذهب خطايا بني آدم.
“Janganlah kalian (para ibu) mencaci demam, sebab
demam bisa menghilangkan dosa-dosa anak Adam.” (HR Muslim) Saya sangat takjub dengan hadits yang berbunyi,
لا تسبوا
الشيطان، وتعوذوا بالله من شره.
“Janganlah kalian mencaci setan. (tapi)
berlindunglah kalian kepada Allah dari keburukannya.” (HR Tamam Ar-Razi di dalam
kitab Al-Fawaid dan dishahihkan oleh Al-Albani di
dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah, no.2422).
Sampai kepada setan pun, kita dilarang
mencacinya. Tetapi kita diharuskan untuk berlindung kepada Allah SWT dari
keburukannya. Sebab perbuatan mencaci itu adalah perbuatan negatif, sedangkan
berlindung kepada Allah SWT dari keburukan setan adalah perbuatan positif.


Orang-orang Barat mengatakan, “Daripada mencaci gelap, lebih baik nyalakan lilin.” Maksudnya bahwa mencaci gelap tidak
akan merubah suasana. Yang terbaik adalah engkau menyalakan sesuatu yang bisa
menerangi jalanmu di kegelapan, walaupun hanya dengan nyala lilin yang sangat
kecil.
Kemudian perbuatan cela mencaci itu tidak
ada dasar tanggung jawabnya. Karena mencaci hal-hal buruk dan orang-orang kafir
itu bukan sesuatu yang dianggap wajib di dalam Islam. Maksudnya jika hal ini
tidak dikerjakan, maka akan mendapatkan hukuman dari Allah SWT.
Sebagian para imam (imam yang empat)
berkata, “Andai saja
ada seseorang yang berumur panjang, kemudian dia tidak pernah mencaci Fir’aun,
Abu Jahal atau Iblis, maka orang ini tidak akan dihisab apa-apa di hari Kiamat
atas sikapnya ini. Akan tetapi jika dia pernah melaknat seseorang yang tidak
pantas dilaknat, walaupun hanya satu kali, tentu dia akan dihisab di hadapan
Allah SWT di hari Kiamat: Mengapa engkau melaknatnya?” Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali berkata,
“Orang mukmin itu bukan pencela. Maka tidak diperbolehkan lisan ini
mengeluarkan kata-kata laknat, kecuali kepada seseorang yang mati di dalam
kekufuran, atau terhadap orang-orang dengan sifat-sifat tertentu tanpa merinci
orang-orangnya (dengan jelas). Menyibukkan diri dengan berdzikir kepada Allah
SWT adalah lebih baik. Kalau tidak bisa, maka diam akan lebih menyelamatkan.”
Makki bin Ibrahim berkata, “Kami pernah bersama Ibnu Aun. Maka mereka
menceritakan kisah Bilal bin Abi Bardah. Maka mereka pun mulai melaknatnya,
sedangkan Ibnu Aun hanya diam saja. Maka orang-orang berkata, “Wahai Ibnu Aun,
kami hanya membicarakan perbuatan yang dia lakukan padamu!” Ibnu Aun menjawab, “Sesungguhnya
ada dua kalimat yang akan keluar dari catatan amalku di hari Kiamat, yaitu
tidak ada tuhan selain Allah, dan semoga Allah melaknat si fulan. Aku lebih
suka kalimat tidak ada tuhan selain Allah yang keluar dari buku catatan amalku,
daripada kalimat semoga Allah melaknat si fulan!”
Ibnu Umar berkata, “Manusia yang dibenci oleh Allah adalah orang yang
suka mencaci dan mencaci.”
Kemudian perbuatan mencaci para sahabat
sangat tidak pantas bagi seorang muslim. Karena para sahabat mempunyai hubungan
dengan Rasulullah SAW. Karena para sahabat adalah teman-teman beliau dan mereka
juga adalah lulusan dari madrasah beliau. Mereka langsung belajar dari
Rasulullah SAW dan mereka juga menerima cahaya kenabian. Mereka juga
menyaksikan turunnya Al-Qur`an dan menjadi pelaku sejarah. Merupakan hal yang
wajar jika kemudian mereka menerima cahaya kenabian. Barangsiapa mencaci
murid-murid terdekat seorang guru, maka seolah-olah dia itu mencaci guru
mereka!
Oleh karena itu, para tabiin adalah
orang-orang yang dekat dengan para sahabat dari sisi keutamaan mereka. Karena
para tabiin ini telah belajar langsung dari para sahabat. Adapun orang-orang
yang jauh dari tabiin ini, maka mereka pun jauh dari cahaya kenabian. Setiap
zaman semakin jauh dari zaman yang lainnya.
Sebagaimana Rasulullah SAW telah memuji
mereka para sahabat, baik secara umum maupun secara khusus di banyak
hadits-haditsnya, sampai mencapai derajat mutawatir.
Sejarah lah yang telah menjadi saksi yang
jujur atas keutamaan mereka. Mereka lah yang telah menghafal Al-Qur`an dan
menukilkannya kepada kita secara mutawatir. Dan mereka juga yang telah
meriwayatkan sunah Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan maupun
kesepakatan-kesepakatan beliau.
Mereka juga lah yang telah melakukan
pembebasan negeri lain dengan damai dan menyebarkan agama Islam sampai ke
seluruh penjuru dunia. Andai bukan karena mereka, tentu sekarang ini kita semua
bukanlah kaum muslimin. Mereka lah yang telah mengajarkan Islam kepada umat
lain setelah mereka belajar langsung dari Rasulullah SAW.
Barangsiapa yang mau membaca sejarah
mereka, maka dia akan menemukan sejarah para pemberani yang berakhlak yang
tidak ada tandingannya di umat ini. Yang mana mereka dijadikan sebagai figur di
dalam membentuk sebuah generasi. Ini lah yang terangkum di dalam kitab Hayatu Shahabah yang terdiri dari beberapa jilid karya Syaikh
Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi.
Buku ini sebagai tambahan atas kitab-kitab
yang mengupas sejarah para sahabat, seperti Al-Isti’aab fii Ma’rifatil Ashaab, Asadul Ghaabah
fii Ma’rifatish Shahaabah dan Al-Ishaabah
fii Tamyiizish Shahaabah.
Saya sarankan untuk membaca kitab
Muhibuddin Al-Khathib yang berjudul, Ma’ar Ra’iil Al-Awwal dan penjelasan kitabJiil Qur`ani Farid karya Sayyid Quthb di dalam kitabnya Ma’aalimu fith Thariiq. Dan kitab Abqariyyaat (orang-orang jenius) karya Abbas Al-‘Aqqad dari kalangan
para sahabat dan kitab Akhbaar ‘Umar karya Syaikh Ali Ath-Thanthawi.
Adapun tuduhan mengkafirkan Syi’ah dengan
dalih sikap mereka terhadap para sahabat, saya sendiri tidak berpendapat
seperti itu. Karena mencap kkafir orang yang telah mengucapkan tidak ada tuhan
selain Allah, adalah sebuah urusan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang
ulama. Karena ucapan tahlil ini melindungi seseorang dari kekafiran. Saya
adalah termasuk dari kalangan yang melarang dengan keras mengkafirkan orang
lain. Walaupun tuduhan Syi’ah terhadap para sahabat itu sangat keji, tetapi
tuduhan mereka itu tidak secara qath’i menjadikan diri mereka sebagai
orang-orang kafir. Semua keraguan di dalam masalah ini harus ditafsirkan demi
kebaikan seorang muslim yang wajib membawa dirinya ke arah kebaikan.
Kami hanya bisa mendoakan mereka, semoga
Allah SWT memberikan mereka petunjuk-Nya kepada kebenaran dan Allah SWT
mengampuni dosa-dosa mereka, karena Dia adalah Dzat yang Maha Pengampun dan
Maha Penyayang.
Sumber: Buku berbahasa Arab, karya Syaikh
Yusuf Al-Qardhawi dengan judul Fataawaa Mu’aasharah, (Fatwa-fatwa Kontemporer), juz ke-4, penerbit Darul Qalam
Kuwait, hal. 275-298.
Penterjemah: Dudung Ramdani, Lc
[1] Padahal
semua ini adalah hadits-hadits palsu yang dibuat oleh mereka sendiri!
[2] Buku
ini ditulis oleh seorang Syi’ah asal Mesir yang bernama Dr. Ahmad Rasim
An-Nafis.
[4] Lihat
kitab Kasyful Asraar hal. 107. Juga lihat kitab Syahadat
Khumaini fii Ashaabi Rasuulillaah karya Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah,
mantan khatib Masjidil Aqsha yang dicetak oleh Penerbit Daar Ummar Yordania.
[6] Di
dalam sebuah kitab yang berjudul, Umat Islam; Adalah Nyata dan
Bukan Angan-angan. Didistribusikan oleh Pustaka Wahbah di Mesir dan Yayasan
Ar-Risalah di Libanon.
[7] Lihat
buku kami yang berjudul, Penjelasan tentang Pendekatan
antar Madzhab dan Golongan di Dalam Islam, hal. 8-39, penerbit Pustaka
Wahbah Kairo cetakan pertama tahun 2008.
[8] Para
ulama Syi’ah telah menyatakan bahwa syahadat ini tidak dikenal oleh mereka.
Akan tetapi mereka membiarkan hal ini terjadi, dengan alasan takut orang-orang
awam bergolak (terguncang).
[9] Lihat
buku, Kebangkitan Islam di Antara Perbedaan yang Dibolehkan dan
Perpecahan yang Terlarang, hal. 34-39 cetakan Dar Asy-Syuruq
tahun 2001.
[10] Lihat
buku, Prinsip-prinsip di Dalam Dialog dan Pendekatan Antara Aliran dan
Madzhab di Dalam Islam, hal. 12 cetakan Pustaka Wahbah,
Kairo.
[11] Hadits
ini diriwayatkan oleh Muttafaq Alaih: Al-Bukhari di dalam Bab Zakat, hadits no.
1400, Muslim di dalam Kitab Iman, hadits no. 21. Imam Ahmad di dalam Al-Musnad,
hadits no. 8544, Abu dawud di dalam Bab Zakat, hadits no. 1556, At-Tirmidzi di
dalam Kitab Iman, hadits no. 2607, An-Nasai di dalam Bab Zakat, hadits no. 2443
dan Ibnu Hibban di Kitab Fitnah, hadits no. 3927 dari Abu Hurairah RA.
[12] Silahkan
merujuk ke kitab yang berjudul, As-Shaarim Al-Masluul, karya Ibnu
Taimiyyah, juz 1 hal. 581.
[13] Yang
dimaksud dengan putra Shafiyyah adalah Zubair bin Al-Awwam. Shafiyyah adalah
bibi Rasulullah SAW.
[14] HR
Ahmad di dalam Al-Musnad, hal. 618 dari Ali RA. Pentakhrij hadits ini
berkata bahwa sanad hadits ini adalah hasan. HR Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak, kitab Ma’rifatush
Shahaabah, juz 3/414. beliau berkata, “Hadits ini shahih dari Amirul
Mu`minin Ali”. Walaupun Ahmad dan Al-Hakim tidak mengeluarkan hadits ini dengan
sanad seperti ini. Adz-Dzahabi menyetujui pula hadits ini. HR Ath-Thabrani di
dalam kitab Al-Kabir, juz 1/123 dan di dalam Al-Ausath juz
7/130.
SYIAH MIRIP YAHUDI
DAN MENGADAPTASI BANYAK KEPERCAYAAN AGAMA ORANG-ORANG KAFIR KEDALAM AJARANNYA:


Tidak ada dari aspek mana pun yang tak
sesat dari Syiah–baik aqidah, syariah, ataupun akhlak dan muamalah. Syiah
adalah Yahudi yang menggunakan baju Islam. “Syi’ah adalah Yahudi dan Yahudi
adalah Syi’ah”.
Syi'ah adalah produk Yahudi melalui tokoh munafik Abdullah bin Saba, dia adalah seorang pendeta yahudi yang berpura-pura masuk islam untuk menghancurkan Islam dari dalam, dia juga orang yang pertama mengisukan kalau Ali yang lebih berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah wafat, dia juga yang pertama kali mencela sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. menjadikan Syiah dan Yahudi memiliki banyak persamaan. Di antaranya:
Syi'ah adalah produk Yahudi melalui tokoh munafik Abdullah bin Saba, dia adalah seorang pendeta yahudi yang berpura-pura masuk islam untuk menghancurkan Islam dari dalam, dia juga orang yang pertama mengisukan kalau Ali yang lebih berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah wafat, dia juga yang pertama kali mencela sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. menjadikan Syiah dan Yahudi memiliki banyak persamaan. Di antaranya:
1. Yahudi telah mengubah-ubah Taurat, begitu pula Syi’ah mereka punya Al-Qur’an hasil kerajinan tangan mereka yakni “Mushaf Fathimah” yang tebalnya 3 kali Al-Qur’an kaum Muslimin.Mereka menganggap ayat Al-Qur’an yang diturunkan berjumlah 17.000 ayat, dan menuduh Sahabat menghapus sepuluh ribu lebih ayat.
2. Yahudi menuduh Maryam yang suci berzina [QS. Maryam : 28], Syi’ah melakukan hal yang sama terhadap istri Rasulullah ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha sebagaimana yang diungkapkan Al-Qummi (pembesar Syi’ah) dalam “Tafsir Al-Qummi (II 34)”
3. Yahudi mengatakan, “kami tidak akan disentuh oleh api neraka melainkan hanya beberapa hari saja”. [QS. Al-Baqarah : 80] Syi’ah lebih dahsyat lagi dengan mengatakan, “Api neraka telah diharamkan membakar setiap orang Syi’ah”sebagaimana tercantum dalam kitab mereka yang dianggap suci “Fashl Kitab (hal.157)”
4. Yahudi meyakini, Allah mengetahui sesuatu setelah terjadinya sesuatu itu padahal Allah tadinya tidak tahu, begitu juga dengan Syiah. Orang-orang Syiah menyebutnya sebagai akidah al bada’. Abu Abdillah berkata, “Seseorang belum dianggap beribadah kepada Allah sedikit pun, hingga ia mengakui adanya sifat bada’ bagi Allah.” (Ushulul Kafi fi Kitabit Tauhid: 1/331).
Bayangkan, mereka menisbahkan kebodohan kepada Allah yang telah berfirman:
“Katakanlah, “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah.” (QS. An-Naml: 65)
Sementara di sisi lain, mereka berkeyakinan bahwa para imam mereka mengetahui segala ilmu pengetahuan dan tak ada sedikit pun yang samar baginya. Al Kulaini, seorang ulama paling terpercaya di kalangan Syiah berkata di dalam bukunya, “Bab bahwa para imam mengetahui ilmu yang telah dan akan terjadi, dan tidak ada sesuatu apa pun yang tersembunyi bagi mereka.” (Al Kafi: 1/261).
5. Yahudi beranggapan bahwa ucapan “amin” dalam shalat adalah membatalkan shalat. Syi’ah juga beranggapan yang sama.
6. Yahudi berkata, “Allah mewajibkan kita lima puluh shalat” Begitu pula dengan Syi’ah.
7. Yahudi keluar dari shalat tanpa salam,cukup dengan mengangkat tangan dan memukulkan pada lutut. Syi’ah juga mengamalkan hal yang sama.
8. Yahudi miring sedikit dari kiblat, begitu pula dengan Syi’ah.
9. Yahudi berkata “Tidak layak (tidak sah) kerajaan itu melainkan ditangan keluarga Daud”. Syi’ah berkata,” tidak layak Imamah itu melainkan pada ‘Ali dan keturunanannya”
10. Yahudi mengakhirkan Shalat hingga bertaburnya bintang-bintang di langit. Syi’ah juga mengakhirkan Shalat sebagaimana Yahudi.
11. Yahudi mengkultuskan Ahbar (‘ulama) dan Ruhban (para pendeta) mereka sampai tingkat ibadah dan menuhankan.Syi’ah begitu pula, bersifat Ghuluw (melampaui batas) dalam mencintai para Imam mereka dan mengkultuskannya hingga di atas kelas manusia.
12. Yahudi mengatakan Ilyas dan Finhas bin ‘Azar bin Harun akan kembali (reinkarnasi) setelah mereka bedua meninggal dunia. Syi’ah lebih seru, mereka menyuarakankembalinya (reinkarnasinya) ‘Ali, Al-Hasan, Al-Husain, dan Musa bin Ja’far yang dikhayalkan itu.
13. Yahudi tidak Shalat melainkan sendiri-sendiri, Syi’ah juga beranggapan yang sama, ini dikarenakan mereka meyakini bahwa tidak ada Shalat berjama’ah sebelum datangnya “Pemimpin ke-dua belas” yaitu Imam Mahdi.
14. Yahudi tidak melakukan sujud sebelum menundukkan kepalanya berkali-kali, mirip ruku. Syi’ah Rafidhah juga demikian.
15. Yahudi menghalalkan darah setiap muslim. Demikian pula Syi’ah, mereka menghalalkan darah Ahlussunnah.
16. Yahudi mengharamkan makan kelinci dan limpa dan jenis ikan yang disebut jariudan marmahi. Begitu pula orang-orang Syi’ah.
17. Yahudi tidak menghitung Talak sedikitpun melainkan pada setiap Haid. Begitu pula Syi’ah.
18. Yahudi dalam syari’at Ya’qub membolehkan nikah dengan dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Syi’ahjuga membolehkan penggabungan (dalam akad nikah) antara seorang wanita dengan bibinya.


19. Yahudi tidak menggali liang lahad untuk jenazah mereka. Syi’ah Rafidhah
juga demikian.
20. Yahudi memasukkan tanah basah bersama-sama jenazah mereka dalam kain kafannya demikian juga Syi’ah Rafidhah.
20. Yahudi memasukkan tanah basah bersama-sama jenazah mereka dalam kain kafannya demikian juga Syi’ah Rafidhah.
21. Yahudi tidak menetapkan adanya jihad hingga Allah mengutus Dajjal. Syi’ah Rafidhah mengatakan,”tidak ada jihad hingga Allah mengutus Imam Mahdi datang.
22. Yahudi menghalalkan harta kaum muslimin semuanya.Syi’ah juga demikian.
23. Orang-orang Yahudi membenci Jibril. Mereka mengatakan bahwa Jibril adalah musuh kita dari kalangan malaikat. Adapun Syiah berkata, Jibril telah keliru dalam menyampaikan wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka juga berkata, “Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam telah berkhianat ketika menyampaikan wahyu kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal sepantasnya dan yang lebih berhak adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.”
Inilah Syiah, bagaimana bisa mereka
menuduh Jibril ‘alaihis salam berkhianat, padahal Allah Azza wa Jalla telah
menyifatinya dengan al amin (yang dapat dipercaya) dalam firman-Nya,
“Yang dibawa turun oleh ar-Ruh al Amin (Jibril).” (QS. As-Syu’ara: 193)
“Yang dibawa turun oleh ar-Ruh al Amin (Jibril).” (QS. As-Syu’ara: 193)
24. Yahudi sangat keras memusuhi kaum Muslimin, firman Allah Azza wa Jalla, artinya:
“Pasti kamu akan dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (QS. Al Maidah: 82)
Demikian pula dengan orang-orang Syiah, sangat memusuhi Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahkan menganggap mereka sebagai najis.
25. Yahudi dan Syiah, keduanya tidak bersifat adil dalam memberikan kecintaan dan kebencian. Di satu sisi, Yahudi bersifat ghuluw terhadap sebagian nabi dan orang-orang shaleh mereka. Mereka menempatkannya sebagai sembahan yang diagungkan. Seperti perkataan mereka yang dikutip dalam al Qur’an,
“’Uzair anak Allah.” (Qs. At-Taubah: 30)
Namun di sisi lain, mereka mencela sebagian nabi dan menuduh mereka sebagai penjahat. Demikian pula dengan Syiah, Anda dapat melihat mereka berlebih-lebihan mengagungkan Ali radhiyallahu ‘anhu dan sebagian keturunan beliau, bahkan menempatkan mereka sebagai sembahan dan berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla bersatu dalam dzat mereka. Namun di sisi lain, mereka mencela sahabat dan kaum Muslimin. Menuduh mereka munafik dan kafir.
Meski banyak memiliki persamaan, Yahudi dan Nasrani telah selangkah lebih maju dari Syiah dalam hal etika. Ketika orang-orang Yahudi ditanya, “Siapa penganut terbaik agama kalian?” Mereka menjawab, “Sahabat-sahabat Musa.” Orang-orang Nashrani pun ditanya dengan pertanyaan yang sama, jawaban mereka, “Para penolong ‘Isa.” Dan ketika orang-orang Syiah ditanya, “Siapa pengikut paling durhaka dari agama kalian?” Mereka menjawab, “Sahabat-sahabat Muhammad.”
26. Kaum Yahudi juga meletakkan batu di depan mereka saat mereka melaksanakan ritualnya, sama seperti kaum Syiah.
27. Kaum Yahudi mencaci maki istri Nabi Musa ‘alaihi salam, Syiah juga mencaci maki istri Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallah ‘anha.”
28. Kaum Yahudi menggabungkan “shalat” (ritual) nya, maka Syiah pun menggabungkan “shalat”nya.
29. Syiah Imamiyah menetapkan 12 imam mereka untuk menyerupai jumlah pemimpin dari kalangan Bani Israil, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Maidah: 12
.
30. Orang yahudi membagi manusia menjadi dua,yahudi dan umamiyyun .Umamiyyun artinya orang-orang yang bukan yahudi.Orang yang beriman hanyalah yahudi saja,sedang umamiyyun adalah orang-orang kafir.Sama hal nya dengan orang-orang syiah yang meyakini bahwa hanya merekalah kaum mukminin,sedang kaum muslimin yang lain adalah murtad dan tidak mendapatkan bagian islam sedikitpun.Syiah mengkafirkan kaum muslimin karena dianggap belum menjalankan ajaran al-Wilayah yang mereka yakini,karena ajaran ini termasuk dalam salah satu rukun islam mereka.Maka yang belum menjalankan ajaran al-Wilayah mereka nyatakan sebagai kafir,sama halnya seperti orang yang belum mengucapkan dua kalimat syahadat atau meninggalkan sholat.Al-Barqi dari Abu Abdillah alaihissalam,dia berkata : ” Tidaklah seorangpun berada diatas agama Nabi Ibrahim kecuali kita dan pengikut kita (rafidhah),sedang manusia yang lain adalah lepas darinya.Dan dalam kitab tafsir al-Qummi diriwayatkan dari Abu Abdillah alahissalam bahwa dia berkata : “tidaklah berada diatas agama islam orang yang bukan golongan kita dan bukan golongan mereka (syiah yang lain) sampai hari kiamat.
30. Orang yahudi membagi manusia menjadi dua,yahudi dan umamiyyun .Umamiyyun artinya orang-orang yang bukan yahudi.Orang yang beriman hanyalah yahudi saja,sedang umamiyyun adalah orang-orang kafir.Sama hal nya dengan orang-orang syiah yang meyakini bahwa hanya merekalah kaum mukminin,sedang kaum muslimin yang lain adalah murtad dan tidak mendapatkan bagian islam sedikitpun.Syiah mengkafirkan kaum muslimin karena dianggap belum menjalankan ajaran al-Wilayah yang mereka yakini,karena ajaran ini termasuk dalam salah satu rukun islam mereka.Maka yang belum menjalankan ajaran al-Wilayah mereka nyatakan sebagai kafir,sama halnya seperti orang yang belum mengucapkan dua kalimat syahadat atau meninggalkan sholat.Al-Barqi dari Abu Abdillah alaihissalam,dia berkata : ” Tidaklah seorangpun berada diatas agama Nabi Ibrahim kecuali kita dan pengikut kita (rafidhah),sedang manusia yang lain adalah lepas darinya.Dan dalam kitab tafsir al-Qummi diriwayatkan dari Abu Abdillah alahissalam bahwa dia berkata : “tidaklah berada diatas agama islam orang yang bukan golongan kita dan bukan golongan mereka (syiah yang lain) sampai hari kiamat.
31. Orang-orang Yahudi memberikan kepemimpinan kepada anak keturunan Nabi Harun ‘alaihis salam, bukan keturunan Nabi Musa ‘alahis salam. Demikian pula orang-orang Syiah, mereka memberikan kepemimpinan kepada keturunan Al Husein radhiyallahu ‘anhu, bukan Al Hasan radhiyallahu ‘anhu.
Dalam riwayat orang-orang Syiah disebutkan, dari Hisyam bin Salim, dia berkata, “Aku berkata kepada Ash-Shadiq Ja’far bin Muhammad —‘alaihimas salam, manakah yang lebih utama Al Hasan atau Al Husein?” Maka dia berkata, “Al Hasan lebih utama dari Husein.” Aku berkata, “Lalu bagaimana bisa imamah setelah Al Husein ditampuk keturunan Al Husein, bukan keturunan Al Hasan?” Maka Ja’far berkata, “Sesungguhnya Allah —Tabaraka wa Ta’ala— menyukai jika sunnah Musa dan Harun berlaku kepada Al Hasan dan Al Husein —‘alaihimas salam. Apakah engkau tidak melihat bahwasanya Musa dan Harun itu keduanya adalah nabi? Demikian pula Al Hasan dan Al Husein, keduanya adalah imam. Tapi, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan nubuwwah bagi keturunan Harun, bukan Musa, walaupun Musa lebih afdhal dari Harun —‘alaihimas salam.”
32. Kaum Yahudi hanya menikmati tubuh-tubuh istri mereka untuk sementara, sama dengan Syiah dengan kawin mut’ahnya, bersifat sementara, yang hakikatnya adalah perzinahan.
33. Kaum Yahudi berpendapat berbohong itu dihalalkan, sedang Syiah dengan taqiyahnya juga menghalalkan dusta, bahkan bohong itu bisa jadi akidah yang mendapatkan pahala bagi yang melakukannya. Terutama berbohong untuk tidak mengaku sebagai Syiah, supaya umat percaya dulu sama mereka.
Meski banyak memiliki persamaan, syi'ah lebih buruk dari Yahudi dan Nasrani dalam hal etika.
'Aaamir bin Syarahbil As-Sya'bi rahimahullah (salah seorang imam dari para tabi'in yang bertemu dengan sekitar 500 sahabat, dan beliau wafat tahun 103 H) berkata:
وَفَضُلَتِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى عَلَى الرَّافِضَةِ بِخَصْلَتَيْنِ : سُئِلَتِ الْيَهُوْدُ مَنْ خَيْرُ أَهْلِ مِلَّتِكُمْ ؟ قَالُوا : أَصْحَابُ مَوْسَى،وَسُئِلَتِ الرَّافِضَةُ : مَنْ شَرُّ أَهْلِ مِلَّتِكُمْ ؟ قَالُوْا : أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ، وَسُئِلَتِ النَّصَارَى : مَنْ خَيْرُ أَهْلِ مِلَّتِكُمْ ؟ قَالُوْا : حَوَارِيُّ عِيسَى، وَسُئِلَتِ الرَّافِضَةُ : مَنْ شَرُّ أَهْلِ مِلَّتِكُمْ ؟ قَالُوْا : حَوَارِيُّ مُحَمَّدٍ، أُمِرُوا بِالاِسْتِغْفَارِ لَهُمْ فَسَبُّوْهُمْ
"Kaum Yahudi dan Nashoro lebih baik dari pada kaum syi'ah dari dua sisi. (*Pertama ) : Kaum yahudi ditanya, "Siapakah umat kalian yang terbaik?", mereka menjawab, "Para sahabat Musa". Dan kaum Rofidhoh ditanya, "Siapakah kaum terburuk dari umat kalian?", mereka menjawab, "Para sahabat Muhammad". Dan kaum Nashooro ditanya, "Siapakah umat kalian yang terbaik?", mereka menjawab, "Para pengikut setia 'Isa", dan kaum Rofidhoh ditanya, "Siapakah dari umat kalian yang terburuk?", mereka menjawab, "Para pengikut (sahabat) setia Muhammad".(*Kedua ) ; Mereka (kaum Rofidhoh) diperintahkan untuk memohonkan ampun bagi para sahabat malah mereka mencela para sahabat" (*berbeda dengan kaum yahudi dan nashoro yang malah memuji dan mendoakan para sahabat Musa dan sahabat Isa-pent) (Syarh Ushuul I'tiqood Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah, karya Al-Laalikaai hal 1462-1463, dinukil juga oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya pada tafsir surat Al-Hasyr ayat 10)
Asy-Sya'bi mengisyaratkan firman Allah:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (١٠)
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang" (QS Al-Hasyr : 10).
Ini adalah setetes air dari luasnya samudra tentang kemiripan mereka dengan Yahudi, karena sesungguhnya Syi’ah merupakan aqidah campuran dari Yahudi, Nashrani, Persi (Majusi), Romawi dan Hindu. Mereka aduk unsur-unsur itu bagaikan adonan lalu dituangkan dalam satu cetakan kemudian diletakkan dalam suatu kemasan dan disajikan dengan nama “Syi’ah”.Maka jelaslah sudah, sebagaimana jelasnya mentari yang tak diselimuti awan bahwa “ Syi’ah adalah Yahudi dan Yahudi adalah Syi’ah”. Akan lebih jelas lagi bagi Anda tentang apa dan bagimana Syi’ah dalam andilnya menghancurkan Islam Serta membuka jalan bagi musuh-musuh Islam.
AWAS SYI'AH DI SEKITAR ANDA…!!!
Penyusun:
Abu Syamil Humaidy
Posted:
11 Desember 2013
Repos
: FP Syi'ah Bukan Islam (SBI)
Ulangsiar
dari: https://www.facebook.com/pages/Syiah-Bukan-Islam/201003436746495


Syiah
mengadaptasi semua agama masuk kedalam agamanya dengan tujuan utk mengelirukan
semua umat islam ASWJ dan masyarakat dunia.
Seni scupcture ini sebenarnya bertujuan untuk
mempersendakan Islam. Jika dilihat, orang Yahudi dan Nasrani sedang memijak orang
Islam yang sedang sujud solat. Karya seni yang dibuat oleh seniman Spanyol bernama
Eugenio Mirno ini cukup memacu kontroversi iaitu dimana seperti yang terlihat
pada gambar diatas. YAHUDI MARAH KETIKA MELIHAT KARYA SENI INI! Ada seorang
yahudi tidak suka melihat "seni" ini, lalu seorang nasrani bertanya :
" Kenapa Anda tidak suk... - Alivia Leyla Syafira - YAHUDI MARAH KETIKA
MELIHAT KARYA SENI INI! Ada seorang yahudi tidak suka melihat "seni"
ini, lalu seorang nasrani bertanya : " Kenapa Anda tidak suk... - Alivia Leyla
Syafira.
Kesimpulan:
Demikianlah buruknya ajaran syi’ah dalam
urusan Imammiyah yang sangat mereka agung-agungkan. Sesungguhnya ajaran yang
demikian hinanya tidak mungkin bersumber dari wahyu. Dan Mahasuci Allah dari
mensyariatkan ajaran yang demikian.
Tidak lain ajaran yang demikian adalah
bersumber dari hawa nafsu. Baik karena dorongan syahwat atau sentimen terhadap
kaum mukminin yang tidak sepaham dengan mereka. Hanya karena Amirul Mukminin
Umar bin al-Khathab dengan tegas menerapkan keharamannya dalam kasus Amru bin
Harits, lalu mereka mati-matian menghalalkan dan memerintahkannya. Maka tepat apa
yang disampaikan para ulama ajaran Syi’ah dibangun di atas menyelisihi Ahlus
Sunnah wal Jama’ah.
Sesungguhnya
akal sehat tidak bisa menerimanya, tapi kenapa mereka berusaha melestarikannya.
Padahal mereka yang mengagungkan mut’ah tidak rela jika ibu mereka, istri
mereka, anak perempuan mereka, atau saudari mereka dinikahi dengan cara mut’ah
sesuai ketentuan dalam kitab-kitab mereka di atas. Semoga Allah menunjuki kita
kepada jalan kebenaran, iaitu jalan hidupnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
para sahabatnya dari kalangan shiddiqin, syuhada’ dan shalihin.
Pengalaman atok:
Pada sekitar tahun 2010 yang lalu atok pernah didatangi
sekumpulan pendakwah Syiah yang memang berasal dari Johor Bahru ni, kerana
mereka berketurunan Said. Jadi mereka kata selalu memerhatikan kegiatan atok
dan atok merupakan ‘insan pilihan’ mereka kerana mempunyai ramai anak buah.
Jadi mereka pun mulalah menceritakan berkenaan ajaran Syiah yang mereka fikir
sangat hebat. Mereka bercerita dengan taksub dan segala hujah disertakan
hadis-hadis dari kitab-kitab rujukan mereka. Atok kira mereka ini telah dilatih
untuk memesongkan akidah umat islam dengan sangat systematic. Tetapi mereka
tidak mengatahui siapa sebenarnya atok ni dan atok hanya biarkan mereka
bercakap seorang demi seorang.
Setelah semua habis bercakap, maka tibalah masanya atok
menyoal mereka. Atok bermula dari sejarah Syiah, kemudian bagaimana menjadi
Syiah kemudian berkenaan Revolusi Iran, lepas tu siapa dibelakang Ayahullah
Khomeni, siapa sebenarnya Khomeni, apa doktrin Syiah, bagaimana ulama Sunni
menolak Syiah, dimana penyelewingan Syiah dalam syariat islam dll. Sampai
mereka semua pulak “kena dengar” hujah atok sampai mereka angkat tangan.
Nampaknya mereka sudah silap orang ni… mereka dok ingat atok tak mengaji. Jadi
tenaga pengajar tampa ilmu dan tauliah. Atok katakan kepada mereka, yg atok ni
dah sampai level PhD pasal Syiah ni, atok pernah tinggal di Iran sampai kena
halau, malahan atok dah menulis beberapa atikal di Indonesia berkenaan pekara
ini didalam kitab-kitab yang diterbitkan oleh beberapa orang rakan sebagai
perkongsian ilmu. Jadi mereka sudah menjadi kelang-kabut nak balek. Tetapi ada
3 orang dalam kumpulan itu yang kemudian berpatah balek kepada atok untuk
mengatahui lebih lanjut. Akhirnya mereka itu telah bertaubat dan apabila Tok
Guru Syeikh Ahmad Junaidin singgah di Johor ni, mereka atok suruh ambil talqin
shadatai dengan tok guru.
Jadi sebenarnya mereka (orang Syiah) tu bukannya handal sangat.
Suam-suam kuku je. Tak hebat mana pun nak berhujah sebab mereka hanya diajar
ilmu-ilmu dalam Syiah tampa mengatahui isi dalaman berkenaan Islam
keseluruhannya. Mereka tak boleh pun berhujah walaupun mereka telah bergelar
Imam atau Maula atau sekalipun Ayahtullah. Tak cukup ilmu mereka untuk
bertanding dengan ulama-ulama ASWJ dimana-mana forum atau perdebatan sekalipun,
sebab kami hafal dengan hati sedangkan mereka tak menghafal pun kitab-kitab
mereka. Mereka mencidok ilmu disana sini tak karuan. Itulah sebabnya ajaran
baru Syiah ini menjadi caca-marba dan sesat. Contohnya seperti satu masakan
tetapi banyak sangat tangan yang mencampurkan resepi masing-masing… apa jadi
dengan masakan itu ??? Teingat cerita P. Ramli, 3 orang nak masak sup ayam, apa
jadi hanya Azizi dan Sudin saja yang boleh makan… tapi lepas tu sakit perut !!!
Begitulah Syiah yang dah jadi ilmu rojak, bukan saja campuran
dan penolakan ajaran sebanar Islam, malahan mereka mencedok pula ajaran Yahudi,
Kristian, Hindu, Budha, Sikh, Majusi, Mutazilah, Teologi, Uluhiyah,
Wahdahtulujud, Kominisma, Gay, LGBT dan lain-lain fahaman lagi, masuk kedalam agama mereka. Boleh dikatakan
semua fahaman sesat telah diadaptasi kedalam agama Syiah hingga ia kelihatan
seperti satu agama pagan kuno penyembah Syaitan Iblis dan berhala. Selain itu
ulama-ulama Syiah sebenarnya telah mengambil kesempatan keterlaluan kepada
pengikut-pengikut mereka dari segi harta (bayaran zakat dan infaq harta dan
wangringgit), dari segi kepuasan sex dengan bermutaah dengan sesiapa saja yang
mereka sukai tampa boleh ditentang walaupun disisi undang-undang. Dari segi
ekonomi negara pula, hanya golongan elit dan ulama-ulama sahaja yang dapat
menguasi hasil bumi Iran dan pengeluaran produk-produk kepenggunaan umum, barangan
import dan eksport. Malahan mereka mengujudkan puak-puak pembangkang dan
melatih mereka dalam bidang ketenteraan serta membekal senjata kepada puak-puak
itui untuk memberontak seperti apa yg telah berlaku di Iraq, Syria dan sekarang
Yaman. Mereka ini jugalah yang menubuhkan puak-puak extrimis agama seperti al
Qiadah, ISL dan lain-lain bertujuan untuik menakluk dunia. Terlalu banyak lagi
penipuan Ulama-ulama Syiah ini jika hendak diketengahkan. Maka Syiah telah jauh
sangat terpesong dan tak mungkin dapat bercantum semula dengan Sunni kecuali
mereka bertaubat dan meninggalkan terus ajaran Syiah itu. Mereka telah terlalu
jauh terjun kedalam lubang lumpur ciptaan Syiah dan tidak mungkin mereka dapat
naik semula kedaratan yang selamat. Mereka akan terus saja berkubang seperti
kerbau yang ditarek hidungnya dalam lumpur tersebut hingga hari kiamat.
Penutup:
Minta perlindungan dari
Allah SWT supaya kita terhindar dari semua perbuatan Syiah dan Wahhabi kerana
mereka inilah sebenarnya “Dua Tanduk Iblis” atau dua tanduk syaitan
yang dimaksudkan didalam hadis-hadis Nabi saw yang telah atok kemukan dibanyak
ruangan didalam atikal atok terutama didalam atikal “Sirah – Kematian, Akhirat
dan Kiamat”. Mereka berselindung didalam agama Islam dan bukannya dari luar
atau mencipta aliran agama sesat yang baru. Malahan ada diantara mereka amat
fasih berkenaan hukum hakam dan syariat Islam. Tetapi bukannya untuk membentuk
akhlak dan mengajar agama kearah kebenaran. Sebaliknya mereka menggunakan
kepandaian mereka untuk menghancurkan akidah umat islam seluruhnya terutama
kepada semua Ahli Sunnah Wal Jemaah atau Islam Sunni.


Ini adalah atikal kelima dan merupakan bab
terakhir dalam permasaalahan Syiah ini. Terima kasih kerana sudi membaca atikal
ini yang atok fikir supaya kamu faham apa sebenarnya yang ada didalam doktrin
Syiah ini. Ia seperti juga Wahhabi yang mempunyai seorang tokoh yang telah dikudakan
oleh Yuhudi kemudian meyusup masuk kedalam Islam dan ingin menghancurkan agama
Islam dari dalam. Jika Wahhabi mempunyai Muhammad bin Abdul Wahab, maka Syiah
pula mempunyai Abdullah bin Saba’ kemudian disambung pula oleh Khomeni sebagai
badut dan talibarut Yahudi Zionis. Samalah juga dengan Wahabi yang diteruskan
oleh keluarga di Raja Arab Saudi walaupun mereka tidak merbahaya seperti aliran
Syiah ini tetapi melahirkan beberapa puak melitan merbahaya lainnya yang
mengancam Negara-negara muslim yang lain.
Nota dari Atok:
Penolakan dan penafian oleh golongan
Syiah sangat biasa di Iran dan di seluruh dunia kerana mereka mengamalkan taqiah
untuk menyembunyikan semua keburukan Iran apatah lagi berkenaan Mullah dan
Ayahyullah. Atok sendiri pernah merantau dan tinggal di Tehran dan juga di Qum
bagi mencari maklumat yang mendapat berbagai tentangan dan tekanan. Hinggalah
atok dihalau dari Iran pada 2005. Jadi tulisan atok dan juga sahabat-sahabat atok ini adalah rujukan yang
benar kerana kami kebanyakannya bertindak sebagai penyelidik, pejuang kebenaran
dan penyasat persendirian (ditanah Iran itu sendiri) kepada ajaran sesat Syiah
untuk mencari bukti dan membuka keburukan disebalik wayang Syiah itu dan
mendedahkannya kepada dunia terutama kepada umat islam Sunni/ASWJ supaya tidak
tertipu oleh mereka.
Jadi jika tulisan atok ini juga
dibidas atau disangkal oleh penyokong kuat ajaran sesat Syiah walau dari mana
pun mereka itu, maka tulisan ini adalah benar
dan lumrah bagi kami kerana kami telah pun berhadapan dengan tindakbalas
mereka sejak mula lagi. Oleh itu pembaca usah risau dan bimbang kerana kita
berada dipihak yang BENAR untuk mempertahankan akidah
kita dan akidah umat islam Sunni atau ASWJ diseluruh dunia, terutama di
Malaysia dan Indonesia.
Kalau di Indonesia mereka telah
mendapat tempat kedalam masyarakat umum kerana sikap keterbukaan kerajaannya
yang memberi mereka ruang dan bermaharajalela (diharap di Malaysia kegiatan
mereka terus dibentras dan musnahkan), serta golongsn syiah itu juga
menggunakan tektik kotor dengan ‘umpan’ Mutaah gadis-gadis jelita, wang dan
biasiswa melanjutkan pelajaran ke Universiti-universiti atau maktab-maktab
Syiah di Iran. Graduan-graduan dari sinilah yang menjadi talibarut Syiah dialam
maya ini dan juga diluar untuk menangkis pendedahan keburukan mereka. Telah
dikesan penolakan ini diberapa laman blog rakan-rakan seperjuangan kami yang
ektif memperjuangan kebenaran daripada dakyah sesat Syiah yang amat merbahaya
kepada diri kamu, keluarga kamu, masyarakat islam, kesatuan islam dan khususnya
kepada Negara Islam. Berwaspadalah kamu semua daripada doktrin dan dakyah Syiah
sesat ini supaya kamu terselamat dari fitnah akhir zaman bagi kehidupan dunia
dan akhirat.
Sekarang telah atok buka semua rahsia yang
tersembunyi didalam ajaran kedua-dua fahaman iaitu Wahabi dan Syiah. Tidak ada
ruang lagi untuk mereka lari dan menipu kepada semua umat islam terutama kepada
ASWJ atau Sunni. Dan kepada kamu semua yang telah mengikuti tulisan atok ini,
jangan pula menjadi terpesong kepada ajaran seumpama ini kerana manusia ni
sangat dainamik dan boleh saja bertukar arah (menyongsang, menongkag arus)
walaupun telah kita dedahkan kemudaratan dan kerosakan kepada diri mereka,
keluarga mereka dan Negara mereka, tetapi akan ada juga satu dua orang yang
akan tersesat jalan dan kemudian memilih untuk menjadi kafir atau murtad,
disebabkan terlalu pening dan tension dengan ajaran-ajaran dalam islam. Inilah satu-satunya pekara yang tak boleh kita
fahami kerana sememangnya “Hadiyah Hanya
Dari Allah SWT Sahaja” dan Iman didalam hati kamu pun boleh tercabut
bila-bila masa saja kerana “Iman Itu
juga adalah milik Nya”. Dialah pemilik sebenar semua yang berada di Alam
ini terutama setiap jiwa dan nyawa manusia samaada nak dijadikan ia sebagai
seorang Muslim atau pun Kafir. Mudah-mudahan kita akan tetap teguh beriman
didalam Islam dan manjadi umat Muhammad saw hingga kehari kiamat nanti.
Maka tamatlah siri berkenaan dengan masaalah Syiah ini. Nantikan tajuk-tajuk lain dalam laman atok
ini diterbitan yang akan datang … InsyaAllah.
Wabillahitaufiq Walhidayah Wasalamuaalaikum
Warahmatuallahi Wabarakatuh.
Sekian.
Atok zamany.